• Berita
  • Mempertanyakan Hak-hak Publik dalam Operasional Kereta Cepat Whoosh dan Proyek Infrastruktur Lainnya

Mempertanyakan Hak-hak Publik dalam Operasional Kereta Cepat Whoosh dan Proyek Infrastruktur Lainnya

Pembangunan proyek strategis nasional di Jawa Barat menyisakan pertanyaan bagaimana pemenuhan hak-hak publik atau warga terdampak.

Dua unit EMU kereta cepat Jakarta Bandung memasuki Stasiun Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, 13 September 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana3 Januari 2024


BandungBergerak.id - Sejumlah persoalan terkait hak-hak publik mencuat dari hasil peninjauan lapangan Ombudsman RI pada sejumlah proyek infrastruktur di Indonesia, termasuk di Jawa Barat seperti operasional Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh, Tol Cikopo-Palimanan (Cipali), dan proyek strategis nasional (PSN) lainnya.

”Dari tinjauan lapangan Ombudsman pada operasional Kareta Cepat Jakarta Bandung ditemukan beberapa kendala seperti sempat padamnya listrik PLN KCJB, terlambatnya kereta feeder, sistem refund belum optimal, terjadi susah sinyal di sejumlah titik perjalanan,” terang Anggota Ombudsman RI Hery Susanto, dalam siaran pers, Jumat, 29 Desember 2023.

Matinya listrik kereta cepat pernah menimbulkan kegemparan di media sosial pada 31 Oktober 2023 lalu. Perihal padamnya listrik PLN KCJB ini, berdasarkan keterangan PT KCIC sebagai operator KCJB Whoosh, Ombudsman menemukan bahwa pasokan suplai listrik hanya berasal dari satu transmisi yang sama sehingga menyebabkan pemadaman saat ada gangguan di jalur utama.

Padahal menurut Ombudsman RI telah ada kesepakatan bahwa PT PLN akan menyuplai listrik secara premium dengan dua transmisi yang berbeda. Untuk itu Ombudsman meminta PT PLN untuk memenuhi komitmen kepada PT KCIC dalam menyuplai pasokan listrik secara premium sehingga dapat mendukung penyelenggaraan Kereta Cepat Jakarta Bandung.

Soal sinyal, Ombudsman meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika mendorong para operator telekomunikasi untuk memperkuat jaringan sinyal di lintasan kereta cepat.

Ombudsman juga menemukan persoalan pada kereta feeder (transisi). Kereta feeder merupakan layanan integrasi antarmoda berbasis kereta api yang menghubungkan Stasiun Bandung dengan Stasiun Kereta Cepat Padalarang.

Persoalan tersebut soal keterlambatan kedatangan kereta feeder. Ombudsman menemukan bahwa terjadi kekurangan kapasitas tempat duduk. Kapasitas kereta feeder hanya maksimal mengangkut 200 orang penumpang yang bisa duduk, sementara jumlah penumpang kereta cepat bisa sampai 600 penumpang jika terisi penuh.

Permasalahan Layanan Tol Cipali

Selain Kereta Cepat Jakarta Bandung Whoosh, Ombudsman RI melakukan kunjungan pada proyek strategis nasional lainnya yaitu Tol Cikopo Palimanan (Cipali). Berdasarkan dashboard pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Badan Pengatur Jalan Tol (SPM BPJT), tingkat pemenuhan SPM Tol Cipali mencapai 100 persen.

”Namun Tim Ombudsman masih menemukan ruas titik jalan yang mengalami kerusakan di Tol Cipali di antaranya di ruas jalan KM 89, 90, 93, 94, 97, 98, 102 dan 107 arah Palimanan,” sebut Hery Susanto.

Hal lainnya yang menjadi temuan tim Ombudsman yakni toilet difabel yang terkunci, tulisan nomor pengaduan dalam banner bebas parkir yang hilang, kondisi pintu toilet yang rusak, ruang ibu menyusui, dan ruang kesehatan yang tidak layak.

Ombudsman mendorong agar pengelola Tol Cipali terus melakukan inovasi dan perbaikan dari semua aspek untuk menurunkan angka kecelakaan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berkendara yang baik.

”Selain itu juga meningkatkan pelayanan dan kenyamanan pada rest area khususnya pada ruang ibu menyusui, toilet umum, toilet disabilitas dan kondisi ruang kesehatan serta ketersediaan obat-obatan,” jelas Hery.

Baca Juga: Tergusur Infrastruktur di Jawa Barat, Lingkungan dan Rakyat Kecil Dikesampingkan
Bandara Kertajati masih Dihinggapi Sepi, Warga Berharap ada Banyak Moda Transportasi
Menengok Warga Terdampak Pembangunan Kereta Cepat di Purwakarta

Plang bandara di jalan menuju Bandara Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jumat, 11 Agustus 2023. Hari itu, jalannya sepi, tak banyak kendaraan yang mengarah ke bandara. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Plang bandara di jalan menuju Bandara Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jumat, 11 Agustus 2023. Hari itu, jalannya sepi, tak banyak kendaraan yang mengarah ke bandara. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Kepentingan Warga Dipinggirkan

Di Jawa Barat banyak di bangun proyek strategis nasional mulai dari Kereta Cepat Jakarta Bandung Whoosh, Tol Cikopo Palimanan (Cipali), pembangunan infrastruktur-infrastruktur raksasa di Majalengka atau kawasan Rebana seperti Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, dan lain-lain.

Pemabangunan infrastruktur besar banyak memakan lingkungan atau lahan milik warga. Tak sedikit hutan dibabat, lahan pertanian beralih fungsi menjadi beton, dan para petani kehilangan sawah.

Pertanyaan kritis muncul, untuk siapa pembangunan infrastruktur tersebut? Pertanyaan tersebut menggema dalam diskusi “Tergusur Infrastruktur” di Gedung Pascasarjana Unpar, Bandung, Kamis, 21 Desember 2023.

Direktur LBH Bandung Lasma Natalia mengatakan, antara pembangunan infrastruktur dan pembangunan lainnya memiliki saling keterkaitan. Pembangunan kereta cepat di Bandung memiliki benang merah dengan pembangunan infrastruktur di Majalengka. Apa benang merah tersebut? Tentunya kepentingan ekonomi dan industri.

”Ternyata ada kepentingan ekonomi dan industri yang ujungnya untuk kepentingan siapa? Tentunya bukan kepentingan warga sekitar atau masyarakat kecil,” kata Lasma.  

Faktanya, warga yang tinggal di sekitar daerah pembangunan infrastruktur tidak mendapatkan keuntungan. Mereka hanya mendapatkan ganti rugi. Mereka mengalami kerugian karena lahannya dipakai pembangunan maupun kehidupannya tercerabut.

”Pembangunan infrastruktur besar pasti memakan lahan, ketika makan lahan berarti ada lahan warga yang diambil. Dan biasanya dalam konteks pengadaan lahan biasanya tidak ada ganti untung, adanya ganti rugi. Di undang-undang saja dibilangnya proses ganti rugi. Berarti orang yang diambil lahannya akan mengalami rugi,” paparnya.  

Pembangunan infrastruktur raksasa di Majalengka, misalnya, banyak memakan lahan pertanian milik petani. Petani yang tadinya hidup dari hasil pertanian namun harus beralih profesi karena tidak memiliki lahan garapan yang sudah terbangun.

Ada petani yang masih bisa menggarap sawah tapi tak sedikit juga yang bekerja di sektor-sektor informal, misalnya menjadi buruh serabutan atau menjadi buruh pabrik. Di Majalengka banyak pabrik berdiri, tetapi buruh-buruh di sana menghadapi sistem pengupahan yang mengacu pada UU Cipta Kerja yang justru lebih berpihak pada pengusaha daripada nasib buruh.

”Di buruh pun problematik karena upah murah,” kata Lasma.

Lasma menilai sistem kerja yang mengacu pada Undang-undang Cipta Kerja tidak berpihak pada kepentingan buruh. Jadi, jika ada petani yang berlih profesi menjadi buruh maka mereka mengalami kerugian yang berulang.

”Yang kemudian kita pertanyakan pembangunan betulkah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau ekonomi penguasa atau negara,” ucap Lasma.

Kerugian warga terdampak pembanguna tidak pernah diperhitungkan. Idealnya pembangunan dikaji berdasarkan dokumen Analisis Masalah Dampak Lingkungan (Amdal) yang berperspektif hak asasi manusia. Semua dampak pembangunan harus dihitung dan dipertanggungjawabkan. Setiap risiko lingkungan dan sosial seperti yang dihadapi petani yang kehilangan lahannya harus diganti agar mereka tak mengalami kerugian berulang.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Iman Herdianaatau artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//