Bahaya Mengancam dari Transisi Energi Sumber Panas Bumi
Penambangan panas bumi menjadi listrik menimbulkan dampak merugikan bagi masyarakat, seperti gempa bumi, pencemaran air tanah, hingga kejadian tragis.
Penulis Awla Rajul30 Mei 2024
BandungBergerak.id - Indonesia tengah gencar melakukan transisi energi. Dari sekian banyak sumber energi terbarukan, panas bumi atau geothermal menjadi salah satu energi yang akan dikembangkan melalui skema pendanaan Just Energgy Transition Partnership (JETP). Penyebaran sumber energi panas bumi di hampir merata, yang ditemukan lebih dari 300 titik dari Sabang sampai Merauke.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat Ai Saadiyah menyebutkan, transisi energi perlu dilakukan segera mengingat bumi saat ini bukan lagi pada kondisi pemanasan, melainkan memasuki masa mendidih. Pendidihan bumi terjadi lantaran pemanasan global akibat pelepasan karbon ke angkasa yang salah satu pemicunya emisi dari bahan bakar fosil.
“Apabila kita tidak melakukan langkah-langkah yang lebih konkret, yang lebih massif dalam menurunkan emisi gas rumah kaca melalui transisi energi, siapa lagi kalau bukan kita? Kapan lagi kalau tidak dimulai dari sekarang?” kata Ai ketika memberi sambutan pada kegiatan Jelajah Energi yang diselenggarakan oleh IESR, Selasa, 23 Januari 2024.
Pemanasan global menyebabkan perubahan iklim. Ai menjelaskan, kondisi iklim yang buruk akan berdampak pada ketahanan pangan dan energi. Di samping itu, Indonesia juga sudah mulai mengalihkan pembangkit energi dari sumber fosil ke sumber energi terbarukan, termasuk Jawa Barat yang memiliki potensi energi terbarukan sebesar 192 GW, yang terdiri dari sumber solar, biomassa, geothermal, hydro, dan angin.
“Jabar adalah wilayah yang memiliki potensi geothermal terbesar di Indonesia,” ungkap Ai, bangga.
Namun begitu, ia menyebut, dari 192 GW potensi yang dimiliki Jawa Barat, baru 3,41 GW atau dua persen yang terutilisasi. Sehingga, potensi besar yang dimiliki Jawa Barat ini perlu dimanfaakan. “Saya yakin suatu saat Jawa Barat semuanya renewable energy.”
Adapun Indonesia memiliki potensi sumber daya geothermal yang cukup besar, yakni sekitar 11.073 Megawatt listrik (MWe), dengan cadangan sekitar 17.606 Mwe. Sumber panas bumi ini tersebar di seluruh Indonesia. Kondisi ini wajar, sebab Indonesia berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire).
Geothermal Rawan Konflik dan Mengancam Penghidupan Rakyat
Pemerintah meyakini bahwa geothermal merupakan sumber energi yang ramah lingkungan. Padahal, sejumlah organisasi lingkungan menilai geothermal sama bahayanya dengan tambang mineral. Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meluncurkan sebuah kajian tentang dampak geothermal yang berjudul “Geothermal di Indonesia: Dilema Potensi dan Eksploitasi atas Nama Transisi Energi”.
Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) diyakini pemerintah rendah emisi. Padahal, selama proses pembangunan pembangkit listrik, instalasi permukaan, hingga proses operasionalnya, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan geothermal mencapai kuantitas yang setara dengan emisi PLTU batubara.
“Artinya klaim PLTP tanpa emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tidak terbukti,” dikutip dari kajian Celios x Walhi.
Hasil model ekonomi yang dilakukan dengan metode IRIO (Inter Regional Input-Output) memproyeksikan keberadaan PLTP di tiga lokasi di Nusa Tenggara Timur (NTT), berisiko menurunkan pendapatan petani sebesar 470 milliar rupiah pada tahap pembangunan. Sementara kerugian terhadap output ekonomi mencapai 1,09 trilliun rupiah pada tahun kedua proses ekstraksi geothermal.
“Kehadiran PLTP di tahun pertama akan menurunkan produktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan, yang selama ini menjadi denyut nadi bagi perekonomian masyarakat. Sedangkan untuk tahun?tahun selanjutnya, semakin banyak ragam sektor ekonomi warga yang akan terus menurun,” tulis Celios dan Walhi.
Goethermal menghasilkan listrik melalui proses ekstraktif yang membutuhkan sumber daya besar. Proses ini kerap menimbulkan dampak di masyarakat, seperti gempa bumi, pencemaran air tanah, gagal panen, hilangnya biodiversitas endemik, hingga kejadian tragis yang menewaskan warga akibat gas beracun dari ledakan pipa.
Proses geothermal dimulai dengan pengeboran untuk menghasilkan sumur produksi dan sumur injeksi. Sumur produksi berfungsi untuk mengalirkan gas atau fluida panas dari dalam bumi menuju permukaan. Adapun sumur injeksi berfungsi mengalirkan fluida kembali ke dalam perut bumi. Proses “pengembalian” ini penting sebab fluida panas alami ini jumlahnya terbatas dan suatu saat akan habis.
“Di dalam perut bumi, fluida ini akan bersentuhan dengan batuan panas dan mengalami kenaikan suhu untuk kemudian dialirkan kembali ke permukaan bumi melalui sumur produksi. Proses inilah yang kerap kali membawa dampak signifikan pada merosotnya kualitas lingkungan,” tulis Celios dan Walhi.
Keluhan akibat aktivitas penambangan panas bumi ini, di antaranya datang dari warga lereng Gunung Salak, Cianjur, Jawa Barat. Mereka mengaku kerap merasakan beberapa kali gempa bumi di daerahnya semenjak PLTP Gunung Salak pertama kali beroperasi. Gempa bumi minor ini lahir sebagai akibat dari teknik hydraulic fracturing (Fracking).
“Ditambah dengan sifat tektonik Indonesia yang sangat aktif di beberapa tempat, gempa minor merupakan formula ampuh untuk menimbulkan gempa bumi besar,” tulis Celios dan Walhi.
Selain itu, geothermal membutuhkan air yang sangat banyak. Untuk menghasilkan 1 MWe listrik, aktivitas penambangan panas bumi membutuhkan setidaknya 40 liter air per detik atau sekitar 6.500-15.000 liter air untuk setiap MWh. Ironisnya, kebutuhan air ini setara dengan kebutuhan untuk 59 kali periode masa tanam jagung, salah satu komoditi yang menjadi tumpuan warga NTT.
Makanya dalam kajian ini, Celios dan Walhi menekankan agar proyek PLTP eksisting maupun yang masih dalam tahap perencanan untuk dievaluasi secara menyeluruh. Transisi energi sumber geothermal harus mengedepankan aspek keadilan dan partisipasi warga sekitar. Rencana pembangunan PLTP harus melibatkan berbagai pihak, terutama warga setempat sebagai pemilik ruang hidup yang akan mengalami dampak langsung.
“Ada suatu urgensi agar kebutuhan energi diredefinisi, dirumuskan ulang, oleh masyarakat akar rumput; bukan oleh pemerintah atau akademisi belakang meja,” terang Celios dan Walhi.
Baca Juga: Mempertanyakan Hak-hak Publik dalam Operasional Kereta Cepat Whoosh dan Proyek Infrastruktur Lainnya
Tergusur Infrastruktur di Jawa Barat, Lingkungan dan Rakyat Kecil Dikesampingkan
Bandara Kertajati masih Dihinggapi Sepi, Warga Berharap ada Banyak Moda Transportasi
Klaim Mencapai Target Bauran
Kepala Dinas ESDM Jabar Ai Saadiyah juga membeberkan, Pemprov Jabar telah menargetkan bauran enegri 21 persen dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang sudah diatur dalam Perda Nomor 2 tahun 2019. Namun, per tahun 2021 yang lalu, angka bauran energi diklaim telah mencapai target, yaitu mencapai 23,41 persen.
“Ini sudah melebihi dari target yang sudah ditetapkan melalui RUED. Saat ini sedang melakkan preview terhadap RUED, sehingga berakselerasi dengan target lainnya,” ungkapnya.
Ia menyebutkan beberapa tantangan implementasi transisi energi di Jabar, di antaranya kewenangan terbatas pemerintah daerah di sektor energi. Ai meyakini, keterbatasan ini bisa dijawab dengan kolaborasi berbagai pihak. Tantangan lainnya yang cukup menjadi perhatian adalah kondisi over-supply pembangkit listrik di aliran Jawa-Madura-Bali.
Konon, sulit membangun pembangkit listrik baru di Jabar karena kondisi kelebihan kapasitas listrik. Ai menyebut, tantangan ini seharusnya sudah bisa ditepis dan dijawab. Sebab, Jawa Barat memiliki proyek-proyek yang akan menyiapkan permintaan akan kebutuhan energi. Proyek yang dimaksudnya adalah kawasan ekonomi khusus (KEK) Rebana, Patimban, dan Kertajati. Artinya, pembangunan pembangkit listrik baru di Jabar memang disiapkan untuk menyuplai energi ke kawasan industri.
“Kita punya kawasan-kawasan yang pastinya di sana akan menjadi penyerap energi yang sangat besar dan Insya Allah energi-energi yang dihasilkan ini akan terserap. Seharusnya ini sudah bisa terjawab dan jangan lagi menjadi halangan untuk kita bergerak meningkatkan utilisasi dari renewable energy tersebut,” terangnya.
Selain itu, tantangan transisi energi lainnya adalah proyek pembangkitan EBT yang membutuhkan modal produksi dan tekonologi tinggi, serta kebutuhan tenaga kerja dengan kompetensi khusus. Tantangan lainnya adalah konsep EBT dan konservasi energi yang belum dikenal luas oleh masyarakat dan stakeholder.
Meski begitu, Ai turut membanggakan kondisi Jabar yang sudah memiliki forum energi daerah. Jabar disebut sebagai provinsi pertama yang memiliki forum ini. Forum ini perlu diadakan untuk melibatkan pemerintah provinsi dan pemerintah kab/kota, BUMN/D bidang energi, akademisi, media, dan lainnya. Selain itu, Jabar juga disebut sudah memiliki forum investasi yang khusus di sektor energi.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Proyek Strategis Nasiona dan Energi