• Opini
  • Ketika Timor-Leste Dibiarkan Menunggu dan Myanmar Menyandera Konsensus ASEAN

Ketika Timor-Leste Dibiarkan Menunggu dan Myanmar Menyandera Konsensus ASEAN

Dengan membiarkan Myanmar menghambat proses kolektif, ASEAN justru mengkhianati tujuan pendiriannya sendiri sebagai kawasan damai, adil, dan sejahtera.

Marcos Soares da Silva

Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Bendera negara-negara anggota ASEAN. (Foto Sumber: asean.org)

30 Juli 2025


BandungBergerak.id – Timor-Leste telah lama mengetuk pintu ASEAN, membawa semangat demokrasi dan keterbukaan dari sebuah negara kecil yang pernah berdarah-darah merebut kedaulatan. Sejak 2011, upaya aksesi secara resmi dimulai, disambut oleh banyak negara anggota dengan hangat, namun sampai hari ini belum juga ada keputusan bulat. Di balik keheningan dan kesantunan diplomatik ASEAN, sebenarnya ada penolakan diam-diam. Dan Myanmar, negara yang kini dipimpin junta militer, berada di pusat penundaan ini.

Penantian ini mencerminkan paradoks dalam tubuh ASEAN sendiri. Di satu sisi, ASEAN mengklaim ingin memperkuat komunitas regional yang inklusif dan saling terhubung. Namun di sisi lain, keanggotaan penuh Timor-Leste yang semestinya menjadi langkah maju terus tertahan oleh manuver politik internal yang tidak transparan. Timor-Leste telah menjalani berbagai evaluasi teknis, menunjukkan kemajuan berarti, dan tetap aktif dalam proses integrasi. Namun, semua pencapaian itu seolah terhenti pada tembok senyap yang dibangun oleh konsensus semu.

Myanmar tidak pernah secara eksplisit menolak Timor-Leste. Namun dalam forum tertutup dan dinamika internal ASEAN, sikap pasif bisa berarti veto. Mekanisme konsensus yang selama ini dibanggakan ASEAN sebagai wujud harmoni dan kesetaraan justru menjelma menjadi alat sabotase sunyi. Myanmar memanfaatkannya untuk mempertahankan status quo dan menghindari masuknya negara baru yang dapat menjadi simbol pembaruan normatif dalam tubuh organisasi.

Dalam konteks ini, Myanmar sejatinya sedang memainkan peran ganda. Ia memanfaatkan celah prosedural sambil berlindung di balik aturan main organisasi yang tidak mengharuskan negara anggota menyampaikan veto secara eksplisit. Sikap semacam ini menghambat aspirasi reformasi dalam ASEAN dan melemahkan solidaritas yang seharusnya menjadi kekuatan utama organisasi.

Timor-Leste bukan sekadar calon anggota. Timor-Leste membawa serta semangat demokrasi yang teguh, transisi politik yang damai, dan dukungan kuat terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Kehadirannya di ASEAN sangat mungkin mengganggu negara-negara yang belum selesai dengan krisis legitimasi dan reputasi, seperti Myanmar. Di mata junta, Timor-Leste bukan sekadar anggota baru, tetapi potensi tekanan moral yang akan mengganggu narasi stabilitas versi mereka (Myanmar).

Sebagai negara yang pernah mengalami penjajahan dan konflik berkepanjangan, Timor-Leste memahami betul pentingnya kebebasan, keadilan, dan pemerintahan yang sah. Pengalaman historis ini menjadi landasan kuat bagi komitmen mereka terhadap nilai-nilai demokratis. Kehadirannya dalam ASEAN bukan hanya memperkaya keberagaman, tetapi juga menjadi pengingat akan perjuangan kolektif demi kebebasan dan martabat manusia.

Baca Juga: Kudeta Militer dan Deportasi Pengungsi Myanmar oleh Malaysia, Bagaimana Disposisi Diplomasi Indonesia?
Menuju Kawasan Konferensi Asia-Afrika sebagai Warisan Dunia
Menyimak Pameran Kuasa Kata Konferensi Asia Afrika 1955 di Museum KAA

Wajah Ganda ASEAN

Hal yang menjadi masalah bukan hanya Myanmar, tetapi juga wajah ganda ASEAN. Saat ini, konsensus yang menjadi prinsip dasar organisasi telah rawan disalahgunakan. Bukan lagi sebagai instrumen kesepakatan sejati, tetapi sebagai alat untuk menghindari keputusan sulit. Konsensus berubah menjadi veto tanpa suara. Diam menjadi strategi. Dan dalam kasus Timor-Leste, diam adalah bentuk penolakan yang tidak bertanggung jawab.

Kritik terhadap mekanisme ini sebenarnya bukan hal yang baru. Banyak pengamat regional dan pakar kebijakan internasional menilai bahwa sistem konsensus ASEAN terlalu rentan digunakan untuk melindungi kepentingan nasional yang sifatnya terlalu sempit, dan mengorbankan prinsip-prinsip kolektif. Ketidakseimbangan antara prinsip solidaritas dan otonomi negara anggota kerap menciptakan kebuntuan dalam pengambilan keputusan.

Filsuf dan ekonom peraih Nobel, Amartya Sen, dalam The Idea of Justice, mengkritik sistem keadilan yang hanya berorientasi pada prosedur tanpa memedulikan hasil nyata. Menurutnya, keadilan bukanlah hasil dari struktur formal, tetapi dari proses deliberasi publik yang terbuka dan rasional. Jika prinsip ini diterapkan dalam konteks ASEAN, maka mekanisme konsensus yang tertutup dan anti-deliberatif justru bertentangan dengan prinsip keadilan itu sendiri.

ASEAN saat ini menghadapi ujian terbesar dalam sejarahnya, apakah ASEAN akan terus memelihara stabilitas prosedural yang rapuh atau berani melakukan refleksi normatif demi masa depan yang lebih inklusif dan demokratis? Menolak Timor-Leste berarti mengabaikan suara yang membawa harapan baru, dan lebih dari itu, berarti membiarkan satu negara menyandera keputusan kolektif atas nama kepentingan sempit.

Momentum Reformasi

Momentum reformasi ini tidak boleh dilewatkan. Dunia sedang bergerak menuju tatanan baru yang lebih transparan dan bertanggung jawab. Jika ASEAN ingin tetap relevan dan disegani, maka keberanian untuk menyambut Timor-Leste sebagai anggota penuh harus menjadi langkah awal. Ini bukan semata soal simbolik keanggotaan, tetapi juga soal masa depan prinsip dan integritas organisasi.

Timor-Leste telah memenuhi hampir semua syarat keanggotaan. Ia aktif dalam berbagai pertemuan, berinvestasi dalam integrasi ekonomi, dan menunjukkan kapasitas administratif yang memadai. Satu-satunya hambatan yang tersisa bukan berasal dari dalam negeri Timor-Leste, tetapi dari kalkulasi geopolitik internal ASEAN yang dipengaruhi oleh negara seperti Myanmar.

Negara-negara demokratis dalam ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina harus bersuara lebih tegas. Dukungan simbolik tidak cukup. Dibutuhkan tindakan diplomatik yang nyata, termasuk membuka kembali tafsir terhadap prinsip konsensus itu sendiri. Konsensus bukan berarti semua harus seragam, tapi bahwa keputusan besar harus lahir dari debat yang sehat, keterbukaan, dan itikad baik.

Menghindari perdebatan hanya akan memperpanjang kebuntuan. ASEAN perlu memupuk budaya deliberatif yang jujur dan progresif. Dengan membiarkan satu negara menghambat proses kolektif, ASEAN justru mengkhianati tujuan pendiriannya sendiri sebagai kawasan damai, adil, dan sejahtera.

Kehadiran Timor-Leste di ASEAN adalah peluang untuk membangun kembali pondasi moral organisasi. Dengan menerima anggota baru yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, ASEAN bisa menunjukkan bahwa ia tidak hanya forum ekonomi dan keamanan, tetapi juga komunitas yang berani berdiri di atas prinsip. Jika ini tidak dilakukan, maka ASEAN akan terus dicap sebagai organisasi yang nyaman bagi otoritarianisme dan alergi terhadap pembaruan.

Myanmar bukan satu-satunya tantangan ASEAN, tapi ia adalah cerminan dari apa yang akan terjadi jika prinsip dipertahankan hanya secara simbolik. Ketika satu negara bisa memperhambat kemajuan karena ketakutan akan sorotan, maka organisasi itu telah gagal memenuhi cita-cita kolektifnya.

Timor-Leste telah menunggu terlalu lama. ASEAN harus bertanya pada dirinya sendiri, berapa lama lagi kita akan membiarkan ketakutan satu negara menentukan masa depan seluruh kawasan?

Diam tidak lagi bijak. Saatnya bersuara.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//