CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #5: Harian Nusantara, dari Milik Kolonial Menjadi Koran Nasional
Harian Nusantara bukan sekadar wajah baru koran Nieuwsgier . Ia adalah bukti bahwa dekolonisasi bukan hanya soal politik dan ekonomi, tapi juga narasi dan simbol.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
2 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Di tengah pusaran sejarah yang menandai akhir dominasi kolonial dan lahirnya semangat nasionalisme, sebuah peristiwa kecil namun sarat makna terjadi di bilik redaksi sebuah surat kabar. Pada 9 Desember 1957, harian berbahasa Belanda Nieuwsgier resmi berganti wajah menjadi Nusantara. Bukan sekadar perubahan nama atau bahasa, ini adalah transisi dari sebuah corong kekuasaan kolonial menjadi media yang meneguhkan Indonesia sebagai bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri.
"Ochtendblad voor Indonesië" atau "Surat Kabar Pagi untuk Indonesia" adalah moto lama Nieuwsgier. Kini, ia digantikan oleh semangat baru. Dalam edisi perdananya, redaksi Nusantara menegaskan dengan gamblang:
"Di sini kami tegaskan, bahwa harian ini tidak berpihak kepada salah satu partai. Kami hidangkan Nusantara kepada masyarakat ramai dengan harapan bantuan dan simpati seperti sediakala.”
Kalimat yang sederhana, namun menyiratkan pergeseran besar, dari penjajahan narasi ke kemerdekaan berpikir.
Perubahan ini bukan datang dengan sendirinya. Pada 1 Desember 1957, melalui Keputusan Menteri Penerangan, seluruh aktivitas pers milik Belanda dilarang. Walau Nieuwsgier sudah lebih dulu dinasionalisasi pada akhir 1956, koran ini tetap terkena imbas kebijakan keras tersebut.
Namun, hanya berselang lima hari, pemerintah memberikan izin khusus, Nieuwsgier boleh terbit lagi, kali ini sebagai Harian Umum Nusantara dengan wajah, bahasa, dan semangat baru. Sebuah kompromi politik sekaligus strategi kebudayaan. Menutup pintu kolonialisme, tapi tak membakar seluruh bangunannya.

Baca Juga: CERITA DARI MEDIA CETAK LAWAS #2: Menelusuri Jejak Bandung Lewat Lembaran BERDIKARI
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #3: Koran Indonesia Raya, Pelopor Jurnalisme Investigatif
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #4: Menengok Wajah Harian Mandala, Saksi Bisu Sejarah Pers Jawa Barat
Redaksi Baru, Wajah Baru Pers Nasional
Markas besar Nusantara beralamat di Jalan Pintu Air No. 23, Jakarta. Sebuah alamat yang pada 1950-an menjadi salah satu simpul penting dunia pers ibu kota. Dipimpin oleh Mr. Tengku D. Hafas selaku Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi, dibantu Mr. H. Hasibuan sebagai wakil, Nusantara mematok harga eceran Rp 1 dan langganan bulanan Rp 22,50 untuk wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Tak menunggu waktu lama, edisi perdana Nusantara langsung terbit dengan sarat isi. Kunjungan Presiden Soekarno ke Surabaya pada 11 Desember 1957 untuk menghadiri rapat raksasa pembebasan Irian Barat jadi tajuk utama. Turut dalam rombongan yakni Menteri Penerangan Soedibjo, Ruslan Abdulgani, dan enam duta besar sahabat.
Di Senayan, wacana menghidupkan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta muncul ke permukaan. Panitia Sembilan tengah menjajaki kemungkinan mengangkat Bung Hatta kembali sebagai Wakil Presiden, sebuah isu yang menyentuh urat nadi politik nasional kala itu.
Sementara itu, sidang pleno Konstituante yang dipimpin Mr. Wilopo resmi ditutup tanpa hasil. Lima pokok agenda utama, termasuk dasar negara, belum menemui titik temu. Suara-suara ideologis masih bersilang sengit.
Ketegangan Diplomatik dan Aksi Massa
Dari ranah diplomasi, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio baru saja pulang dari sidang PBB. Meski belum membuahkan hasil konkret, ia membawa kabar bahwa pintu diplomasi terkait Irian Barat belum tertutup rapat.
Namun di tanah air, suhu politik meningkat. Pemerintah Indonesia memerintahkan warga Belanda yang tak lagi bekerja untuk meninggalkan negeri ini. Di Den Haag, PM Willem Drees menggelar sidang kabinet darurat guna membahas evakuasi sekitar 50.000 warga Belanda.
Amerika Serikat pun turun tangan. Duta Besar John Allison diberi mandat lunak untuk meredam gejolak dan menjamin keselamatan warga asing.
Dari Semarang ke Bojongkoneng
Di berbagai kota, aksi massa tak terbendung. Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat di Semarang menyerukan penurunan foto Ratu Wilhelmina dan Juliana dari kantor-kantor Belanda. Coretan perlawanan menghiasi tembok dan kendaraan. Suasana jalanan pun berubah menjadi panas, tegang, dan penuh simbol.

Militer Ambil Alih: Operasi terhadap Perusahaan Belanda
Di wilayah Tentara dan Teritorium I (TT-I), penguasa militer mengambil alih pengawasan terhadap seluruh perusahaan Belanda sejak 6 Desember 1957. Operasi ini bertujuan meredam gejolak yang menyertai aksi-aksi massa seputar Irian Barat.
Di Jakarta, beberapa perusahaan Belanda diketahui telah dioperasikan buruh, termasuk empat perusahaan pelayaran (KPM, Rotteredamsche Lloyd, KJCPL, dan SMN), tiga konglomerat dagang besar (Big Five), dan tiga bank besar Belanda. Tak ketinggalan, Hotel Des Indes dan Radio Holland juga menjadi sasaran aksi.
Tak hanya di pusat kota. Di pinggiran Bandung, suara ledakan dari gudang mesiu Angkatan Darat di Bojongkoneng menggetarkan bumi. Kilatan cahaya menyapu langit malam. Dugaan sabotase pun menyebar secepat dentumannya.
Layar Perak, Apotek, dan Kesibukan Harian
Namun hidup tetap berjalan. Di tengah hiruk-pikuk politik dan gejolak nasional, Nusantara juga memuat hal-hal kecil yang menjaga ritme kehidupan kota seperti daftar apotek jaga di Jakarta dan jadwal film yang diputar di bioskop-bioskop ibu kota Jakarta dan advertising, kolom iklan.
Berikut jadwal apotk jaga atau disebut Rumah Obat malam Jakarta
Tanggal 6 s/d 12 Desember 1957: BENG SENG, Jl. Pancoran 27, USADA II, Jl. Jembatan Lima 43. GANDHA, Jl. Mangga Besar 1A. TONINA, Jl. Hayam Wuruk 344. TERRY, Jl. Balikpapan 2C. GALENI. CA, Jl. Tanah Abang Bukit 39. BAVOSTA, Jl. Segara 83. TITI MURNI, Jl. Kramat Raya 128. DJATINEGARA, Jl. Matraman Raya 151. PASAR TJIKINI, Jl. Tjikini Raya 88.
Acara Bioskop Jakarta, Senin, 9 Desember 1957: METROPOLE: The Wings of Eagles; CATHAY: Uran Khatola; ORION: Mister Cory; SHANGHAI: Gazal el Banett; NUSANTARA: The King's Thief; ROXY: Uran Kathola; GARDEN HALL: Dragnet; REX: Gazal el Banett; MENTENG: Abdullah the Great; ASTORIA: Abdullah the Great; CINEMA: Abdullah the Great; GLOBE: I cover the Under World; CAPITOL: Djandjiku; RIVOLI: Mangu; SIN TU: Mangu; CITY: The Lone Ranger; MAXIM: Her Kind of Man; CAPITOL: Guerrero; serta TARUMA: Arab Ka Saudagar.
Di Jakarta, Sekolah Rakyat Cikini kembali dibuka, pasca percobaan pembunuhan terhadap Presiden. Sebuah panitia bantuan pun dibentuk, diketuai Ny. Azil Widjajakusuma.

Penanda Zaman, dari Kolonialisme ke Narasi Merdeka
Harian Nusantara bukan sekadar surat kabar baru. Ia adalah penanda zaman. Sebuah bukti bahwa dekolonisasi bukan hanya soal politik dan ekonomi, tapi juga narasi dan simbol. Dari Nieuwsgier yang menulis Indonesia dari kacamata penjajah, kini Nusantara menulis dirinya sendiri dengan bahasa, semangat, dan arah baru.
Seperti ditulis oleh redaksinya, harian ini “tidak berpihak kepada salah satu partai.” Tapi jelas ia berpihak pada kemerdekaan. Sebab kemerdekaan sejati bukan hanya berdiri di atas tanah sendiri, tapi juga bercerita dengan suara sendiri.
Membaca kembali kelahiran Harian Nusantara adalah menyusuri jejak dekolonisasi dalam bentuk yang paling sunyi namun mendalam yaitu perubahan bahasa, kepemilikan, dan arah pemberitaan.
Dari Nieuwsgier ke Nusantara, sejarah mencatat bukan hanya pergantian nama, tapi juga peralihan kendali atas makna. Di sanalah pers hadir bukan sekadar mencatat peristiwa, tapi menjadi bagian dari perjuangan: menjahit nalar kebangsaan, menata ulang lanskap ingatan, dan menyuarakan Indonesia dengan lidah sendiri.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB