• Narasi
  • Eufemisme dalam Video Tutorial Membuat Gubuk Portabel Studio Pancaroba

Eufemisme dalam Video Tutorial Membuat Gubuk Portabel Studio Pancaroba

Alih-alih tahu bagaimana perasaan dan maunya gelandangan, saya malah dikenalkan dengan orang bertopeng dan kotak ajaibnya.

Haris Wirabrata

Mahasiswa Sosiologi Universitas Terbuka

Tangkapan layar video karya Studio Pancaroba berjudul Eumah di antara Aisa. (Foto Sumber: Instagram studiopancaroba)

25 Juli 2025


BandungBergerak.id – Waktu kecil, saya dan saudara saya senang bermain rumah-rumahan di akhir pekan. Kami rangkai kursi, selimut, dan bantal jadi gubuk. Kami atur susunannya sehingga membentuk ruang nyaman untuk kami duduk, tiduran, atau merangkak-menerobos ke sana kemari. Biasanya, mama-papa membiarkan kami bermalam di sana sampai besok pagi kami harus bereskan sendiri. Atau kami kena marah.

***

Saya melihat video tutorial menggunakan gubuk portabel dari Studio Pancaroba di Instagram. Video itu dibuka dengan kutipan tentang penertiban, sebuah eufemisme untuk pengusiran, penggusuran, penghancuran, atau perampasan. Beberapa gambar gelandangan sedang tidur di teras pertokoan ditampilkan, lantas citra-citra kumuh itu dibabat oleh sebuah ruang putih, dan hadir di sana seseorang bertopeng membawa sebuah kotak ajaib. Kemudian, orang itu memeragakan tata cara merangkai kotak berisi berbagai komponen bangunan menjadi sebuah gubuk. Saya langsung teringat toko perabot itu, IKEA!

Saya membayangkan orang ini adalah seorang gelandangan yang steril dan klimis. Suatu hari, dia membeli terpal, pipa paralon, modul roda, lembaran seng, aluminium insulasi, beberapa lempeng baja beserta baut-bautnya. Dia potong bahan-bahan itu sesuai buku manual berisi gambar komponen yang bisa diakses lewat tautan QR code. Kemudian, dia rangkai gubuknya sesuai langkah demi langkah yang ada di manual tersebut.

Akhirnya selesai juga. Setelah capek membangun rumahnya, dia pun lapar. Sebuah gerobak batagor lewat entah dari titik mana dari ruang putih itu. Betapa senangnya dia bisa bersantap siang dengan mudahnya. Agaknya dia haus. Namun tak perlu menunggu, seorang mamang starling menghampiri. Alhamdulillah. Dia pun menyeruput kopi sambil merokok sebatang rokok filter ketengan sambil memandangi jalan-jalan putih tak beraspal di ruangan itu.

Tidak ada malam di sana namun dia tetap merasa sudah harus mengakhiri kerjanya. Lantas dia masuk ke gubuk itu dan tertidur pulas. Tidak ada Satpol-PP, tidak ada yang bisa mengganggu tidurnya.

Baca Juga: Pergolakan Seni dan Perubahan Sosial: Seni Rakyat dan Identitas Melawan Dominasi
Konser Sumpah Pemuda di Trotoar Viaduct, Menyatukan Seni dan Sejarah
Presentasi Publik Integrated Arts Unpar: Ketika Seni Mengubah Cara Pandang Seseorang

Eefueumistik

Eufemisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: /eu·fe·mis·me/ /éufémisme/ n ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan, misalnya meninggal dunia untuk mati

Saya belum sempat mencari dari mana dan kapan kata tuna digunakan dalam istilah-istilah seperti tuna wisma, tuna rungu, dan tuna netra. Tetapi saya ingat betul kapan istilah itu dipaksakan kepada saya. Di sekolah dasar, saya diperingatkan guru supaya mengganti penyebutan orang tuli atau gelandangan dengan istilah tuna rungu atau tuna wisma. Maksudnya supaya saya menggunakan istilah yang lebih halus. Tuli atau gelandangan memiliki makna yang buruk.

Peringatan ini terngiang lagi saat saya mengikuti workshop bahasa isyarat yang diselenggarakan teman-teman tuli di Karya Seni Tuli. Di pembukaan kursus singkat itu, mereka menyampaikan bahwa mereka tidak suka dengan istilah tuna sebab kata itu secara harfiah memiliki arti cacat. Mereka rasa mereka adalah orang yang berdaya walaupun mereka berbeda dari orang-orang yang bisa mendengar pada umumnya. Di sana saya menyadari bahwa eufemisme menghapus makna sebenarnya, menolak keadaan apa adanya dengan memaksakan makna yang steril, supaya kita membahas suatu masalah dengan santun. Bayangkan unggah-ungguh saat bedeng rumah digusur dan gerobak penopang hidup dihancurkan. Saya yakin Studio Pancaroba hafal dengan hal macam begini.

Teringat dengan hal-hal di atas, saya sangat sulit untuk tidak melihat karya Studio Pancaroba berjudul “rumah di antara sisa” ini sebagai sebuah karya yang eufemistik. Dalam pembukaan video tersebut, ada teks bertuliskan “ribuan orang tidur di jalan”. Orang-orang ini “ditertibkan”. Orang ini siapa? Apakah dia punya rumah gedongan? Apakah dia orang yang ngontrak? Apakah dia penghuni bedeng? Apakah dia pemilik warung pinggir jalan? Apakah dia gelandangan?

Arti gelandangan menurut kamus adalah “Orang yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya”. Dengan menyebut mereka dengan nama yang sesuai, kita bisa paham masalahnya. Tanpa itu, masalah apa yang hendak dikemukakan menjadi tidak tentu. Atau malah tersesat?

Pemotongan cuplikan gelandangan tidur di emperan gelap pertokoan ke ruang putih klimis video itu secara efektif menghapus pelbagai konteks kehidupan para gelandangan. Ruang imajiner itu dihidupi oleh siapa dan gubuk portabel itu mengapa begitu cantik di sana? Karung-karung yang dibawa gelandangan itu sekejap hilang, kardus yang jadi bantal pun lenyap berganti jadi empuk dan pakaian lusuh mereka disulap jadi setelan yang sungguh hype. Kalau saya pejabat tata kota, penghancuran semacam inilah yang nikmat saya saksikan.

Gelandangan

Suatu sore di Bandung, saya ngobrol dengan seorang seniman tentang bagaimana melihat “alamat” pada sebuah karya. Dia merujuk sebuah adegan patung jenderal Soedriman di film Naga Bonar. Di adegan tersebut, naga bonar terheran-heran menyaksikan patung jenderal itu yang memasang gestur menghormat. Lalu dia bermonolog,

“Jenderal, turunkan tanganmu! Apa yang kau hormati siang dan malam itu? Apa karena mereka yang di depanmu itu memakai roda empat?”

“Wah!!!”

“Tidak semua dari mereka pantas kau hormati. Turunkan tanganmu Jenderal!”

Lantas Naga Bonar memanjat patung tersebut dan menarik-narik tali yang menjuntai di tangan jenderal itu yang sedang menghormat sambil berteriak-teriak, “Turunkan tanganmu jenderal!”

Kawan saya sangat kagum dengan tindakan(act) dari Naga Bonar itu. “Coba konteksnya bukan film, tapi performance ya.” Saya bayangkan gelandangan datang ke hadapan gubuk portabel itu dan berteriak, “Ini gelandangan!”

Soedirman yang seorang jenderal sedang memberi hormat. Ke mana arahnya? Sejak patung itu dipikirkan, dibuat sampai dipajang di suatu tempat, senimannya mengerti (kan?) mengapa semua itu dikerjakan. Figur di patung itu ada di ingatan masyarakat. Penggunaannya dalam sebuah intensi seniman memiliki pengaruh atas ingatan mereka. Apakah Soedirman patung itu jenderal yang kita kenal? Naga Bonar tidak setuju.

Mengingat percakapan kami itu, saya bertanya-tanya, di mana alamat “rumah di antara sisa” Studio Pancaroba? Di mana ruang imajiner putih itu? Apakah di luarnya ada gelandangan?

Soal dari karya itu bagi saya adalah bagaimana mereka memosisikan saya terhadap gelandangan. Pertanyaan ini bukan datang dari seorang gelandangan, tapi saya sebagai orang yang masih punya keistimewaan mampu menyewa sebuah rumah. Ancaman tidak mampu membayar sewa saja sering membuat saya gemetaran.

Alih-alih membantu saya memahami gelandangan, segala penuh kehidupannya sampai kebutuhan mereka atas sebuah rumah (house bukan home), struktur konkret tempat hidup bermukim dan seperti apa bentuk dan di mana tempatnya; saya malah dibuat tersesat ke ruang steril. Banyak yang dibersihkan di sana, seperti debu, kotoran dan bau, meskipun dipajang di lapangan dan digeletakkan di susunan beton sebab menghindari white cube. Alih-alih tahu bagaimana perasaan dan maunya gelandangan, saya malah dikenalkan dengan orang bertopeng dan kotak ajaibnya.

“Wah!!!” teriak Naga Bonar.

***

Saat tiba waktunya saya dan saudara saya merapikan gubuk kami di pagi hari. Ada rasa sedih yang saya ingat. Untungnya gubuk kami itu hanya rumah-rumahan belaka. Masih ada rumah asli tempat kami tinggal, maka sedih itu hanya sementara. Minggu-minggu depan kami bisa bikin lagi.

Apabila gubuk Studio Pancaroba dihancurkan, seperti yang tercantum di teks postingan Instagramnya, “Ini bukan juga karya seni yang selesai dipamerkan lalu disimpan. Bukan juga karya desain yang menawan. Ini proyek yang terus tumbuh, berubah, dirakit dan dirusak ulang, karena realitasnya juga begitu.” Apakah mereka sedih? Agak sulit dibayangkan sebab gubuk itu sudah jadi sebuah karya. Saya teringat Banksy yang merusak karyanya saat sedang dilelang. Toh harganya bisa jadi lebih mahal. Gubuknya tidak penting. Karyanya sudah kekal sebagai konsep, arsip manual dan rekap presentasinya di galeri.

Lalu, di mana sedih gelandangan? Saya pun cari puisi tentang mereka dan menemukan Puisi Jalanan karya Cak Nun ini yang menurut saya datang sebagai sebuah doa untuk mengakrabi mereka.

Hendaklah puisiku lahir dari jalanan
Dari desah napas para gelandangan
Jangan dari gedung-gedung besar
Dan lampu gemerlapan

Para pengemis yang lapar
Langsung menjadi milik Tuhan
Sebab rintihan mereka
Tak lagi bisa mengharukan

Para pengemis menyeret langkahnya
Para pengemis batuk-batuk
Darah dan hatinya menggumpal
Luka jiwanya amat dalam mengental

Hendaklah puisiku anyir
Seperti bau mulut mereka
Yang terdampar di trotoar
Yang terusir dan terkapar

Para pengemis tak ikut memiliki kehidupan
Mereka mengintai nasib orang yang dijumpainya
Tetapi zaman telah kebal
Terhadap derita mereka yang kekal

Hendaklah puisi-puisiku
Bisa menjadi persembahan yang menolongku
Agar mereka menerimaku menjadi sahabat
Dan memaafkan segala kelalaianku

Yang banyak dilupakan orang ialah Tuhan.
Para gelandangan dan korban-korban kehidupan
Aku ingin jadi karib mereka
Agar bisa belajar tentang segala yang fana

*Tulisan ini sudah ditayangkan penulisnya di blog miliknya di sini

**Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//