Lantang Suara Kritis dari Dinding Kota
Di tangan seniman jalanan, dinding-dinding kota menjadi bersuara lantang menentang ketidakadilan. Mural dan graffiti mereka mewakili suara rakyat kecil.
Di tangan seniman jalanan, dinding-dinding kota menjadi bersuara lantang menentang ketidakadilan. Mural dan graffiti mereka mewakili suara rakyat kecil.
BandungBergerak.id - Mural tentang tiga orang anak SD mengibarkan bendera dengan gestur ogah-ogahan. Gambar berkelir hitam di dinding kota sekitar kawasan wisata kuliner Sudirman Street ini sangat menohok mata. Dibuat bersamaan dengan peringatan HUT RI di bulan Agustus 2021, masa-masa di mana efek pandemi Covid-19 meluluh lantakan hampir semua sendi perekonomian, khususnya warga masyarakat kelas bawah yang paling terdampak.
Tiga anak SD itu mengibarkan bendera warna putih. Barisan kalimat "Bendera Putih di Hari Merah Putih" sudah cukup menjelaskan apa yang sedang dihadapi masyarakat yang dirundung pandemi.
Mural secara sederhana bisa diartikan gambar di dinding atau permukaan luas, sedangkan grafiti lebih menonjolkan tulisan. Keduanya jadi senjata yang mumpuni dalam menyuarakan mereka yang tak mampu bersuara, atau mereka yang dibungkam agar tak bersuara.
Sepanjang tahun pagebluk, mural dan grafiti dengan tema-tema kritik sosial, politik, sampai konflik agraria, mewarnai sudut-sudut perkotaan di banyak daerah, utamanya di kota-kota besar. Disamping itu tentu saja ada mural yang dibuat murni karena seni tanpa tendensi apa pun.
Masih segar dalam ingatan, grafiti “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit” atau “404:Not Found” bergambar Presiden Joko Widodo di kolong tol kereta Bandara di Tengarang. Di jembatan layang Pasupati, Bandung, ada mural Presiden Joko Widodo dengan mata tertutup masker medis yang kemudian viral di seantero negeri.
Buntutnya, polisi dan Satpol PP mendadak baper dengan mengejar dan mencari artis pembuat mural dengan alasan absurd, menghina lambang negara. Maka operasi pembersihan pun digelar, mural dan grafiti bernada kritik dihapus.
Di Dago Elos, mural kemenangan warga menghiasi perkampungan. Warga yang sudah puluhan tahun tinggal di sana secara hukum bisa mematahkan klaim sejumlah ahli waris yang ingin merebut lahan permukiman di lokasi mahal dan sangat strategis itu. Dago Elos, kawasan resapan air di Bandung Utara ini diapit oleh terminal, kafe, dan apartemen mewah yang mangkrak hingga saat ini, The Maj.
Mural-mural kritis yang bikin berang pemerintah tentu umurnya tak lama. Semua dihapus dan diblok cat hitam atau diganti dengan mural dengan tema dekoratif. Namun ada satu dua yang luput dari pembersihan dan masih lantang menyuarakan apa yang dirasa warga di tingkat akar rumput.
Dihapus di sini muncul di sana. Ditimpa di sini dibuat lagi di sana, begitulah para seniman jalanan ini mengekpresikan keresahan dan ketimpangan yang terjadi dalam bentuk karya seni di dinding-dinding kota. Kerja mereka mirip dengan kerja jurnalis, menyuarakan suara mereka yang tak terdengar melalui pemberitaan, foto, atau video, melalui media massa cetak, elektronik atau portal berita.
Kebebasan berekspresi sejatinya sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28F dan 28E ayat 3 yang mengatur setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat. Aturan juga termuat dalam UU HAM No 39/1999 pasal 23 ayat 2 dan UU 5/2007 tentang pemajuan kebudayaan termasuk salah satunya adalah seni. Celakanya, kebebasan berekpresi kerap dikenakan pasal pidana.
Reaksi berlebihan pemerintah dalam menanggapi mural dan grafiti yang kritis, termasuk ancaman untuk mencari para pembuatnya, tak menyurutkan aksi para seniman jalanan dalam menyuarakan suara orang-orang tertindas. Dinding-dinding kota itu masih bersuara lantang.
Teks dan Foto: Prima Mulia
COMMENTS