• Opini
  • Realitas dan Tantangan Pengasuhan Anak di Tengah Dinamika Kehidupan Perkotaan

Realitas dan Tantangan Pengasuhan Anak di Tengah Dinamika Kehidupan Perkotaan

Lingkungan perkotaan sering kali tidak ramah bagi anak. Membesarkan anak di lingkungan perkotaan juga sering kali dihadapkan pada ekspektasi sosial yang tinggi.

Encik Ryan Pradana Fekri

Praktisi Perencanaan Wilayah dan Kota serta Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITENAS Bandung.

Seorang anak dan ayahnya menikmati waktu bermain bersama di kawasan Gelora Bandung Lautan Api, Gedebage, Bandung.

1 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Hidup di kota besar menawarkan segudang kemudahan, mulai dari tersedianya berbagai jenis infrastruktur modern, arus informasi dan kemajuan teknologi yang pesat, hingga akses terhadap beragam pelayanan publik yang mudah. Namun, di balik peradaban perkotaan yang dinamis, masyarakat kota khususnya orang tua modern menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam mengasuh anak. Pola pengasuhan anak di lingkungan perkotaan yang tidak hanya tentang memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga tentang menyiapkan anak menghadapi transformasi sosial, teknologi yang terus berkembang, dan lingkungan yang cepat berubah. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS pada Maret 2024, terdapat 57,82 persen anak usia dini tinggal di perkotaan. Angka ini mencerminkan tingginya jumlah anak yang dibesarkan dan hidup di perkotaan. Lantas bagaimana orang tua bisa memastikan anak-anak mereka dapat tumbuh dengan optimal di tengah dinamika lingkungan kehidupan perkotaan?

Biaya hidup yang tinggi di kota memaksa banyak orang tua, khususnya pasangan muda untuk bekerja lebih keras dan sering kali dengan jam kerja yang panjang. Akibatnya, waktu berkualitas dengan anak menjadi terbatas. Anak-anak mungkin terpenuhi kebutuhan materinya, tetapi kurang mendapatkan pendampingan dari orang tua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2021 hanya 21,16 persen anak usia dini di perkotaan yang belajar/dibacakan buku bersama orang tua. Data ini memperlihatkan minimnya pendampingan orang tua dalam mendidik anak di perkotaan, padahal interaksi langsung dalam proses belajar anak dengan orang tua adalah fondasi utama bagi perkembangan karakter dan kecerdasan sosial anak. 

Tuntutan kebutuhan finansial hidup di kota memang kerap kali membebani banyak orang tua, sehingga mengorbankan waktu berharga yang seharusnya bisa digunakan untuk mendampingi proses belajar dan tumbuh kembang anak. Fenomena ini sejalan dengan temuan penelitian dari Hayat (2022) bahwa orang tua sering kali keliru dalam menentukan skala prioritas antara pekerjaan dan mengasuh anak, sehingga berdampak bagi perkembangan kognitif dan afektif anak.

Orang tua perlu menyadari bahwa keseimbangan antara bekerja dan mengasuh anak adalah kunci penting dalam membangun keluarga yang harmonis dan anak yang berkembang optimal. Investasi waktu dan kasih sayang sejak dini pada anak akan berdampak besar pada pembentukan karakter, kecerdasan emosional, serta hubungan keluarga yang kuat. Sebagaimana yang juga telah diamanatkan dalam Pasal 1 PP No. 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak bahwa Pengasuhan Anak adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan terbaik bagi Anak.

Baca Juga: Menanam Sikap Pantang Menyerah sejak Anak-anak
Pemenuhan Hak-hak Anak-anak Semakin Krusial di Tengah Dampak Krisis Iklim
Tentang Bocah Perempuan Pengamen di Persimpangan Kopo, tentang Kota yang Gagal Memberikan Ruang Aman

Dampak Lingkungan Perkotaan pada Tumbuh Kembang Anak

Lingkungan perkotaan sering kali tidak ramah bagi anak. Polusi udara, minimnya ruang terbuka hijau, dan terbatasnya area bermain aman membatasi kesempatan anak untuk bereksplorasi. Sehingga banyak anak-anak kota sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan, ditemani gadget

Kurangnya aktivitas fisik tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga pada perkembangan motorik dan sosial anak. Richard Louv (2005) dalam bukunya The Last Child In The Woods, mengeluarkan istilah nature deficit disorder yaitu suatu gangguan karena kekurangan pengalaman langsung atau berkontak langsung dengan alam, sehingga anak mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya.

Anak-anak yang terbiasa bermain di alam terbuka atau diberi kesempatan belajar di alam akan lebih mempunyai daya kreasi yang lebih baik, juga konsentrasi yang lebih tinggi (Sarintohe, 2010). Mengajak anak bermain dan berinteraksi di ruang terbuka memiliki banyak manfaat untuk tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, perlu adanya beragam elemen di lingkungan kota yang dapat merangsang proses belajar anak, sekaligus meningkatkan kreativitas dan mendorong proses perkembangan fisik, kognitif, dan sosial-emosional anak.

Lingkungan yang ramah anak adalah lingkungan yang dapat menunjang kebutuhan tumbuh kembang anak dan turut membentuk karakter anak yang baik secara fisik, sosial, dan emosional (Rezasoltani dan Said, 2012). Sejalan dengan amanat dalam Pasal 72 Ayat (3) huruf f Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 bahwa penyediaan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang anak merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 17,96 persen anak-anak kelompok usia dini di perkotaan mengakses internet dalam seminggu dengan rata-rata waktu 1 jam per hari. Perkembangan teknologi memang ibarat pedang bermata dua. Satu sisi, gadget dan internet membuka akses informasi tanpa batas. Namun, ketergantungan anak pada gadget akan menimbulkan masalah serius.

WHO (2019) menjelaskan jika anak ingin mencapai kesehatan mental dan fisik yang baik, maka membutuhkan lebih banyak waktu untuk melakukan aktivitas fisik dari pada menghabiskan waktu screen time di depan gadget. Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan Maryam Batubara, dkk. (2023) yang menemukan bahwa penggunaan gadget oleh anak usia dini dapat memberikan manfaat dalam bentuk peningkatan keterampilan kognitif, seperti literasi digital, kemampuan pemecahan masalah, dan pengembangan keterampilan motorik halus. Namun, terdapat juga dampak negatif, seperti gangguan tidur, ketergantungan, dan penurunan kemampuan berkomunikasi sosial.

Digital parenting dan pengawasan orang tua menjadi kunci utama dalam mengoptimalkan manfaat teknologi sekaligus meminimalkan dampak negatifnya. Orang tua perlu membangun batasan yang jelas terkait waktu penggunaan gadget, memilih konten yang sesuai dengan usia anak, serta aktif terlibat dalam aktivitas digital bersama sebagai bentuk kontrol dan pendampingan langsung.

Mencari Keseimbangan di Tengah Dinamika Kehidupan Perkotaan

Membesarkan anak di lingkungan perkotaan juga sering kali dihadapkan pada ekspektasi sosial yang tinggi. Media sosial membanjiri orang tua dengan gambaran pengasuhan ideal mulai dari makanan organik hingga metode pendidikan terkini yang sulit dicapai oleh keluarga dengan sumber daya terbatas. Tekanan untuk menjadi "orang tua sempurna" justru bisa memicu stres dan rasa bersalah. Kesulitan dan tuntutan dalam memenuhi tugas sebagai orang tua dalam proses pengasuhan anak mengakibatkan munculnya stres pengasuhan atau parenting stress (Hayes et al, 2012). Lebih lanjut, stres pengasuhan atau parenting stress timbul akibat ketidaksesuaian antara tuntutan dan kemampuan yang dimiliki orang tua dalam memenuhi tuntutan tesebut (Craig et al, 2016).

Padahal, kunci utama dalam pengasuhan anak bukanlah kesempurnaan, melainkan kehadiran dan adaptasi. Orang tua perlu belajar memprioritaskan apa yang benar-benar penting bagi anak, seperti kasih sayang, nilai-nilai kehidupan, dan rasa aman. Pemerintah juga harus turut berperan aktif dalam kebijakan-kebijakan yang pro anak seperti menyediakan berbagai fasilitas ramah anak, ruang publik yang aman, program pendidikan dan penguatan karakter anak, perlindungan terhadap hak anak serta adanya kesadaran kolektif dari masyarakat sebagai jaringan pendukung dalam menciptakan lingkungan yang ramah anak. Dengan kolaborasi ini, kota tidak hanya menjadi tempat tinggal dengan segala dinamika pembangunannya, tetapi juga menjadi ruang tumbuh bagi generasi masa depan yang setiap sudutnya mampu menjadi tempat belajar, berinteraksi, berkembang dengan sehat dan bahagia.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//