Merawat Alam dengan Kultur Perkebunan Dusun Cikubang yang Turun-temurun
Mereka yang merawat tanah dengan sungguh-sungguh, akan mendapat balasan dari alam. Kearifan lokal warga Dusun Cikubang, Pangandaran, yang terus hidup dan diwariskan.

Intan M Prasiwi, Renatha A Nazwanindya, Nabilah R Syaherani, Kalyanarga Rizal, Sajjadali D Rakhmat, Charity Damarisa
Mahasiswa Universitas Katolaik Parahyangan (Unpar) Bandung
8 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, memiliki kultur yang unik di masyarakatnya di mana “cinta” tidak cukup hanya dibuktikan oleh kata-kata. Ada satu syarat tak tertulis namun dihormati secara turun-temurun, yaitu sang calon menantu harus bisa bertani. Baik calon wanita maupun pria, bagi warga setempat bertani bukan sekedar pekerjaan ia adalah bagian dari kehidupan, sekaligus tolak ukur dalam kesiapan membangun rumah tangga.
Nama Cikubang berasal dari dua unsur kata dalam bahasa Sunda “ci” yang berarti “air” atau “mata air”, dan “kubang” yang merujuk pada “genangan air” atau “kubangan” yang terbentuk secara alami. Sejarah penamaan dusun ini mencerminkan kondisi geografis dan pengalaman bertani masyarakat setempat.
Dusun Cikubang berada di dataran rendah, dikelilingi dusun-dusun lain yang letaknya lebih tinggi. Posisi ini membuat wilayah Cikubang rentan tergenang air saat musim hujan, namun ironisnya dusun ini tidak memiliki saluran irigasi yang baik. Akibatnya, warga sering mengalami kegagalan panen, baik karena lahan terlalu becek maupun karena kekeringan.
Dalam percakapan kami dengan salah satu narasumber warga setempat (G, 34 tahun) yang menyebutkan bahwa letak Dusun Cikubang yang berada di dataran rendah membuatnya kerap tergenang saat hujan dan kekeringan saat kemarau, tanpa saluran irigasi memadai. Kondisi ini menyulitkan pertanian, namun justru membentuk cara hidup warga yang terbiasa menghadapi ketidakpastian alam. Hingga kini, nama “Cikubang” digunakan sejalan dengan kondisi alam dan cara hidup masyarakat sini yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di Dusun Cikubang, tanah bukan sekedar hamparan lahan kosong yang ditanami, melainkan bagian penting dari hidup yang diwariskan secara turun-temurun. Kebun menjadi simbol kelangsungan keluarga, bukan hanya sebagai sumber penghasilan, tetapi juga sebagai tanggung jawab. Tak heran jika seorang pemuda ingin meminang sering kali diukur bukan dari seberapa besar penghasilannya, melainkan seberapa piawai ia mengurus kebun. Di sini “Kalau mau jadi menantu kalo gak bisa berkebun gak bisa ngapa-ngapain” begitu ungkapan yang dilontarkan narasumber kepada kami.
Mengolah tanah dan kebun dipandang sebagai cerminan karakter, kesabaran, ketekunan, dan komitmen jangka panjang, dan semua hal yang dianggap penting dalam membangun kehidupan bersama.

Baca Juga: Kisah di Balik Meja Makan, dari Perjuangan Family Man sampai Saksi Revolusi di Batukaras
Perjuangan Ibu-ibu Kader Posyandu Dusun Karangpaci demi Kesejahteraan Masyarakat
Solidaritas Kemanusiaan untuk Bekal Penanganan Tengkes
Kebun dan Tanggung Jawab Warisan Keluarga
Sebagian besar warga dusun Cikubang hidup dari kebun campuran yang mereka kelola secara mandiri. Lahan-lahan ini ditanami berbagai jenis tanaman seperti singkong, pisang, kelapa, dan hasil kebun lainnya yang dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Setiap keluarga, baik yang memiliki lahan luas maupun sempit, menanam dengan prinsip keberlanjutan, saling bantu, dan menjaga keseimbangan. Kebun tidak hanya memberi makan, tetapi juga membentuk cara berpikir dan bertindak. Anak-anak sejak dini diajak ke ladang kebun, dikenalkan pada ritme musim, diajari mengenali jenis tanah, serta mengalami langsung lelah dan gembiranya menanam dan memanen. Di sinilah ruang belajar berlangsung secara alami, tanpa kurikulum, tanpa ruang kelas. Nilai-nilai kerja keras, ketekunan, dan cinta terhadap alam tumbuh melalui pengalaman nyata.
Warisan kebun yang diteruskan dari orang tua ke anak bukan hanya dinilai dari seberapa luas tanah yang ditinggalkan, akan tetapi dari pengetahuan yang melekat padanya. Pengetahuan inilah yang mencakup cara membaca cuaca, memahami waktu tanam, hingga teknik bercocok tanam yang sesuai dengan kondisi tanah. Munculnya etika kerja yang tumbuh dari keterhubungan dengan tanah, bahwa segala sesuatu butuh proses, bahwa hasil tidak datang dengan instan, dan hidup selalu berkaitan dengan merawat apa yang ditanam. Hubungan antara manusia dan kebun bersifat timbal balik. Mereka yang merawat tanah dengan sungguh-sungguh, akan mendapat balasan dari alam. Inilah bentuk dari kearifan lokal yang terus hidup dan mengakar dalam kehidupan warga Cikubang.
Meskipun perubahan zaman membawa banyak pilihan baru, pendidikan tinggi, pekerjaan di kota, dan gaya hidup modern, tradisi di sini belum sepenuhnya pudar. Banyak pemuda menetap untuk melanjutkan hidup di kampung halaman. Dusun Cikubang, dengan segala kesederhanaannya menunjukkan bahwa hidup di kampung tidak identik dengan keterbelakangan. Justru dari kebun dan tanah, masyarakat belajar tentang kesinambungan, kebersamaan, dan nilai kekeluargaan. Di tengah arus modernisasi yang cepat, Cikubang mempertahankan cara hidup yang selaras dengan alam, bukan sebagai romantisme masa lalu, tetapi sebagai pilihan, sadar akan menjaga apa yang penting bagi kehidupan.
Dusun Cikubang menyimpan lebih dari sekadar cerita tentang kebun, dan tanaman melainkan cara menyimpan hidup yang dibentuk oleh kesabaran, ketekunan, dan kedekatan manusia dengan alam. Di tengah perubahan yang terus berlangsung, masyarakat di sini tetap menjaga akar budaya mereka. Bertani bukan hanya cara untuk bertahan hidup, tetapi juga cara untuk mengingat siapa diri mereka dan dari mana mereka berasal. Semua itu diwariskan lewat hasil panen yang dibagi, dari tempat-tempat inilah kita belajar bahwa hidup tidak selalu harus cepat, besar, ataupun mewah. Kadang, yang paling penting adalah bertahan dengan utuh di tempat yang memberi kita makna.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB