• Kolom
  • CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #6: El Bahar, Perlawanan Sunyi terhadap Orde Baru

CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #6: El Bahar, Perlawanan Sunyi terhadap Orde Baru

El Bahar mungkin hanya sekilas dalam sejarah pers Indonesia. Namun, kehadirannya menjadi simbol perlawanan pendukung Sukarno di masa-masa awal Orde Baru.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Surat Kabar El Bahar edisi 15 Agustus 1969, yang menyoroti kemerdekaan Indonesia. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

9 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Dalam setiap peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, kita diajak untuk mengingat kembali bahwa kemerdekaan bukan sekadar hasil proklamasi, melainkan buah dari perjuangan panjang, berlapis, dan sering kali sunyi. Di antara gemuruh sejarah yang sering terdengar, ada pula suara-suara lirih yang tak kalah penting-seperti suara yang pernah diusung harian El Bahar di tengah gelombang penyeragaman Orde Baru.

Di tengah arus deras konsolidasi kekuasaan Orde Baru yang menyapu bersih suara-suara pro-Sukarno, sebuah harian kecil bernama El Bahar berdiri tegak menawarkan arah pandang berbeda. Diterbitkan pertama kali pada September 1966, surat kabar ini muncul dari Jakarta dengan keberanian yang jarang terlihat di masa transisi penuh tekanan itu.

Yang memimpin El Bahar bukan orang sembarangan. Ia adalah Komodor Angkatan Laut Raden Soejoso Poegoeh, keponakan Presiden Sukarno putra dari Sukarmini (kakak kandung Bung Karno) dan Poegoeh Wardojo. Karier militernya bersinar di tubuh TNI AL. Ia menjabat Sekretaris Angkatan Laut dan pernah menduduki kursi Ketua Komisi C DPR-GR. Pada masa genting 1965-1966, Angkatan Laut khususnya di bawah Laksamana Moeljadi adalah satu-satunya unsur militer yang masih menunjukkan kesetiaan kepada Bung Karno. Di sinilah akar kekuatan El Bahar bersemi.

Bermarkas di Jalan Prapatan 38, El Bahar menjadi tempat bernaungnya opini tandingan. Di saat media seperti Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia menjulang sebagai corong resmi Orde Baru, El Bahar bersuara lain. Redaksinya diisi oleh para perwira tinggi AL dan mantan staf Suluh Indonesia, koran pro-Sukarno yang sebelumnya dibungkam.

Dalam El Bahar edisi 15 Agustus 1969, nama-nama penting terpampang di kotak redaksi: R. Soejoso Poegoeh sebagai Pemimpin Umum dan Penanggung Jawab, ditemani E. S. Koesoemadi, R. Mochtar, Soetjipto, dan Prajitno sebagai redaktur pelaksana. Jajaran penasihat dan staf ahli pun tak kalah mencolok: Laksamana Muda Abdullah, Komodor Agoes Soebekti, Soedjarwo, Drs. Didi Moenadi, hingga Bambang Soegeng.

Meski kerap dicibir karena minim berita, karakter opini pro-Sukarno yang memenuhi halamannya justru membuat El Bahar tampil menonjol. Seorang wartawan majalah Ekspres pernah menulis “El Bahar bukanlah bacaan favorit. Surat kabar ini tidak punya banyak kabar, sebab sebagian besar komentar-komentar yang pro-Sukarno. Tapi justru sikap pro-Sukarno itulah yang menyebabkan El Bahar menarik perhatian.”

Bukan hanya opini, halaman depannya pun sering dihiasi karikatur-karikatur satir. Salah satu kontributornya adalah Dono, yang kelak dikenal sebagai pelawak dalam grup Warkop.

El Bahar tak berjalan sendirian. Ada Srikandi yang dipimpin Nyonya Supeni sering dijuluki “istrinya El Bahar” serta Nusantara yang lebih ke kanan. Meski berbeda ideologis, ketiganya menjadi wajah oposisi awal terhadap Orde Baru. El Bahar dan Srikandi disebut “ke kiri-kirian”, Nusantara malah dicurigai terlalu dekat dengan kanan.

Pada awal 1967, El Bahar sempat diberedel. Namun karena UU Pers saat itu belum memungkinkan pemberedelan sepihak, surat kabar ini kembali terbit. Meski demikian, tekanan tak kunjung surut. Titik baliknya terjadi pada 1969 ketika Komodor Poegoeh ditugaskan menjadi Atase Militer di India. Penggantinya, Laksamana Pertama TNI Abdul Rachman, membawa arah redaksi ke jalur yang lebih aman. Daya kritis surat kabar ini perlahan memudar.

Dalam perjalanannya, El Bahar tampil dalam format harian, mingguan, bahkan dwi mingguan. Ketidakteraturan ini mencerminkan situasi politik yang tak menentu dan tekanan yang terus-menerus. Akhirnya, pada 1972, ia tutup usia.

Meski telah “dibuang” ke luar negeri, nama Poegoeh kembali mencuat dalam Peristiwa Malari 1974. Dalam Peristiwa 15 Januari 1974 Soemitro menyebut Poegoeh sebagai tokoh yang hendak menghidupkan kembali Sukarnoisme. Ia ditangkap pada 11 Februari 1974, ditahan tanpa proses hukum, dan baru berstatus tahanan rumah pada 1976 setelah jatuh sakit.

El Bahar mungkin hanya sekilas dalam sejarah pers Indonesia. Namun, seperti pemimpinnya, ia hadir sebagai simbol perlawanan diam yang bersumber dari keyakinan, bahwa suara yang dibungkam pun punya hak untuk bersuara.

Wajah surat kabar El Bahar yang banyak mengkritisi Orde Baru. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Wajah surat kabar El Bahar yang banyak mengkritisi Orde Baru. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #3: Koran Indonesia Raya, Pelopor Jurnalisme Investigatif
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #4: Menengok Wajah Harian Mandala, Saksi Bisu Sejarah Pers Jawa Barat
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #5: Harian Nusantara, dari Milik Kolonial Menjadi Koran Nasional

El Bahar Edisi 15 Agustus 1969

Dalam edisi 15 Agustus 1969, El Bahar yang memiliki slogan "Untuk Kesatuan dan Keutuhan Bangsa Indonesia Berdasarkan Pancasila" memberi sorotan khusus pada simbol perjuangan bangsa yakni Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka itu berhenti dikibarkan dalam upacara resmi di Istana sejak 17 Agustus 1968. Ketika itu Bung Karno dan Presiden Soeharto sepakat agar bendera bersejarah itu tak cepat rusak, mengingat usianya sudah 24 tahun saat itu.

Bendera ini dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati menjelang proklamasi. Saat dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, warnanya menyala sebagai simbol kelahiran bangsa. Ia terus dikibarkan dalam hujan peluru, hingga harus “mengungsi” bersama Bung Karno ke Yogyakarta, bahkan diselamatkan secara dramatis oleh H. Mutahar saat Belanda menyerbu Yogya pada 1948. Potongan merah dan putihnya dipisahkan, disembunyikan, lalu dijahit kembali. Ia berkibar lagi pada 17 Agustus 1950 di Istana Merdeka, utuh, megah, dan bermartabat.

Tulisannya lainnya misalnya tentang peran mahasiswa Indonesia menjelang Proklamasi. Tekanan Jepang yang semakin brutal justru memantik perlawanan. Di ruang-ruang bawah tanah yang semula diklaim sebagai tempat rapat, eksekusi terhadap kaum cendekia dilakukan. Mahasiswa bergerak diam-diam, kemudian terbuka.

Organisasi-organisasi ilegal seperti IPI, Angkatan Baru, Sumpah Sang Saka, hingga Organisasi Indonesia Merdeka lahir sebagai bentuk perlawanan. Meski beragam bentuk dan latar, tujuannya satu yakni merdeka sepenuhnya, tanpa syarat, tanpa kompromi.

Pada terbitan tanggal yang sama, menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan kala itu, El Bahar mengulas soal Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).  

Setelah Proklamasi, 17 Agustus 1945, Indonesia  belum memiliki DPR atau MPR. Maka, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945. Di masa awal republik, KNIP menjalankan fungsi legislatif, penasihat, hingga pelaksana pemerintahan.

Dari KNIP inilah lahir maklumat-maklumat penting: Maklumat No. X yang memberi kekuasaan legislatif pada KNIP, Maklumat 3 November 1945 yang membuka pintu demokrasi multi-partai, hingga Maklumat 1 November 1945 yang kontroversial karena membuka kerja sama dengan negara asing.

Meski berpindah-pindah lokasi, dari Jakarta ke Solo, Purworejo, Malang, lalu Yogyakarta, sidang KNIP terus berlangsung. Ia menjadi cikal bakal parlemen, dan semangatnya diharapkan tetap hidup dalam sistem demokrasi yang terus kita rawat hari ini.

Penulis memegang surat kabar El Bahar terbitan 56 tahun silam. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Penulis memegang surat kabar El Bahar terbitan 56 tahun silam. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Perlawanan Sunyi

Dari El Bahar yang sunyi, Bendera Pusaka yang abadi, mahasiswa yang berani, hingga KNIP yang merintis demokrasi, kita belajar bahwa sejarah tak pernah berdiri di satu sisi saja. Ada banyak suara bahkan yang nyaris tak terdengar yang turut membentuk Indonesia.

Kini, di tengah peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, kita diingatkan bahwa kemerdekaan bukan hadiah. Ia diperjuangkan dengan keyakinan, keberanian, dan keteguhan untuk membela apa yang benar.

Dalam setiap peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, kita diajak untuk mengingat kembali bahwa kemerdekaan bukan sekadar hasil proklamasi, melainkan buah dari perjuangan panjang, berlapis, dan sering kali sunyi. Di antara gemuruh sejarah yang sering terdengar, ada pula suara-suara lirih yang tak kalah penting-seperti suara yang pernah diusung harian El Bahar di tengah gelombang penyeragaman Orde Baru.

Di usia ke-80 kemerdekaan Indonesia, jejak-jejak sunyi seperti El Bahar, keberanian mahasiswa, semangat KNIP, dan simbol-simbol perjuangan seperti Bendera Pusaka, mengingatkan kita bahwa kemerdekaan sejati tak hanya tentang merdeka dari penjajahan, tapi juga tentang menjaga ruang berpikir, menyuarakan kebenaran, dan menghargai keberagaman pandangan.

Sebab kemerdekaan yang lestari, adalah kemerdekaan yang terus diperjuangkan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//