Pengibaran Bendera One Piece, Ekspresi Orang Muda agar Didengar Negara
Alih-alih negara merespons pengibaran bendera One Piece dengan kekuasaannya, sebaiknya suara-suara kritis orang muda disikapi dengan dialog dan didengarkan.
Penulis Iman Herdiana4 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus, publik tanah diramaikan dengan fenomena pengibaran bendera film kartun Jepang One Piece. Ada yang pro dan yang kontra. Dari istana hingga anggota DPR menanggapi serius bendera Jolly Roger tersebut. Di Bandung, bendera tengkorak di atas tulang menyilang juga berkibar berdampingan dengan Merah Putih. Para pengamat dari berbagai peguruan tinggi menilai pengibaran bendera One Piece sebagai kritik orang muda terhadap negerinya.
Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam esainya menyatakan, di antara kibaran merah putih di ruang-ruang pubik, jauh di ruang batin generasi muda, ada kisah lain yang sedang tumbuh diam-diam memengaruhi dan memberi inspirasi: “Kisah tentang laut luas, mimpi yang tak bisa dibeli, dan sebuah pencarian yang tak pernah selesai, One Piece,” tulis Radea Juli A. Hambali, diakses dari laman resmi, Senin, 4 Agustus 2025.
Menurutnya, kisah One Piece begitu kuat menghipnotis kesadaran orang muda bisa jadi karena hal yang sangat mendasar: kebebasan untuk bermimpi, untuk memilih jalan sendiri, untuk menantang kekuasaan tanpa takut kehilangan segalanya. Monkey D. Luffy, tokoh dalam anime One Piece, adalah karakter keras kepala, polos, dan tak pernah tertarik pada politik. Ia tidak ingin menguasai dunia, ia hanya ingin menjelajahinya dengan hati yang bebas.
“Saya kira, One Piece hadir sebagai cermin. Ia menunjukkan bahwa dunia yang indah sering kali berdiri di atas luka, bahwa ada sejarah yang hilang, dan bahwa mereka yang duduk di singgasana kuasa tak selalu benar. Generasi muda menyambut cerita ini bukan karena ingin menjadi bajak laut, tapi karena ingin merasakan bahwa mimpi mereka sah untuk diperjuangkan,” ungkap Radea.
Ia juga menyoroti kekhawatiran negara terhadap fenomena pengibaran bendera One Piece. Menurutnya, ketika imajinasi kolektif lebih percaya pada narasi fiksi dibanding pidato kenegaraan, itu berarti ada jarak yang makin lebar. Namun, Radea tidak setuju negara merespons pengibaran bendera One Piece dengan kekuasaannya.
“Ketimbang menakuti, barangkali ini saatnya negara mendengarkan. Sebab yang dicari anak-anak muda hari ini bukan pemberontakan, tapi kejujuran. Mereka dahaga cerita yang tidak dibuat untuk mendikte, tetapi untuk mengajak berpikir,” lanjut Radea.
Baca Juga: Mendengar Kritik Para Pelajar Bandung terhadap Kebijakan Pendidikan Gubernur Dedi Mulyadi
Lantang Suara Kritis dari Dinding Kota
Simbol Kritik Sosial dan Teguran untuk Pemerintah
Fenomena pengibaran bendera bajak laut One Piece ini juga ditanggapi dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ade Marup Wirasenjaya. Tindakan ini dinilai sebagi bentuk ekspresi kekecewaan terhadap kondisi sosial-politik tanah air, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran terhadap simbol negara.
Ade menegaskan bahwa bendera Merah Putih adalah simbol kenegaraan yang wajib dihormati, namun bendera One Piece juga merepresentasikan ekspresi sosial masyarakat yang tengah kecewa terhadap situasi politik dan penyelenggaraan negara.
“Pengibaran bendera bajak laut ini lebih tepat dilihat sebagai bentuk kritik sosial politik, bukan ancaman terhadap kedaulatan. Selama bendera One Piece itu tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih dan hanya diposisikan sebagai simbol kritik terhadap penyelenggaraan negara, saya tidak melihat itu menggerus kedaulatan. Ini adalah ekspresi teguran terhadap dominasi kekuasaan dan ketimpangan sosial yang dirasakan masyarakat,” jelas Ade, diakses dari laman Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Menurutnya, fenomena pengibaran bendera One Piece ini muncul karena masyarakat sudah kehabisan ruang untuk menyuarakan kritik. Sehingga masyarakat memanfaatkan momentum peringatan kemerdekaan, yang secara simbolik sangat kuat, untuk menyampaikan pesan.
“Pesan simboliknya jelas kok, yaitu kemerdekaan jangan dibajak oleh segelintir elite. Istilah bajak laut di sini menjadi sindiran bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan pendiri bangsa jangan sampai dinikmati hanya oleh kelompok kekuasaan saja,” ujarnya.
Esensi dari kritik tersebut adalah mengembalikan semangat nasionalisme agar tidak terjebak dalam ritual dan seremonial belaka. Sebab nasionalisme itu bukan hanya sebatas selebrasi upacara tanggal 17 Agustus. Namun, roh kemerdekaan harus terinternalisasi dalam kebijakan, perilaku elit, dan aparat negara.
Untuk mencegah adanya penindasan terhadap bendera Merah Putih, Ade menyarankan agar negara tetap mengedepankan pendekatan regulatif dengan memperkuat sosialisasi aturan tentang penggunaan simbol negara.
“Regulasinya sudah ada, posisi bendera negara itu diatur dalam undang-undang. Pemerintah harus aktif mensosialisasikan ini. Tapi saya kira fenomena ini juga harus dilihat sebagai ekspresi budaya pop yang memuat pesan kritik sosial dan politik,” paparnya.
Ade meminta agar fenomena ini dijadikan sebagai bentuk refleksi bersama bagi para penyelenggara negara agar tidak mengabaikan suara-suara kritis masyarakat yang disampaikan melalui berbagai ekspresi budaya.
“Masyarakat masih memiliki rasa cinta dan bangga terhadap negeri ini. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak sekadar merespons simbol, tetapi juga menangkap pesan-pesan substantif di baliknya,” tutup Ade.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB