Geotermal, Bencana Terbarukan dan Perampasan Lahan Petani di Indonesia
Energi terbarukan dan berkelanjutan menurut para pemodal dan rezim ekstraktif adalah sumber daya alam yang bisa terus dieksploitasi.

Hema Situmorang
Pegiat JATAM dan Mahasiswa Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di IPB University
8 Agustus 2025
BandungBergerak.id – “Saya marah sama negara, pupuk mahal, sedikit yang disubsidi. Petani pintar bikin pupuk bukannya dirangkul, malah dikriminalisasi,” kata Kang Cece, petani di kaki Gunung Gede-Pangrango yang dikriminalisasi karena menolak proyek geotermal.
Ungkapan itu ia sampaikan, saat kami berada di Puncak Gunung Gede.
Kang Cece hanya salah satu dari ratusan petani di Indonesia yang dikriminalisasi karena menolak tambang. Menurut catatan JATAM, di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai Prabowo Subianto, ada 452 warga negara Indonesia yang dikriminalisai karena melawan industri ekstraktif ini. Mayoritas di antaranya adalah petani.
Perlu diketahui, jumlah izin pertambangan di Indonesia saat ini mencapai 7.993 izin dengan luas lahan lebih dari 10 juta hektare (ha).
Kalau kita tambah dengan ancaman industri ekstraktif lainnya, dari perkebunan, kehutanan, sampai dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitas militer, data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan pada masa Jokowi telah terjadi 3.234 konflik agraria di 7,42 juta ha lahan. Dari banyak kasus, di antaranya adalah Proyek Strategis Nasional.
Data ini harus tercatat dalam penulisan buku sejarah Indonesia, sebab menyandang rekor tertinggi dibandingkan masa presiden-presiden sebelumnya. Tapi saya yakin, ia tidak akan masuk dalam buku sejarah versi penguasa yang dirancang Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.
Berlanjut ke era Prabowo, belum 1 tahun dalam pemerintahannya, telah terjadi 295 konflik agraria sejalan dengan penguatan fungsi militer ke ranah sipil. Beliau juga sudah mengatakan swasembada energi akan menjadi prioritas utama kebijakan nasional ke depan.
Data-data di atas bukan kumpulan angka mati, melainkan angka yang hidup. Masih menurut KPA, seluruh konflik agraria tersebut melibatkan hampir 2 juta kepala keluarga (KK) petani yang terdampak.
Saya membayangkan, apabila kita masih punya organisasi yang kuat, jumlah itu bisa kita ubah menjadi sumber kekuatan melawan rezim yang tamak dan oligarkis.
Badan Pertanahan Nasional pada 2022 menyebutkan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan di Indonesia mencapai rasio 0,58. Artinya satu persen orang (kaya: pemodal, elite politik, anggota militer, dan sisa-sisa feodal) telah menguasai 58 persen lahan yang ada di Indonesia. Sementara petani, menurut Sensus Pertanian tahun 2023, ada 27.802.434 petani, dengan 17.251.432 orang di antaranya atau sekitar 62 persen adalah petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha.
Selain menghadapi ancaman perampasan lahan, para petani di Indonesia saat ini juga mengalami perampasan ruang hidup.
Baca Juga: Geotermal dan Sebuah Kampung yang Hilang di Pangalengan
Mereka yang Tersisih di Proyek Geotermal Gunung Salak
Paradoks Keadilan dalam Transisi Energi Geotermal Indonesia
Energi Terbarukan atau Bencana Terbarukan
Menurut International Energy Agency (IEA), energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber daya alam yang secara alami dapat dipulihkan kembali dengan laju yang lebih cepat dibandingkan laju konsumsinya. Energi terbarukan tersebut berasal dari proses alam yang berkelanjutan, seperti sinar matahari, panas bumi, angin, arus air, dan bioenergi (Permen ESDM No. 26 Tahun 2021).
Kita bisa saja berkreasi dengan istilah, namun seperti kata filsuf Perancis Michel Foucault, istilah bukan sekedar kata, tapi juga alat kekuasaan. Demikian juga yang disampaikan dalam kajian kritis Energi: Teknologi Politik Ekstraktif (2024), diskursus transisi energi mengundang kita untuk merenungkan kembali, apa itu istilah energi?
Istilah energi, secara ontologis (mendasar) bukan konsep yang netral. Sejak awal masyarakat kita diperkenalkan pada energi sebagai perangkat politik ekstraktif, yang mengeksploitasi dan mengekstraksi tenaga kerja serta sumber daya alam untuk akumulasi kapital.
Perubahan besar terjadi melalui penemuan mesin uap dari batu bara, disusul penggunaan listrik dalam skala luas untuk perluasan pasar. Namun, krisis minyak pada dekade 1970-an mendorong pencarian sumber energi terbarukan dengan inovasi teknologi dan eksplorasi sumber terbarukan lainnya.
Pergeseran istilah juga kita temukan pada geotermal/panas bumi. Menurut Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, geotermal diklasifikasikan sebagai kegiatan pertambangan. Pengalaman rakyat Indonesia sendiri sudah mengajarkan bahwa praktik kerja tambang tersebut rakus lahan, rakus air, dan mengakibatkan banyak permasalahan lingkungan, sehingga definisi ini harus diubah. Pada 2014, UU No 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi baru direvisi untuk mengeluarkan geotermal dari tambang dan menyebutnya sebagai kegiatan pengusahaan energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Mari kita cukupkan dulu pengantar istilah yang rumit itu. Faktanya, meski geotermal diklaim sebagai energi terbarukan, hijau, dan ramah lingkungan, ia tidak bisa menutupi bau telur busuk dari gas Hidrogen Sulfida (H2S) yang ikut diproduksinya.
Aktivitas pembangkit listrik panas bumi atau geotermal juga mencemari air. Geotermal membutuhkan air dalam jumlah besar untuk mempertahankan produksinya, mulai dari saat eksplorasi, produksi, hingga reinjeksi. Menurut laporan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Tahun 2024, penambangan panas bumi memerlukan 40 liter air/detik, atau sekitar 6.500-15.000 liter air untuk menghasilkan 1 mega Watt (MW) listrik.
Sejalan dengan itu, penelitian Istiqamah, Sasongko & Boedoyo (2023) dalam Raissa (2025) menyebutkan, jumlah air yang dibutuhkan saat pengeboran panas bumi bisa mencapai 1000 m³ atau 1 juta liter air per hari. Kebutuhan air rata-rata minimum manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti minum, memasak, mandi, dan mencuci adalah 50-100 liter per hari. Apabila proyek geotermal beroperasi di kampung A, artinya pasokan air untuk geotermal tersebut sama dengan kebutuhan konsumsi 10.000-20.000 warga.
Total konsumsi air untuk konstruksi sumur 1 m sekitar 5-30 m³, tergantung pada litologi, teknologi, jumlah lapisan, dan kedalaman pengeboran. Artinya, sumur dengan kedalaman 2 kilometer, bisa menggunakan air mencapai 8.000-55.000 m³.
Seperti produksi industri pada umumnya, aktivitas pembangkit listrik panas bumi juga menghasilkan limbah yang menimbulkan potensi pencemaran, seperti emisi gas H2S, amoniak (NH3), serta buangan limbah cair dan padat yang mengandung logam berat dan limbah Bahan, Beracun dan Berbahaya (B3) yang memberi dampak buruk pada kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya (Trianto & Sulistiyono, 2019).
Potensi Panas Bumi dan Lahan Petani Yang Diracuni
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2024, Indonesia memiliki potensi panas bumi dengan kapasitas total mencapai 23,6 giga Watt (GW) yang tersebar di 362 titik di 62 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP).
Sebagian besar WKP tersebut berada di kawasan ring of fire, yang berdekatan dengan gunung berapi dan memiliki tanah yang subur untuk pertanian, tapi juga rawan bencana apabila dimanfaatkan untuk kawasan industri.
Indonesia telah memiliki 16 WKP dan 18 PLTP yang telah berproduksi di seluruh Indonesia, dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, hingga Flores di NTT. Total energi panas bumi yang telah dimanfaatkan mencapai 2,6 GW, yang berkontribusi pada bauran energi nasional sebesar 5,3 persen dan menjadikan Indonesia sebagai produsen listrik panas bumi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.
Geotermal merupakan industri berisiko tinggi dengan kebutuhan investasi yang mahal. Karena itu, pembiayaan pengembangan geotermal di Indonesia sebagian besar berasal dari pinjaman hutang dan investasi luar negeri, seperti Bank Dunia, KfW Jerman, hingga jebakan kapitalisme global melalui pendanaan transisi energi seperti JETP (Just Energy Transition Partnership). Sementara risiko yang tinggi, ditanggung sebagian besar rakyat Indonesia, terutama warga yang hidup di kawasan geotermal.
Aktivitas geotermal telah terbukti meracuni kawasan pertanian di sekitarnya.
Di Mataloko, Nusa Tenggara Timur, eksplorasi dan produksi geotermal telah memunculkan sekitar 20 lubang semburan lumpur panas berbau menyengat di kebun warga. Mengakibatkan kerusakan pada berbagai jenis tanaman di sekitarnya, seperti kopi yang tidak berbuah, kopi dan pohon enau/aren yang mati, serta sayuran yang terserang penyakit secara masif.
Sementara di Ulumbu, aktivitas geotermal yang dikelola PT PLN mengakibatkan penurunan produksi secara drastis. Tanaman cengkeh yang biasanya berbuah satu kali dalam dua tahun berubah menjadi satu kali dalam tiga tahun dan penghasilan rata-rata yang biasanya 120-an kilogram berubah menjadi 50-an kilogram. Demikian juga tanaman kopi, kakao/coklat, dan kemiri mengalami penurunan hasil produksi (Teredi, Sukarno, & Jaya, 2023).
Di Dieng, Jawa Tengah, PLTP Geodipa mencemari air hingga ke lahan pertanian warga. Tanaman kentang petani di dekat sumur mengalami gejala kekeringan, seperti bekas-bekas terbakar dan pada akhirnya mati. Alhasil Jawa Tengah yang dikenal sebagai daerah penghasil kentang terbesar mengalami penurunan produksi signifikan pada 2023.
Di Sorik Marapi, Mandailing Natal, dampak geotermal yang dikelola PT SMGP lebih mengenaskan, namun sampai saat ini tidak mendapat evaluasi serius dari negara. Lumpur panas yang muncul dan meluas di lahan pertanian warga sebagai dampak geotermal, telah berulang kali meracuni ratusan warga yang sedang bertani hingga meninggal dunia.
Selain dampak terhadap pertanian, masih banyak permasalahan ekologi-sosial lainnya.
Karena itu, apa yang sebenarnya terbarukan dan berkelanjutan menurut para pemodal dan rezim ekstraktif adalah sumber daya alam yang bisa terus dieksploitasi. Hal ini akan selalu membawa kontradiksinya, sebab selama sistemnya adalah kapitalisme tidak ada industri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Perampokan dan perampasan lahan dan ruang hidup adalah bagian yang tidak terpisahkan dari operasinya. Sekian.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB