Paradoks Keadilan dalam Transisi Energi Geotermal Indonesia
Eksploitasi geotermal di Indonesia kini telah menjadi arena baru bagi perampasan ruang hidup dan pengabaian hak-hak fundamental masyarakat.

Yehezkiel Wahyudi Odo
Warga biasa. Bisa dihubungi di Instagram @auergosum
4 Agustus 2025
BandungBergerak.id – “Perjalanan menuju usia ke-80 tentu begitu menyenangkan dan membanggakan, sesederhana menyadari bahwa negara ini makin eksis termasuk dengan sekelumit masalah yang tak kunjung selesai. Hingga pada akhirnya kita berhasil bertahan dari waktu-ke waktu dengan intensi selalu membenah diri demi mencapai sesuatu yang dicita-citakan.”
*
Anugerah keberadaan "ring of fire" –negara ini sukses diglorifikasi melalui pemetaan masa depan energi ramah lingkungan. Hal ini tampak dalam narasi yang diproduksi dari pusat pemerintahan negara ini bahwa geothermal adalah satu-satunya jawaban atas ketergantungan pada energi tidak terbarukan. Narasi ini sukses membungkus eksploitasi geotermal sebagai satu-satunya upaya menuju energi “bersih” dan “hijau”.
Secara faktual narasi ini telah dieksekusi dan memiliki kekuatan yuridis dengan dikeluarkannya kebijakan yang menetapkan suatu daerah geografis tertentu sebagai geothermal land hingga geothermal island seperti Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 2268 K/30/Mem/2017 Tentang Penetapan Pulau Flores Sebagai Pulau Panas Bumi, Keputusan Menteri ESDM No. 1790 K/33/MEM/2007 Tentang Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi Di Daerah Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang Dan Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, dan masih banyak surat keputusan lainnya yang menetapkan suatu tempat sebagai tempat eksploitasi geotermal.
Sementara itu, apabila kita bergeser dari pusat pemerintahan ke daerah pinggir tempat eksekusi kebijakan di beberapa lokasi di Jawa, Sumatera, atau Flores, narasi energi “hijau” dan ”bersih” tersebut tampak sebagai paradoks. Pada beberapa lokasi eksploitasi, di atas ruang hidup masyarakat –di atas tanah yang dikuasai oleh negara, terungkap sebuah paradoks tragis yakni eksploitasi energi terbarukan justru sering kali menyisakan konflik relasi kuasa hingga ancaman kerusakan ekologis.
Penulis berpendapat bahwa eksploitasi geotermal di Indonesia kini telah menjadi arena baru bagi perampasan ruang hidup dan pengabaian hak-hak fundamental masyarakat. Alih-alih menjadi solusi, aktivitas ini justru mereplikasi model pembangunan ekstraktif yang selama ini cenderung mengorbankan kelompok paling rentan. Berangkat dari suara-suara pinggiran yang terus menjerit demi ruang hidupnya, tulisan ini hendak membongkar bagaimana label "energi hijau dan bersih" berubah menjadi kekerasan ekologis dan sosial yang sistematis.
Baca Juga: Geotermal dan Sebuah Kampung yang Hilang di Pangalengan
Bahaya Mengancam dari Transisi Energi Sumber Panas Bumi
Mereka yang Tersisih di Proyek Geotermal Gunung Salak
Dekonstruksi "Energi Hijau dan bersih"
Secara teknis, geotermal memang lebih ramah lingkungan dibandingkan batu bara. Ia tidak menghasilkan emisi karbon setinggi pembangkit listrik tenaga uap. Jurnal "Energi Geothermal dalam Aturan, Masalah Lingkungan Hidup dan Solusi Penyelesaian Konflik di Masyarakat" (Sauni, dkk., 2022) mengafirmasi potensinya sebagai energi terbarukan yang relatif stabil. Namun, klaim "hijau" dan "bersih" ini menjadi bermasalah ketika dihadapkan pada kenyataan lapangan.
Laporan-laporan dari WALHI dan Mongabay memberikan gambaran yang tampak begitu suram. Bahwa proyek geotermal pada kenyataannya membutuhkan pembukaan lahan masif, sering kali di kawasan hutan lindung atau wilayah tangkapan air yang krusial bagi ekosistem dan kehidupan warga. Pengeboran sumur-sumur produksi berisiko mencemari sumber air warga dengan zat-zat berbahaya seperti hidrogen sulfida, serta menghasilkan limbah B3 yang pengelolaannya kerap tidak transparan. Sebagaimana diungkap dalam laporan Mongabay (2025) mengenai "transisi energi yang beracun", bagi masyarakat yang hidup di sekitar areal proyek, energi ini tidak terasa bersih sama sekali dan justru mencemari dan hadir sebagai ancaman langsung terhadap kesehatan, lahan pertanian, dan sumber air minum mereka. Pada titik tragis ini, "energi hijau" berubah menjadi greenwashing –sebuah justifikasi ekologis untuk proyek industri yang merusak.
Ruang Hidup yang Terampas: Konflik Agraria dan Kedaulatan Adat
Secara radiks, penolakan masif terhadap proyek geotermal terletak pada isu tanah dan ruang hidup. Titik eksploitasi geotermal sering kali berada di ruang hidup masyarakat, beberapa di antaranya di wilayah masyarakat adat yang bagi masyarakat tidak hanya dilihat sebagai aset ekonomi, tetapi juga sebagai ruang spiritual, kultural, dan identitas. Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) secara konsisten menunjukkan bahwa proyek-proyek strategis nasional, termasuk geotermal, adalah pemicu utama konflik agraria di Indonesia. Kasus di Wae Sano, Flores, yang didokumentasikan oleh BBC Indonesia dan Kompas.id dapat menjadi rujukan kasus. Pada kasus tersebut Penolakan warga bukan semata soal ganti rugi melainkan upaya untuk mempertahankan Lingko –sistem pengelolaan lahan komunal masyarakat secara adat.
Negara mengklaim penguasaan atas kekayaan di bawah permukaan bumi melalui instrumen hukumnya yakni UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi yang sebagian diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Perspektif produk hukum ini melihat lokasi eksploitasi geotermal – ruang hidup masyarakat sebagai tanah yang dikuasai oleh negara dan memiliki keuntungan ekonomis jika dimanfaatkan– diksi halus untuk eksploitasi. Perspektif seperti ini tentunya langsung berbenturan dengan hukum adat yang melihat tanah –ruang hidup tidak hanya terbatas pada tanah yang ditempati. Lebih lanjut ketiadaan UU Masyarakat Adat membuat posisi komunitas masyarakat adat menjadi sangat lemah. Hak ulayat mereka tidak diakui secara penuh, membuat mereka rentan tergusur atas nama "kepentingan umum".
Proyek geotermal, dengan demikian, bukan sekadar proyek energi; ia adalah arena pertarungan antara dua konsepsi tentang "tanah ": tanah sebagai sumber daya ekstraktif yang dikuasai oleh negara versus tanah sebagai ibu yang memberi kehidupan dan makna bagi masyarakat adat. Pertentangan perspektif ini menyebabkan buntunya dialektika antara penyelenggara pemerintahan dengan masyarakat terdampak. Kondisi seperti ini diperparah dengan adanya asimetri kuasa dalam penyelesaian permasalahan yang timbul. Rekomendasi pendekatan Alternative Dispute Resolution (ADR), pendekatan adat, dan dialog komprehensif hanya terdengar ideal dan menjanjikan. Namun dalam praktiknya, mekanisme ini seringkali gagal sebab dilaksanakan melalui relasi kuasa yang sangat timpang.
Pemerintah dan perusahaan ketika dihadapkan dengan penolakan sering kali menawarkan solusi berupa "sosialisasi" dan "dialog". "Sosialisasi" lebih sering berfungsi sebagai komunikasi satu arah untuk meyakinkan warga agar menerima proyek, bukan sebagai forum untuk mendengar dan menghormati aspirasi mereka. Segala sikap penolakan dari warga sering kali tidak dianggap sebagai jawaban final, melainkan sebagai hambatan yang harus diatasi. “Dialog” menjadi buntu karena tujuannya bukan untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan "apakah proyek ini perlu?", melainkan untuk menegosiasikan "bagaimana proyek ini akan dijalankan?". Ketika warga tetap menolak, tidak jarang mereka menghadapi intimidasi dan upaya kriminalisasi.
Kenyataan Ini menunjukkan bahwa kesempatan partisipasi yang dijamin oleh hukum sering kali bersifat semu dan hanya menjadi sebuah prosedur formalitas untuk melegitimasi keputusan yang sudah diambil. Pada akhirnya, permasalahan geotermal di Indonesia merupakan cermin dari permasalahan yang lebih besar yakni kegagalan pemerintah dalam meredefinisi makna pembangunan. Bahwa transisi energi yang hanya berfokus pada substitusi dari satu sumber ke sumber lain (panas bumi) tanpa mengubah paradigma pembangunan yang eksploitatif hanya akan memindahkan ketidakadilan dari satu tempat ke tempat lain.
Keadilan energi sejati menuntut lebih dari sekadar besaran daya energi bersih potensial melainkan menuntut proses yang demokratis, partisipatif, dan menghormati kedaulatan masyarakat terdampak terhadap tanah dan ruang hidup mereka. Dengan demikian alangkah baiknya sebelum mengeksploitasi ruang hidup, pemerintah perlu menjawab pertanyaan terkait “apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat yang telah hidup di atasnya selama turun-temurun?”
Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya kita tidak hanya dapat melihatnya dan menilainya dari pusat, kita perlu bertolak ke pinggir melihat apa yang terjadi, merasakannya dan kemudian kembali bertolak dari pinggir ke pusat, membawa kenyataan seluas kesadaran dan jujur ketika hendak merumuskan kebijakannya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB