Kisah di Balik Meja Makan, dari Perjuangan Family Man sampai Saksi Revolusi di Batukaras
Warga kurang mampu di Batukaras Pangandaran memiliki kebiasaan makan dua hari sekali diiringi dengan lauk sayuran, dan jika tak ada lauk maka sambal pun cukup.

Michael Angelo Bryan
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
31 Juli 2025
BandungBergerak.id – Ini merupakan sebuah kisah yang diambil dari penelitian kelompok P3M dusun Cidahu, Desa Batukaras, Kec. Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Di dusun Cidahu, kami mendapat tugas dari Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) untuk meneliti tentang kerentanan ketahanan pangan orang-orang kurang mampu baik secara ekonomi maupun ketahanan pangan itu sendiri.
Sedikit tentang dusun Cidahu, dusun Cidahu merupakan bagian dari desa Batukaras terletak kurang lebih enam KM dari pantai Batukaras, dan kurang lebih satu KM dari wisata Green Canyon. Di sini ada lapangan bola yang biasanya digunakan oleh anak-anak, remaja hingga orang dewasa, entah untuk bermain bola atau kegiatan olahraga lainnya. Komoditas utama di dusun ini ialah padi dan kelapa. Saat panen sawah, mayoritas padi tersebut tidak dijual namun lebih banyak dikonsumsi untuk diri sendiri. Sementara untuk kelapa lebih sering dijual untuk kebutuhan wisata, harga per butirnya Rp 5.000-6.000. Profesi yang dilakoni oleh warga Cidahu ialah petani, buruh harian lepas, pengrajin sapu lidi, pemandu wisata, dan wiraswasta. Selain itu, dusun ini terbilang sunyi, jauh dari kebisingan knalpot berisik yang berseliweran di kota, kendaraan yang berlalu lalang juga cukup sedikit, tidak heran jika udara di sini cukup bersih setidaknya untuk kami yang terbiasa tinggal di kota Bandung.
Kami mewawancarai beberapa warga kurang mampu baik lansia maupun warga muda yang belum menyentuh genap 50 tahun. Kami melontarkan beberapa pertanyaan mudah, seperti: “Dalam sehari makan beberapa kali? Apakah makannya dengan lauk? Jika iya, lauk apakah yang dimakan? Sayuran atau daging (ayam, sapi, kambing)?” Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan makanan dan aset. Yang menarik ialah jawaban mereka, mayoritas memiliki sawah dan hasilnya untuk dikonsumsi diri sendiri. Selain itu, hasil sawah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan beras mereka sampai panen berikutnya. Warga yang kami wawancarai memiliki kebiasaan makan dua hari sekali, diiringi dengan lauk sayuran dan jika tidak ada lauk sambal pun mereka merasa cukup.
Keluarga yang tidak mampu ini, biasanya diberikan bantuan oleh pemerintah berupa uang tunai dan sembako. Bantuan yang biasa mereka dapatkan adalah PKH dan BPNT. Mereka bersyukur mendapatkan bantuan dari pemerintah, namun yang unik mereka tidak bergantungan pada bantuan tersebut. “Ada bantuan syukur, jika tidak ada juga tidak apa-apa,” ucap kakek Ucup (nama samaran) berusia 65 tahun. Mentalitas seperti ini yang kami harapkan ada di tengah masyarakat, bukan mentalitas minta-minta yang sering ditemui, khususnya, di kalangan muda.
Sebelum membahas lebih dalam, lebih baik kita membahas soal profesi yang dikerjakan oleh masyarakat kurang mampu ini. Di tulisan ini, kami hanya menceritakan tiga orang dengan latar belakang di antaranya memiliki profesi sebagai pengrajin sapu lidi dan pemandu wisata. Pengrajin sapu lidi ini ialah dua orang lansia, sepasang suami-istri yang sudah mengalami asam-manisnya kehidupan. Selanjutnya, pemandu wisata merupakan seorang ayah yang memiliki tekad kuat untuk menghidupi dua anaknya di tengah lesunya ekonomi nasional dan internasional. Terakhir adalah seorang kakek berusia 65 tahun, tidak bekerja karena memiliki penyakit stroke.
Baca Juga: Mutiara Berharga Guha Bau Desa Kertayasa Pangandaran
Mengenal Kesenian Benjang Batok di Dusun Karangpaci Pangandaran
Merajut Persaudaraan Melalui Budaya Hajat Laut Desa Batukaras Pangandaran
Kesulitan, Kekurangan, dan Semangat Seorang Kakek
Namanya Ucup (nama samaran), seorang lansia yang berusia 65 tahun, dia lahir sekitar tahun 1960. Kakek Ucup hidup sendiri di rumahnya yang sederhana, anak-anaknya hidup bertetangga di samping rumahnya. Saat ini dia tidak bekerja karena penyakit stroke yang menimpanya dan mengandalkan anaknya untuk makan sehari-hari. Selain memiliki anak, Kakek Ucup juga memiliki cucu. Kakek Ucup sering mengantar cucunya sekolah menggunakan sepeda motor yang sering dia kendarai sehari-hari sekedar untuk bepergian antar-jemput cucunya sekolah, serta mengarit rumput sekitar dusun untuk makan kambingnya.
Beliau memang tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mencari uang dan dihantui dengan penyakit, namun Kakek Ucup masih semangat dalam menjalani kesehariannya. Hal itu juga tergambar di mimik wajahnya ketika kami mewawancarainya, dengan senyuman yang dia berikan kepada kita melukiskan kebahagiaan sederhana. Dia tidak pernah mengeluh walaupun tidak dibantu oleh pemerintah. “Saya mah merasa cukup A, jika dibantu oleh pemerintah saya berterima kasih, dan jika tidak dibantu pun tidak menjadi masalah.”
Pertanggung Jawaban Family Man
Kisah family man ini datang dari seorang ayah yang berprofesi sebagai pemandu wisata dan berusia 47 tahun. Waktu kami mendatangi rumah Bapak Nayi (nama samaran), beliau sedang bermain dengan anak perempuannya yang berusia satu tahun. Mereka terlihat akrab dan sangat bahagia, wajah yang riang terlihat di wajah sang anak yang sangat sayang dengan ayah, sang cinta pertama anak perempuan. Di keluarga kecil ini, Pak Nayi tinggal bersama istri dan kedua anaknya, anak pertama berusia 17 tahun (sudah masuk jenjang SMK) dan anak keduanya yang masih berusia satu tahun.
“Saya sebagai orang tua akan melakukan apa pun selama itu halal dan memberikannya untuk anak-anak saya,” kata Pak Nay, “Waktu kondisi pandemi, wisata tutup dan tidak ada penghasilan. Karena itu saya mencari cara lain untuk mendapatkan uang dan menghidupi keluarga. Saya waktu itu menonton Youtube cara ternak lebah walau sulit tapi seiring berjalannya waktu hasilnya lumayan cukup untuk menghidupi keluarga saya.”
Pak Nayi adalah seorang pria dan ayah yang bertanggung jawab serta pekerja keras, dia belajar hal baru ketika itu berjuang untuk anaknya. Bagi dia, keluarga, khususnya anak-anak adalah segala-galanya.
Kebun, Makan, Sejarah dari Saksi Revolusi
Terakhir kami mewawancarai pasangan lansia seusia yang sama dengan Indonesia, 80 tahun. Sang suami bernama Pak Ridwan (nama samaran) dan Ibu Nani (nama samaran). Pasangan ini tinggal di rumah sederhana miliknya. Ketika kami mencari tempat tinggal pasangan ini, kami menanyakan ke tetangganya yang kemudian mengarahkan ke anaknya dan anaknya mengarahkan kami ke kebun belakang yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Saat kami menyusuri jalan tersebut, terbentang luas pemandangan sawah-sawah dan hutan lebat, serta pohon kelapa yang terlihat di sepanjang cakrawala.
Pasangan tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar –Pak Ridwan hanya bisa sedikit berbahasa Indonesia dan ibu Nani tidak bisa sama sekali namun dapat mengerti apa yang kami katakan, dan mereka hanya fasih berbahasa Sunda. Di sini kendala bahasa memang terjadi, namun tidak menghentikan kami untuk terus berbicara. Ketika kami sampai, wajah Pak Ridwan terlihat kebingungan dan ketakutan, sampai pada akhirnya kami meyakinkan beliau bahwa kami hanya mahasiswa yang sedang melakukan tugas wawancara. “Saya dulu pernah hidup di mana sering orang asing datang sembarangan dan kasar, hal itu membuat saya takut sampai sekarang”, ucap Pak Ridwan. Rasanya trauma tersebut sangat membekas di ingatannya, dari zaman Soekarno, peristiwa PKI, Soeharto hingga saat ini.
Banyak cerita menarik dari pasangan ini, dimulai dari makan mereka yang hanya dua kali dalam sehari, memiliki delapan anak, mereka sering membuat kerajinan sapu lidi untuk bertahan hidup dan cerita sejarahnya. Sama seperti beberapa lansia yang kami wawancarai, mereka memiliki kebiasaan untuk makan dua kali sehari dengan variasi sayuran baik yang ada di kebunnya maupun beli di warung. Mereka juga memiliki delapan anak yang sudah menikah semua dan memiliki keluarga masing-masing. Ada yang tinggal di Batukaras dan ada pula yang tinggal di luar Pangandaran.
Kegiatan mereka sehari-hari berkebun, perajin sapu lidi, dan menjual kelapa dan daun pisang. Banyak sayuran yang mereka tanam, dan hasilnya untuk konsumsi diri sendiri. Mereka memang sering menghabiskan waktunya di kebun entah untuk bekerja atau pun bersantai. Pak Ridwan memberitahu kami bahwa dulu harga kelapa pernah mencapai Rp 10.000, sementara sekarang Rp 5.000. Beliau adalah saksi hidup bagaimana Indonesia mengalami perubahan zaman dan harga pada mata uang rupiah. Mereka bukan pasangan biasa, namun memiliki kisah di belakangnya dengan pergulatan zaman yang tiada akhirnya.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB