Solidaritas Kemanusiaan untuk Bekal Penanganan Tengkes
Para kader Posyandu Desa Batukaras, Pangandaran berjibaku bersama pemerintah desa untuk menurunkan angka prevalensi tengkes.

Yohanis Baptista Nurmalae dan Yohanes Ario Seto
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
4 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Suatu kali, Ratih, warga Dusun Sanghiangkalang, Desa Batukaras, Pangandaran yang menjadi kader posyandu menangis sedih karena makanan dari Program Pemberian Makan Tambahan (PMT) ditolak oleh penerimanya. Program ini adalah program bantuan dari Desa Batukaras kepada mereka yang membutuhkan. Penerimanya adalah ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
Di waktu yang berbeda, kader lainnya, Jumiati mengalami kejadian yang membuatnya gemas sendiri. Suatu kali, ia bertugas untuk memberikan vitamin dan susu kepada balita. Selama beberapa hari, ia pergi ke rumah tersebut untuk memberikan vitamin dan susu itu sembari terus mengajarkan kepada orang tua soal kapan keduanya harus dikonsumsi. Akan tetapi, setelah beberapa hari ia tidak ke sana, terkejutlah ia karena orang tua tersebut tidak memberikannya. Rupa-rupanya mereka menanti Jumiati untuk memberikannya walaupun vitamin dan susu tersebut sudah ada di rumah mereka. Ia gemas melihat orang tua tersebut yang seperti tidak perhatian pada anaknya sendiri dan malah menjadi bergantung padanya.
Kisah lainnya datang dari Ani dan Nur yang berulang-kali pergi mengantar balita ke rumah sakit untuk mendapat pengobatan. Mereka mengusahakan semuanya, termasuk mengurus transportasi, janji dengan dokter, menebus obat, dan lain-lain. Akan tetapi, manakala anak tersebut diantar pulang, reaksi sang ayah justru cuek saja. Ia tidak berterima kasih dan seakan tidak peduli dengan kondisi kesehatan anaknya.

Sejatinya masih ada banyak kisah-kisah lainnya. Ada yang mengalami penolakan. Ada yang melihat sendiri soal orang tua yang tidak peduli pada kondisi anaknya. Ada pula, yang sudah hendak diberi bantuan tetapi ditolak mentah-mentah.
Ragam kisah singkat di atas adalah gambaran nyata yang dialami oleh para kader Posyandu Dusun Sanghiangkalang, Desa Batukaras, Pangandaran. Mereka berjibaku bersama Pemerintah Desa untuk menurunkan angka prevalensi tengkes di sini. Kini, yang ada tinggal anak-anak yang berada di kategori risiko tinggi. Hal ini tentu saja adalah buah nyata kerja keras antara desa dengan para kader posyandu.
Para kader posyandu di atas adalah orang-orang yang berkehendak baik untuk bergerak turun ke masyarakat. Mereka rutin mengedukasi warga dalam kegiatan posyandu, memberi Makan lewat program PMT setiap hari kepada yang membutuhkan, mendampingi keluarga muda, mengantar warga ke fasilitas kesehatan, dan lain-lain. Semuanya dilakukan secara sukarela tanpa imbalan apa pun. “Kami di sini bekerja secara sukarela saja. Harapannya semoga anak-anak dapat tetap sehat dan orang tua semakin peduli,” kata mereka.
Jangan bayangkan ini adalah pekerjaan yang mudah. Sebagaimana dikisahkan di atas, kerap kali kader Posyandu harus menghadapi tantangan demi tantangan ketika terjun langsung ke tengah masyarakat. Beberapa yang mengemuka adalah soal kesadaran pola asuh yang kadang masih susah diterapkan. Sebagai contoh, banyak orang tua yang masih merokok di depan anaknya yang masih balita. Atau, ada juga orang tua yang hanya memberikan anaknya makanan instan yang kurang bergizi.
Tantangan lainnya juga datang dari kondisi perekonomian. Di tengah masyarakat yang sehari-hari hidup sebagai nelayan, kadang kala nutrisi dan gizi anak agak dikesampingkan karena himpitan tuntutan ekonomi. Dahulu juga kerap ada orang tua yang menolak untuk membawa anak-anaknya ke posyandu karena takut.
Di tengah tantangan-tantangan tersebut, para kader Posyandu tetap bergerak aktif. Mereka tetap sabar memberi pengertian kepada orang tua soal pentingnya pemenuhan gizi dan nutrisi pada anak-anak. Mereka juga mengedukasi soal Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang mencakup pula soal sanitasi dan kebersihan.
Secara perlahan, jerih keringat para kader Posyandu ini terbayar. Kesadaran masyarakat soal tengkes meningkat. Para orang tua menjadi lebih perhatian dengan perkembangan tinggi dan berat badan anak-anak mereka. Mayoritas orang tua juga mengusahakan pola dan menu makan yang baik pada mereka. Bantuan-bantuan dari desa seperti PMT, pemberian vitamin dan obat juga diterima, begitu pula dengan ajakan ke puskesmas/rumah sakit bagi yang membutuhkan.
Hal yang paling menggembirakan adalah ketika melihat anak-anak yang ditangani kader Posyandu sudah bertumbuh dengan baik. “Paling senang ketika melihat anak yang dulu kami timbang sekarang sudah besar dan sekolah dengan kondisi sehat,” kata Ani.
Hasil ini tentu tidak diraih secara instan. Ada penolakan dan tantangan lain yang menyelimuti. Akan tetapi, itu semua dilampaui berkat ketekunan para kader dalam membantu mengedukasi masyarakat. Tanpa adanya ketekunan ini, rasanya tidak mungkin kesadaran masyarakat membaik.

Bagi mereka, kuncinya adalah kemauan dari hati yang membuahkan kesabaran dalam melakukan kegiatan. Beberapa kader setiap pagi sejak pukul 03.00 pagi untuk menyiapkan PMT bersama. Ada pula yang harus mengurus lahan dari desa yang dipercayakan kepada mereka. Para kader juga harus mau untuk belajar lagi soal hal-hal baru. Sebab, kalau mereka tidak belajar, bagaimana mungkin mereka membantu edukasi pada warga? Masih banyak lagi kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh para kader.
Meskipun lelah dan kejenuhan tak dapat dihindari, semangat para kader tidak pernah surut. Mereka tidak bergerak karena insentif, melainkan karena rasa tanggung jawab dan kepedulian mendalam terhadap tumbuh kembang anak-anak di sekitar mereka. Momen sederhana seperti melihat anak yang sebelumnya sakit kini sehat dan ceria menjadi sumber kebahagiaan yang tak ternilai.
Apresiasi dari pemerintah desa, seperti pelatihan, dukungan moral, dan insentif sederhana, menjadi penyemangat di tengah berbagai tantangan. Para ibu kader juga terus berinovasi dalam menyampaikan edukasi, mulai dari penyuluhan tatap muka hingga pesan di grup WhatsApp. Pada akhirnya, yang menggerakkan mereka adalah hati yang sudah disentuh untuk bergerak berbagi pada sesama.

Baca Juga: Menyulam Ruang Aman untuk ODHA di Bandung
Kisah di Balik Meja Makan, dari Perjuangan Family Man sampai Saksi Revolusi di Batukaras
Perjuangan Ibu-ibu Kader Posyandu Dusun Karangpaci demi Kesejahteraan Masyarakat
Solidaritas Kemanusiaan: modal untuk penanganan tegkes
Kalau dilihat dari kisah perjuangan para kader posyandu di atas, tampaklah nyata bahwa persoalan penanganan tengkes sejatinya haruslah didasarkan pada semangat solidaritas kemanusiaan. Adalah percuma mempelajari berbagai ilmu pengetahuan bila tidak memiliki semangat solidaritas pada sesama yang membutuhkan. Para kader mungkin memang tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni soal hal-ihwal ini. Akan tetapi, mereka memiliki hati yang terbuka. Hati mereka diketuk oleh rasa solidaritas pada sesama yang sedemikian rupa sehingga menggerakkan diri mereka untuk mau belajar, mau bertindak, dan mau menolong sesama.
Dari hati yang terjamah inilah, lahir berbagai gerakan kebaikan pada sesama. Pada awalnya, para kader juga merasa takut dan minder. Sejatinya pula, mereka memiliki ribuan alasan untuk memilih tidak bergerak. Akan tetapi, panggilan kemanusiaan menggerakkan hati mereka sehingga mereka memiliki jutaan alasan untuk berani bergerak.
Solidaritas kemanusiaan inilah pula yang membuat mereka tetap bertahan walaupun harus disertai dengan tangisan, rintihan kekecewaan, dan penolakan. Mereka tetap bergerak walau harus menghadapi itu semua. Kalau tidak didasari pada dasar solidaritas ini, sepertinya berbagai tantangan ini akan membuat mereka menyerah.
Dari para kader ini, dapatlah dipelajari beberapa hal. Bukan soal seberapa tinggi ilmu pengetahuan, tetapi soal kemauan untuk belajar dan berbagi. Bukan soal fulus dalam insentif, tetapi soal kemauan dan kepekaan untuk berbuat sesuatu kepada orang yang membutuhkan. Bukan soal apa yang didapat, tetapi apa yang dapat diberi dan dibagikan.
Sebab, di balik angka prevalensi tengkes yang menurun, terdapat karya baik para kader posyandu yang tidak lelah berkarya bagi sesama. Di dalam mereka hanya ada hati tulus yang dijamah rasa kepedulian pada sesama. Mereka bagaikan pelita yang bernyala terang di tengah gelap. Dan, pelita itulah yang menyalakan api pengharapan serta membuat banyak orang merasakan kebaikan. Pada akhirnya, bisa jadi dimensi solidaritas kemanusiaan inilah yang akan amat membantu untuk menangani tengkes di Indonesia.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB