Hikayat Kampung Kolase, Cikal Bakal Teras Cikapundung
Kisah Kampung Kolase menjadi cermin rentannya kampung kota menghadapi risiko penggusuran untuk pelbagai kepentingan yang berujung perampasan tanah dan gentrifikasi.

Frans Ari Prasetyo
Peneliti independen, pemerhati tata kota
28 Juli 2025
BandungBergerak.id – Di awal masa pemerintahan wali kota populis Ridwan Kamil (2013-2015) dengan mazhab creative city and smart city, Bandung digenjot melalui perubahan infrastruktur tata ruang kotanya. Lanskap taman, koridor jalan dan trotoar, hingga kampung kota menjadi skenario utama dari proses beautification city ini yang di sisi lain menciptakan gentrifikasi dan segregasi dengan penyingkiran dan penggusuran berdasarkan standar ganda persepsi pembangunan. Penyingkiran PKL Dayang Sumbi tahun 2014 menjadi awal, kemudian revitalisasi taman-taman kota dan kampung kota menjadi target selanjutnya.
Tahun 2015, Kampung Lebak Siliwangi di Kecamatan Cidadap yang berjarak hanya 1 kilometer dari area PKL Dayang Sumbi menjadi target pertama revitalisasi kampung kota. Penggusuran pertama kampung kota di era pemerintahan Ridwan Kamil yang disebutnya sebagai “Penggusuran Humanis” hanya karena dilakukan dengan seremonial tumpengan dan pecah kendi bersamaan dengan penghancuran rumah. Area ini merupakan kampung kota dengan dinamika informalitasnya dan didominasi oleh pekerja disektor informal.
Stigma kumuh, penduduk ilegal, penggunaan ruang dan lahan ilegal, area banjir, tidak modern, hingga anti pembangunan dilekatkan secara frontal terhadap warga oleh pemerintah kota, wali kota hingga buzzer termasuk warga lainnya yang menjadi fan Ridwan Kamil dengan menggunakan platform media sosial. Hal yang tidak pernah bisa dibuktikan secara data dan fakta eksisting, namun kampung kadung digusur di mana sekitar 100 KK warga tercerai berai kehilangan rumah dan ruang hidupnya.
Kampung ini telah ada sejak tahun 1960-an. Awalnya berupa tegalan sungai yang dimanfaatkan warga untuk bercocok tanam lalu membuat hunian. Di era kolonial, area ini merupakan area pemandian kuda dari satuan kavaleri yang berada di Ciumbuleuit, hal yang menandakan kenapa geografi area ini melandai ke arah sungai dari jalan utama, Jalan Siliwangi. Seperti khasnya kampung kota, awalnya warga umumnya akan menempati tanah negara atau tanah bekas kolonial yang dimanfaatkan untuk rumah atau ladang pertanian. Maka sesuai UU Pokok Agraria 1960, warga yang telah menempati dan memanfaatkan tanah negara lebih dari 30 tahun, maka negara via BPN kota wajib memberikan sertifikat sebagai hak kepemilikannya, namun hal ini tidak terjadi di Kampung Kolase. Pemerintah malah menggusur warganya, merampas tanahnya.
Warga yang mendukung bersorak sorai karena akan ada taman cantik nan estetik bernama “Teras Cikapundung” yang paripurna untuk kegiatan swafoto yang didukung oleh jembatan ikonik, lampu warna-warni, air mancur, koloseum terbuka, lanskap relief estetik, kegiatan alam, hingga wahana “kukuyaan” atau bermain air dan perahu di Sungai cikapundung yang disekat sampahnya agar tidak terlihat publik dan merusak image.
Kampung Lebak Siliwangi dikenal kemudian sebagai Kampung Kolase, setelah seniman kolase perempuan dari Australia bernama Deborah Kelly tinggal dan berkarya kolase bersama warga setempat selama beberapa bulan dengan pendampingan dari S-14, sebuah organisasi/komunitas seni di Bandung. Frasa “kolase” seperti mengejawantahkan situasi infrastruktur hunian, koridor dan fasad khas kampung yang sprawl dan tambal sulam .
Warga Kampung Kolase memiliki KTP sah warga negara Indonesia sebagai warga Lebak Siliwangi Kecamatan Cidadap, warga memiliki hak pilih dalam pilkada maupun pemilu nasional termasuk pemilu presiden, warga memiliki kartu kesehatan teregistrasi nasional, memiliki rekening bank, rekening Listrik, rekening air bersih dengan alamat yang sama dengan KTP, termasuk memiliki bukti pembayaran pajak tanah dan rumah. Artinya, warga bukan penduduk ilegal dan menempati lahan ilegal seperti yang dituduhkan.

Baca Juga: Pembangunan di Bandung dan Seoul yang Bertolak Belakang
Urbisida Bandung Kota Kreatif
Mengapa Pembangunan Pariwisata dan Permukiman Menyebabkan Bencana Banjir di Perkotaan?
Risiko Kampung Kota
Di sebuah kampung kota, tidak semua warga memiliki hunian layak karena kemampuan ekonomi beragam. Tapi jika ada yang demikian, bukan berarti satu kampung harus dimusnahkan seperti Kampung Kolase. Terdapat beberapa rumah warga permanen, dua tingkat, memiliki akses air bersih dari PDAM dan sanitasi baik bahkan ada toilet duduk, namun ada juga warga yang rumahnya belum permanen dengan akses sanitasi termasuk air bersih tergantung pada Sungai Cikapundung yang sudah kadung tercemar dari hulu sejak awal 2000-an padahal sebelumnya Sungai ini bersih sehingga bisa dikonsumsi minimal dipakai mandi dan cuci pakaian. Seharusnya peran pemerintah kota untuk menyediakan hunian layak, akses air bersih, sanitasi layak, dan sebagainya.
Sebagian warga direlokasi untuk sewa di Rusun Rancacili yang berjarak 30 kilometer dan Rusun Sadang Serang yang berjarak 5 kilometer tanpa kepastian hukum kepemilikan, dukungan finansial dan sokongan terkait pekerjaan yang berubah, serta akses pendidikan anak yang berpindah lokasi sekolah. Warga seperti dibiarkan mencari, mengurus, dan bertahan sendiri, seolah penempatan di rusun telah menjadi solusi ideal dari perampasan ruang hidup yang telah terjadi.
Namun sebagian warga tetap memilih tinggal di area yang sama, hanya berbeda kampung dan pilihannya adalah Kampung Pelangi dengan cara mengontrak hanya untuk bertahan karena area pekerjaan informalnya termasuk tempat sekolah anaknya berada dalam radius 2 kilometer di sekitar area Cisitu, Siliwangi, Gandok, Cihampelas, dan Ciumbuleuit. Kampung Pelangi ini berada di arah utara Kampung Kolase. Diberi nama Kampung Pelangi karena Wali Kota Ridwan Kamil kala itu bersama dengan perusahaan cat jenama Sanlex melakukan pengecatan warna-warni di seluruh fasad bangunan dan infrastruktur kampung. Pengecatan dengan dalih revitalisasi ini dilakukan setelah proyek Teras Cikapundung selesai.
Teras Cikapundung tidak termaktub dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bandung 2011-2031 dan Rencana Detail Tata Ruang dan Zonasi (RDTR-Z) 2011 secara spesifik dan teknis, tampak seperti ambisi Wali Kota Ridwan Kamil. Penggusuran ini juga sebagai target untuk bagian dari kecantikan dalam menyambut PON Jabar 2016, namun ketika viral dan mengundang polemik negatif untuk citra kota dan wali kota, lantas penggusuran ini dituduhkan sebagai proyek dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) yang proyek penataan sungainya secara eksisting sebenarnya berada di seberang sungai dari Kampung Kolase tanpa harus menggusur.
Tapi Kampung Kolase kadung rata dan Teras Cikapundung dibangun secara estetik dengan melibatkan seniman John Martono. Seniman yang juga dikenal sebagai pembuat mural di Jembatan Pelangi Antapani dan menjadi aktor utama dalam pembentukan Kampung Pelangi jilid 2 di era pemerintahan Wali Kota M. Farhan, melanjutkan pengecatan ulang Kampung Pelangi di era Ridwan Kamil. Hanya kali ini dengan Propan, jenama perusahaan cat yang berbeda namun tetap menggunakan anggaran pemkot dengan skema penunjukan langsung tanpa tender, artinya kedekatan personal menjadi faktor utamanya. Di era Wali Kota M. Farhan juga terjadi perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2022-2042 dan Rencana Detail Tata Ruang dan Zonasi (RDTR-Z) 2024-2044, dan seperti sebelumnya semua ini tidak termaktub di dalamnya.
Pembangunan Teras Cikapundung selesai dan beroperasi. Lalu menjadi magnet turisme baru sehingga antusias kunjungan untuk swafoto menciptakan overturisme skala lokal, seolah lupa bahwa di tempat ini sebelumnya terdapat ratusan orang yang kehilangan memori kampungnya, tanah kelahirannya, rumah, kehilangan ruang hidup dan haknya sebagai warga negara oleh ambisi infrastruktur dan pariwisata. Terdapat juga respons sarkastik dari seniman lainnya yang juga berasal dari Australia yang membangun bangunan semi permanen menyerupai pondok penjaga pantai di bagian atas dari teras Cikapundung yang dilakukan bersama warga tergusur, menggunakan kayu-kayu sisa rumah warga yang digusur. Pondok ini menyiratkan bahwa terjadi panopticon dari pemerintah kota dan developer sebagai pertanda bahwa kampung-kampung kota selalu dipantau dengan risiko rentan penggusuran untuk pelbagai kepentingan berujung perampasan tanah dan gentrifikasi. Fisik Kampung Kolase telah terhapus dari peta Kota Bandung, begitu pun warganya termasuk memori dan pengalaman-pengetahuan kehidupan yang pernah ada di sana oleh sebuah ambisi arsitektural penguasa kota, dan Bandung terus mengulangnya dibanyak kampung kota lainnya hingga saat ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel Frans Ari Prasetyo, atau tulisan-tulisan tentang Bandung