• Opini
  • Dari Bandung ke Badung, Primadona Pariwisata yang Terjebak di antara Krisis Ruang dan Ekologis

Dari Bandung ke Badung, Primadona Pariwisata yang Terjebak di antara Krisis Ruang dan Ekologis

Komersialisasi ekologi menjadi masalah utama Bandung dan Badung. Alam yang seharusnya menjadi kekuatan produktif bersama, justru menjadi alat mengakumulasi profit.

Putu Ayu Suniadewi

Mahasiswa Magister Jurusan Teknologi Informatika INTI Malaysia. Kader Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia dan Perhimpunan Pelajar Indonesia.

Lingkungan menanggung derita akibat industri dan pembangunan yang ugal-ugalan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

2 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Bandung dan Badung, dua wilayah yang sekilas sama dari sudut penamaan namun terpisah jarak, berbeda budaya, dan memiliki ciri khasnya masing-masing. Tapi, keduanya secara garis besar memiliki kesamaan sebagai tumpuan sektor pariwisata di provinsinya masing-masing, Bandung bagi Jawa barat sementara Badung bagi Bali.

Badung menjadi gerbang udara Pulau Dewata. Badung selalu memantrai setiap jiwa lewat simfoni ombak yang tak henti mengukir pantai-pantainya, seirama dengan denyut hidup masyarakatnya yang akrab dengan mosaik multibudaya di mana mereka menyatu dalam ritual pasar, dialek, dan senyum yang serupa doa.

Kemegahan pura di Badung bukan sekadar pemandangan artistik, melainkan jantung kosmologi yang terus berdetak. Dari Pura Uluwatu yang tegak di tebing karang hingga Pura Taman Ayun yang  mengambang dalam kolam bagai mandala hidup yang menjadi panggung bagi banyak upacara adat, terselip mahakarya peradaban agraris yang kita kenal sebagai sistem Subak yang telah mendapat pengakuan sebagai Warisan Budaya Dunia.

Subak sangat istimewa bagi masyarakat Bali yang adatnya menjunjung tinggi keseimbangan antara Tuhan, alam, dan manusia dalam konsepsi Tri Hita Karana. Sejatinya banyak tetua masyarakat Bali yang menganggap setiap aliran air di Subak adalah doa dan setiap metundun-nya (bertani bersama) adalah ritus, sehingga membuat tanah, keringat, dan mantra terus menyatu memperpanjang nafas kebudayaan Bali yang artistik-spiritual tetap bertahan dalam modernitas.

Sementara Bandung yang terdiri dari kota dan kabupaten, sudah lama dikenal lewat sepak terjang sejarahnya. Bukan hanya bagi bangsa, namun juga bagi dua blok dunia yang sempat bersitegang karena perbedaan ideologi.

Serupa seperti Badung, dari puncak Gunung Tangkuban Parahu sampai Dago, lanskap Bandung yang merupakan bagian dari tanah Pasundan dianggap oleh Meneer Martinus Antonius Weselinus Brouwer diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum. Bandung menawarkan keindahan alam yang mengajak jiwa untuk jatuh cinta pada dinginnya udara yang seirama dengan  hangatnya senyum warga, atraktifnya gaya, dan segala kisah urban yang terpendam dalam secawan kopi maupun teh di kafe-kafe bergaya retro sembari berteman musik yang syahdu yang sesekali disambangi fanatisme sepak bola.

Namun di balik layar, Bandung dan Badung menyimpan paradoksnya sendiri. Di balik keindahannya, dua wilayah yang menjadi tumpuan ekonomi di provinsinya masing-masing ini memiliki kompleksitas masalah seperti krisis ekologi dan krisis ruang hidup.

Baca Juga: Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!
Mengapa Pembangunan Pariwisata dan Permukiman Menyebabkan Bencana Banjir di Perkotaan?
Pengabaian Risiko Bencana di Surga Wisata Lembang

Antara Badung dan Bandung, Ekologi yang Berada di Senjakala

Jika menelisik dari sejarah perkembangan pariwisata Badung dan Bandung sejak awal abad ke-20, tepat saat pemerintah Hindia Belanda membentuk Officiele Vereeniging voor Touristenverkeer  (Biro Resmi Pariwisata) pada 1908, memang menjadikan yang ekologis sebagai primadona utama di samping budaya. Sekaligus, sebagai prakondisi pengembangan pariwisata yang kemudian kita kenal sebagai ekowisata yang dari proses pengembangannya itu kemudian membentuk interaksi bersejarah dan menjadi memori kolektif sebagaimana yang disorot oleh Palmer (1994) dalam tulisannya “Tourism and Colonialism. The Experience of the Bahamas’.

Dari perspektif studi pascakolonial, ekowisata memang bukan sekadar aktivitas rekreasi di alam namun merefleksikan juga keinginan untuk mempelajari sistem ekologi sekaligus mendukung terciptanya kekuasaan  kolonial yang berbasis pada monopoli pengetahuan ekologis sebagaimana yang diterangkan oleh Black Fiona (2021) dalam tulisannya “Ain’t Nobody Gone Take It from You!”’ Postscripts: The Journal of Sacred Texts, Cultural Histories, and Contemporary Contexts”.

Pasca kemerdekaan, ekowisata memang menjadi andalan utama pariwisata yang dikembangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah di Bandung dan Badung. Di Jawa Barat, berdasarkan pada peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2025-2045 disebutkan sekitar 53,71 persen potensi pariwisata merupakan ekowisata dan dikelompokkan dalam lima potensi yakni perkebunan, perairan sungai dan danau, bentang alam khusus, bentang alam pesisir pantai, serta pegunungan dan hutan alam/taman nasional/taman wisata alam/tahura.

Oleh karena itu, terkhusus kawasan Bandung baik sebagai kota maupun kabupaten, pengembangan ekowisata memainkan peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bahkan Kabupaten Bandung sendiri melalui Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 18 Tahun 2012 menegaskan jika konsep pengembangan kepariwisataan bertumpu pada ekowisata. Sementara Kota Bandung, mesti tidak secara spesifik menumpukan ekowisata sebagai keutamaan, namun ekowisata tetap dipandang penting sebagai penunjang pengembangan pariwisata bersama pariwisata berbasis pendidikan dan rohani, belanja dan kuliner, budaya, konvensi, dan olahraga melalui Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2013.

Untuk Kabupaten Badung, yang dikenal sebagai tulang punggungnya ekonomi Bali, sektor ekowisata juga menjadi tumpuan baik sebagai konsepsi, arah, dan strategi yang ditegaskan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2016 yang bertumpu di Badung Tengah dan Utara.

Secara keseluruhan, Bali memang mengutamakan ekowisata sebagai penunjang utama pencapaian pembangunannya dalam 100 tahun ke depan yang disusun secara komprehensif dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2024 yang basis utama pembangunannya sendiri adalah mencapai keseimbangan alam, manusia, dan kebudayaan Bali yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerthi yaitu enam sumber utama kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan manusia, yang meliputi Atma Kerthi, Penyucian dan Pemuliaan Atman/Jiwa; Segara Kerthi, Penyucian dan Pemuliaan Pantai dan Laut; Danu Kerthi, Penyucian dan Pemuliaan Sumber Air; Wana Kerthi, Penyucian dan Pemuliaan Tumbuh-tumbuhan; Jana Kerthi, Penyucian dan Pemuliaan Manusia; dan Jagat Kerthi, Penyucian dan Pemuliaan Alam Semesta.

Meski sudah disusun dalam bentuk aturan yang berisi taktis, target, dan arah yang cukup bagus, apakah kondisi ekologis di kawasan Bandung (kota dan kabupaten) serta Badung tetap terjaga? Jika melihat pada kenyataan objektif, justru kondisi ekologis di wilayah Badung dan Bandung sedang mengalami keterancaman akibat semakin terkomersialisasi oleh pembangunan yang menggunakan logika kapitalistik.

Di Badung, yang menjadi tempat tinggal penulis, selain semakin macet, sering banjir, banyak pula lahan terbuka hijau yang bahkan statusnya sebagai milik pemerintah dan adat beralih fungsi menjadi vila-vila mewah. Menjadi benar keprihatinan seorang bule Australia yang merintis Rahayu Project bahwa setiap hari Bali kehilangan kepingan tanah surganya.

Komersialisasi ekologi merupakan masalah utamanya karena kondisi inilah yang menyebabkan alam yang seharusnya menjadi kekuatan produktif bersama justru menjadi alat untuk mengakumulasi profit. Sehingga merombak relasi manusia-alam menjadi hubungan yang eksploitatif, memicu keretakan metabolis berupa ekstraksi sumber daya secara berlebihan, merusak siklus regenerasi alam, mengubah keseimbangan ekologis menjadi krisis lingkungan, dan pada akhirnya mengorbankan keberlanjutan hidup rakyat banyak hanya demi memuaskan nafsu profit segelintir pemodal yang berkongkalikong dengan penguasa yang zalim.

Selama ini komersialisasi terhadap alam memang kurang disadari sebagai kontradiksi kapitalisme yang sebenarnya hanya menjadikan ekologi sebagai "mesin pertumbuhan" yang justru menghancurkan fondasi material peradaban manusia itu sendiri.

Ironisnya, sebagaimana kata Noam Chomsky, ketika mereka  untung maka rahasiakan keuntungan itu, namun ketika merugi maka kerugian itu  menjadi milik bersama. Dalam konteks Bandung dan Badung, ketika terjadi masalah lingkungan seperti banjir dan abrasi  misalnya, yang terdampak adalah rakyat kebanyakan, sementara penguasa dan pengusaha memilih diam sembari saling lempar kesalahan.

Antara Badung dan Bandung, Saling Berebut Ruang Hidup

Saat artikel ini ditulis, ada dua kejadian terkait upaya merebut ruang hidup di Badung dan Bali meski dalam konteks berbeda. Yang pertama seputar pembongkaran Morabito Art Cliff dan sejumlah bangunan di Pantai Bingin, Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, yang dinyatakan ilegal pendiriannya pada Senin, 21 Juli 2025, yang menyisakan kemelut terhadap para karyawan yang sudah lama bekerja di kawasan itu. Sementara di Bandung, tepat pada Hari Kartini terdengar kabar yang biadab dari laman Instragram @sukahajimelawan tentang sekelompok preman suruhan perusahaan yang memukuli ibu-ibu warga empat RW Kelurahan Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung, yang sedang menanti pergusuran dengan dalih penataan ruang dan sengkarut hak milik akibat klaim dari sebuah perusahaan yang mendapat back-up dari centeng lokal  bersama aparat negara.

Dari dua kejadian itu, selain masalah ruang terbuka hijau yang terbatas, penggusuran, dan tempat tinggal yang  layak ternyata masih menjadi fenomena yang kerap terjadi di Bandung dan Badung yang menjadi tulang punggung ekonomi di wilayahnya masing-masing. Hal ini tentu  menunjukkan adanya kegagalan pemerintah dalam menempatkan keadilan, apalagi ketika dihadapkan dengan konflik ruang antara masyarakat, korporasi, mafia tanah, atau kekuatan global seperti yang terjadi di Bali dalam konteks penggusuran dan gagalnya pemerintah dalam menyediakan ruang hidup yang layak untuk warganya yang sering mereka janjikan setiap lima tahun sekali itu dalam konteks perumahan.

Tapi kita harus memaklumi, toh dalam percaturan politik demokrasi borjuis, rakyat hanyalah pion-pion catur yang digiring dalam permainan yang tidak mereka kuasai. Papan permainan megah itu selalu dihiasi janji-janji kosong. Sementara para elite yang bergantian memerintah, bukan malah melindungi, tetapi justru mempertegas belenggu penindasan.

Kalau kita telaah, krisis ruang hidup pada dasarnya berpusat pada transformasi yang dipaksakan oleh kapitalisme terutama selama resesi ekonomi yang berdampak secara signifikan pada lingkungan perkotaan dan struktur sosial yang terkait dengannya, yang kemudian termanifestasi dalam ketiadaan akses terhadap perumahan, tata kota yang layak, dan ketidakadilan spasial.

Di wilayah Badung, akibat pembangunan yang terlalu berlebihan membuat harga tanah semakin melonjak. Apalagi fenomena itu beriringan dengan semakin meningkatnya turisme ke dalam kondisi yang disebut over-turism.

Selain itu muncul pula praktik spekulan tanah yang selalu membeli lahan dengan motivasi utama mengincar keuntungan jangka pendek dari kenaikan harga, bukan untuk penggunaan produktif atau kebutuhan riil yang telah melahirkan gelembung properti di mana laba selangit para penjual kemudian memicu klaim kepemilikan semu dan keserakahan dalam skala yang tak pernah terlihat sebelumnya. Virus nafsu ini menggerus ikatan sakral manusia Bali dengan tanahnya dan merongrong masa depan kebudayaan Bali di masa depan terutama sektor pertanian.

Rakyat Bali sebenarnya tidak melupakan sektor pertanian apalagi mereka masih merasa menjadi masyarakat agraris. Namun dikarenakan regulasi tata guna lahan yang gagal menyentuh akar masalah menjadi penyebab petani terpaksa menjual tanahnya, mengakibatkan masyarakat Bali semakin terasing dengan pertanian itu sendiri. Apalagi pertanian tak disubsidi pemerintah dan petaninya sendiri tak mampu bersaing dengan imbalan ekonomi dari industri pariwisata. Lebih parah lagi, hukum kerap tak ditegakkan akibat kuatnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Di Bandung, baik di kota maupun kabupatennya, suasana tak kalah mencekam. Reportase dari Bandung Bergerak perihal penggusuran di Dago Elos, Tamansari, dan Sukahaji sedikit menggambarkan dari banyaknya penindasan ruang hidup di Bandung dengan berbagai macam dalih oleh penguasa yang nir-solusi, aparat yang nir-moral, dan pemodal yang rakus yang membuat semakin sengitnya perang kelas untuk memperebutkan siapa yang berkuasa atas ruang hidup yang  ironisnya selalu menempatkan rakyat sebagai pihak yang selalu dan akan kalah, akibatnya rakyat yang mayoritas berpenghasilan rendah terpaksa  tinggal di bantaran sungai atau kawasan kumuh dengan akses terbatas terhadap sanitasi yang sehat serta bergelut dengan ancaman bencana dan pengusiran.

Di satu sisi pembangunan mal, apartemen, dan kawasan elite di Bandung yang masif justru semakin meminggirkan ruang publik yang bukan hanya mempersempit peluang terciptanya pemukiman yang layak untuk warganya namun juga mengancam keberlanjutan ekologis dan mengenyahkan kualitas hidup.

Antara Badung, Bandung, dan Perlawanan Hak Atas Kota

Masyarakat di Bandung dan Badung sebenarnya tidak diam, dengan segenap kekuatan mereka  berusaha merespons krisis ruang hidup sebagai manifestasi pertarungan kelas yang melawan logika akumulasi kapital. Ruang hidup, dalam dialektika materialis, memang harus menjadi medan kontestasi untuk merebut kembali (reclaim) sekaligus  mendefinisikan ulang tatanan ruang yang pro-kemanusiaan, melampaui fetisisme komoditas, dan alienasi ruang di bawah kapitalisme.

Dalam konteks krisis perumahan dan urban yang struktural, negara sebagai alat dominasi kelas penguasa justru mengabdi pada kebijakan neoliberal yang melanggengkan ekspropriasi ruang oleh kapital yang merujuk pada proses di mana ruang hidup (permukiman, tanah publik, kawasan hijau, wilayah komunitas) direbut untuk dikomodifikasi menjadi alat mengakumulasi profit bagi kelas pemodal, melalui mekanisme kapitalis yang didukung negara.

Ironisnya pasca-resesi, kebijakan penghematan (austerity) sering menjadi alat pemindahan beban krisis ke kelas pekerja di mana investasi terhadap ruang hidup yang layak bagi rakyat merosot tajam demi mempertahankan tingkat akumulasi kapital yang kemudian mengubah lanskap urban menjadi monumen kesenjangan yang mempertajam antagonisme kelas.

Kontradiksi kapitalis ini melahirkan gesekan tak terdamaikan antara imperatif finansial (valorisasi ruang) dan keadilan sosial (nilai-guna ruang). Di sinilah konsep “hak atas kota” (right to the city) dapat dijadikan acuan untuk menggugat kepemilikan privat atas ruang yang diekstraksi sebagai alat produksi dan sumber rente.

Merebut kuasa perencanaan kota dari rezim kapital-immobil (manifestasi kapital yang membeku dalam bentuk fisik ruang) untuk membangun tatanan ruang yang berpusat pada reproduksi kehidupan (reproductive labor) ketimbang akumulasi profit  harus menjadi keutamaan karena  tujuan akhirnya adalah menuju ke arah  kondisi dekomodifikasi ruang yang sejauh ini bisa dipandang  sebagai langkah konkret  untuk membebaskan masyarakat di Bandung, Badung, dan di mana pun juga  dari jerat relasi produksi kapitalis yang senantiasa  menyangga ketimpangan urban.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//