• Kolom
  • Cross Boys di Bandung Era 1950-an, Bukan Melulu Kriminal

Cross Boys di Bandung Era 1950-an, Bukan Melulu Kriminal

Tidak tepat juga ketika sebagian media dan sejumlah otoritas cenderung menggeneralisasi semua Cross Boys sebagai kriminal. Sebagian sekadar urusan gaya.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom

Kelompok Cross Boys Tiger Mambo, yang bermarkas di Cihapit, memiliki lencana yang khas, dan berjaket merah ala James Dean. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

11 Agustus 2025


BandungBergerak - Euis Atika, seorang pelajar perempuan, mungkin tak pernah menyangka bahwa siang itu menjadi awal dari peristiwa kelam yang kelak mengubah cara pandangnya. Bersama teman-teman sekolah, dia berdiri di trotoar Jalan Cipaganti, Bandung, bersiap pulang. Namun, sesaat kemudian sesuatu yang tak terduga menimpanya.

Euis dan teman-temannya berpapasan dengan serombongan Cross Boys. Remaja perempuan itu menjadi ketakutan, berupaya menepi. Begitu pula teman-temannya yang lain. Tapi dia terus-menerus digoda. Diteriaki. Belasan Cross Boys itu bahkan melakukan tindakan yang membuat Euis menjadi risih: catcalling, jika memakai terminologi populer saat ini.

"Dengan gaja dibuat-buat, tangan dikepalkan sedikit agak dibengkokkan, kepala ditengadahkan, pantat dikebelakangkan, dengan kata-kata kasar dan nonsimpatik mengganggu seorang gadis peladjar, dan mengatakan bahwa ia tjinta sangat pada itu gadis," demikian surat kabar Warta Bandung, Selasa 16 Juli 1957, menggambarkan kejadian itu.

Euis lalu berteriak. Berusaha mempertahankan harga dirinya dari sergapan Cross Boys yang, menurut laporan redaksi, punya wajah memualkan. Tegas dia menyatakan bahwa dia tidak ingin diganggu. Sebab Euis, katanya, "bukan gadis jalanan."

Namun nahas. Euis harus mengalami tindak kekerasan. Penolakan itu ternyata membuat seorang pemuda Cross Boys malu. Dia merasa dihina, lalu melibatkan anggota lainnya untuk perkara ini. Mereka tiba-tiba menyerang Euis.

"Belasan Cowboy dengan gaja Roy Rogers turun dari 'kudanja' dan djalan mendekati gadis dengan tampang matjam mau berak untuk kemudian menempeleng Euis Atika dengan gendjotan Cowboy."

Sontak saja warga yang ada di sekitar turut menolong Euis. Membekuk pelaku, belasan pemuda Cross Boys itu. Mereka lalu diserahkan pada aparat keamanan, dan digiring ke Hop Biro Polisi. Kepala Polisi Keresidenan Priangan, Mustahapa Pane, memberi ceramah, dan menasihati mereka.

Menurut laporan surat kabar Warta Bandung, para pelaku menunjukkan raut wajah ketakutan saat berhadapan dengan polisi. Menjadi bukti kerapuhan bahwa di balik arogansi tindak-tanduk mereka selama ini, ada juga kerapuhan. Ironis!

Kisah Euis Atika menjadi satu dari sekian keonaran yang dipicu anak-anak muda kontroversial yang juga dikenal dengan nama Cross Boys. Sebelumnya telah diuraikan asal-usul dan faktor kemunculan Cross Boys. Ia merupakan kombinasi dari tumbuhnya masyarakat perkotaan, pengaruh film barat, tekanan ekonomi, dinamika asimilasi budaya di era Perang Dingin, dan juga pencarian dan aktualisasi identitas pribadi maupun kelompok pemuda.

Untuk memahami Cross Boys lebih spesifik lagi, penting juga untuk menelusuri dan menggali karakteristik mereka. Tulisan ini berupaya mengupas gaya berpakaian, kebiasaan perilaku, struktur kelompok, dan identitas sosial yang membedakan mereka dari kelompok pemuda lain pada masa itu.

Baca Juga: Cerita Penanganan Remaja Nakal di Bandung Era 1950-an
Jejak Delegasi Seniman Jawa Barat di Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia 1957

Haus Perhatian

"Mahabuna film koboy dina katompernakeun taun 50-an, gede pisan pangaruhna kana kahirupan balarea. Urang Bandung, teu kolot teu budak, mimiti raresep narurutan film koboy. Ti mimiti papakean tepi ka kalakuan niron-niron koboy. Awewe lalaki loba nu marake calana jengki, sapatu bingkap atawa lares.”

Maraknya film cowboy di akhir 1950-an besar sekali pengaruhnya pada kehidupan banyak orang. Orang Bandung, tua-muda, pertama kalinya gemar meniru film cowboy. Dari penampilan, hingga perilaku, meniru Cowboy. Perempuan laki-laki banyak yang memakai celana ketat, sepatu boots. (Basa Bandung Halimunan, hal. 121)."

Penampilan Cross Boys bercorak eklektik, sebab bisa dibilang kalau mereka sekadar meniru aktor-aktor barat, James Dean. Ini ditopang dengan sumber daya ekonomi yang pas-pasan. Membuat pembauran aneh, mungkin juga sekaligus menjengkelkan, jika dilihat dari kacamata orang-orang yang hidup dan tumbuh di zaman itu.

Untuk memperjelas, istilah "Cross Boys" itu sendiri merujuk pada kelompok pemuda Bandung 1950-an yang mengadopsi gaya hidup dan penampilan ala koboi Amerika. Pararel dengan apa yang digambarkan film-film Hollywood. Awalnya media pun menyebut mereka "Cowboy," tapi belakangan pelabelan terhadapnya berganti menjadi "Cross Boys" (pembahasan mengenai hal ini bisa dilihat di bagian pertama). Yang pasti kelompok ini tidak monolitik. Ia terdiri dari berbagai kelompok dengan latar kelas sosial dan kecenderungan yang beragam.

Menurut Us Tiarsa dalam Basa Bandung Halimunan (hal. 122), orang-orang tua menyebutnya koboy peot (kurus). Jaket kulit, sepatu boots, dan celana levis. Ketat. Atau jengki, merujuk pada istilah yankee, yang pada masanya cukup populer. Itulah barang yang mereka kenakan. Para pengulas tema ini nyaris sepakat kalau anak-anak muda Cross Boys ini terinspirasi film-film Hollywood seperti The Wild One (1953) atau Rebel Without a Cause (1955), yang kala itu sering diputar di bioskop-bioskop Kota Bandung.

Surat kabar Warta Bandung yang terbit pada Selasa 16 Juli 1957 memberi kesan pada mereka dengan nada sinis: "Berambut macam sikat buruk, celana sempit macam kurang bahan, dengan ikat pinggang di tengah pantat, baju longgar seperti dapat pinjam atau beli dari loak."

Penampilan eksentrik semacam itu menjadi bentuk modal simbolik, jika merujuk pada konsep yang dirumuskan Pierre Bourdieu. Ia mengantarkan pada sebuah langkah untuk eksis di tengah impitan ekonomi. Tapi tentu saja tidak semua anggota Cross Boys berpenampilan seperti demikian. Mereka tidak seragam. Ada banyak kelompok yang tercatat di dalam laporan sejumlah surat kabar. Salah satunya adalah Tiger Mambo.

Kelompok ini bermarkas di Cihapit. Menurut penelusuran surat kabar Warta Bandung, 22 Oktober 1957, Tiger Mambo biasa memakai lencana yang khas. Bulat. Punya dasar putih mengkilap. Bergambar macan kuning. Di bawahnya bertuliskan "Tiger Mambo" dengan latar merah. Inilah satu fakta yang menunjukkan bahwa mereka heterogen.

Menarik pula jika kita menilik amatan Us Tiarsa. Kala itu hampir anak-anak muda di daerah masing-masing punya perkumpulan koboy. Ada Buahbatu Boys Club, Pames Boys, The Bedeng's, Konos, Riau Boys, AMX (Anak Muda Xavaleri), dan Pathorados.

Biasanya anak-anak muda waktu itu juga mencetuskan kelompok kecil yang berkiblat pada geng lebih besar seperti Tiger Mambo. Konon reputasinya sangat dikenal di kalangan Cross Boys. Umumnya didominasi pemuda dari keturunan Ambon.

Bicara soal etnis sebetulnya bukan suatu hal yang mengagetkan mengingat studi ekstentif John R.W Smail berjudul Bandung Awal Revolusi 1945-1946 (2011, hal. 103) yang mencatat bahwa PIM, atau Pemuda Indonesia Maluku, merupakan salah satu badan perjuangan yang besar di Bandung. Namun dalam konteks tahun-tahun ini, tidak ada lagi jimat, atau senjata bertuah, seperti yang digenggam banyak pemuda Bandung satu dekade sebelumnya.

Menjelang akhir tahun 1957 hampir kebanyakan anak-anak muda yang kala itu tergabung dalam Cross Boys memakai jaket yang umum dikenal sebagai "jaket James Dean". Mereka juga memakai celana jengki. Dengan wajah lokal, semacam lumpenproletar. Kadang memakai topi yang biasa dipakai copet, yang begitu mencolok dengan sepatu boots ala koboi.

Untuk kendaraan, beberapa surat kabar sepakat bahwa biasanya Cross Boys memodifikasi sepeda mesin mereka dengan sadel tinggi dan setang rendah. Sering pula dihiasi kain warna-warni, untuk menunjukkan kelompok yang ingin tampil beda. Semua ini menjadikan mereka sekadar peniru Amerika.

Bahwa Cross Boys merupakan produk yang lahir antara pertarungan budaya yang dibawa film dan musik barat, itu jelas. Namun sebetulnya mereka juga punya keinginan untuk tetap relevan di tengah masyarakat. Dalam konteks ini, beberapa dari mereka menunjukkan kecenderungan anak-anak muda yang haus perhatian.

(Pada bulan Juni hingga Juli, perkelahian antar kelompok Cross Boys masif terjadi di beberapa tempat. Mayoritas pelaku perkelahian berusia remaja, ada yang masih mengenyam bangku SR dan SMP. Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha).

Koran mengabarkan perkelahian antarkelompok Cross Boys yang masif terjadi di beberapa tempat. (Foto: Yogi Sukma Eka Nugraha)
Koran mengabarkan perkelahian antarkelompok Cross Boys yang masif terjadi di beberapa tempat. (Foto: Yogi Sukma Eka Nugraha)

Berbuat Onar

Cross Boys tidak hanya dikenal karena penampilan, tetapi juga karena perilaku onar di masyarakat. Mereka kerap memicu perkelahian, mengganggu ketertiban. Seperti bisa dilihat dalam satu laporan surat kabar Warta Bandung yang berjudul “Cowboy dan Bang Beca”, yang terbit pada hari Senin, 24 Juni 1957.

Peristiwa ini tepatnya terjadi pada malam Sabtu di Bioskop Taman Senang Pagarsih. Kala itu ada keributan antara Pemuda Cross Boys dengan tukang becak. Menurut keterangan yang diperoleh redaksi Warta Bandung, asal mula keributan itu dimulai ketika salah seorang Cross Boys mengirim surat kepada tukang Beca, yang antara lain berbunyi: "tulang anjing tukang Beca ada berapa puluh. Kalau mau bertanding/bergelut datang saja ke atas ke Jalan Dago."

Tukang becak yang menerima surat itu segera mengabari teman-temannya. Setelah diadakan pembicaraan, mereka menduga bahwa orang yang mengirim surat itu berasal dari anak-anak Gang Mukalmi. Kemudian diadakan penyelidikan terhadap anak-anak Gang Mukalmi.

Para tukang beca lalu memanggil anak-anak Gang Mukalmi yang terindikasi bergabung kelompok Cross Boys. Tetapi kemudian tidak terdapat bukti bahwa yang berbuat demikian itu anak Gang Mukalmi. Bahkan sebaliknya anak-anak Gang Mukalmi juga tidak membenarkan tindakan ancaman seperti itu. Tukang becak sampai saat itu masih terus mempersoalkan isi surat tersebut.

Perilaku menantang ini, bagi mayoritas masyarakat Bandung saat itu, adalah pelanggaran terhadap tata cara hidup normal yang menjunjung kesantunan. Namun, tidak semua aksi mereka sekadar memamerkan sifat kenakalan remaja. Ada juga beberapa insiden yang memang menunjukkan sisi kriminal.

Warta Bandung edisi 30 Juli 1957 mencatat penodongan di Jalan Raya Timur, pada toko kepunyaan Tan Tjuj Goa. Kala itu tercatat dua orang muda Cross Boys berpura-pura menanyakan harga anggur, tetapi kemudian menodongkan pistol, dan meminta uang kepada pemilik toko tersebut. Karena takut, pemilik toko pun memberikan sejumlah uang pada mereka.

Tindakan semacam ini memperkuat persepsi publik bahwa Cross Boys merupakan satu ancaman bagi ketertiban sosial. Dilihat secara lebih luas, ini sekaligus juga menyimpulkan dua hal. Cross Boys adalah anak-anak muda yang bengal, yang menantang tradisi, dan di sisi lain, mereka hidup di tengah tekanan ekonomi, dan ini yang memungkinkan beberapa Cross Boys untuk kemudian terseret arus kriminal, meskipun sebetulnya banyak yang hanya sekadar meniru gaya Barat, tanpa niat jahat.

Surat kabar Indonesia Raya edisi Selasa, 3 Desember 1957 melaporkan keadaan ekonomi di Bandung yang saat itu sedang dilanda krisis beras. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Surat kabar Indonesia Raya edisi Selasa, 3 Desember 1957 melaporkan keadaan ekonomi di Bandung yang saat itu sedang dilanda krisis beras. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Bukan Sekadar Tren atau Kriminalitas

Tidak semua Cross Boys terlibat kriminal. Sebagian hanya terpikat budaya Barat. Sebagian suka berkumpul di sudut-sudut jalan, sesekali menggoda perempuan yang kebetulan lewat. Bagi individu semacam ini, menjadi Cross Boys adalah semata perkara gaya. Sebatas ikut ramainya saja.

Ini diakui sebagian media yang mengatakan bahwa tidak semua Cross Boys berperilaku serupa. Beberapa gadis, misalnya, mengaku hanya ikut-ikutan memakai jaket merah ala James Dean dengan celana jengki. Umumnya, inilah yang terjadi pada kasus perempuan. Menurut istilah yang dipergunakan surat kabar Warta Bandung: "hanja didorong oleh model pakaian semata-mata."

Masalahnya, ada pula Cross Boys yang perilakunya melampaui batas. Sejumlah laporan surat kabar mencatat insiden yang jelas-jelas bersifat kriminal dan ini yang kemudian memperkuat stigma bahwa Cross Boys adalah ancaman sosial. Kelompok ini biasanya berasal dari lapisan yang lebih terpinggir, semacam lumpenproletar yang hidup di gang-gang sempit.

Mengenali perbedaan semacam ini penting untuk tidak jatuh pada generalisasi berlebihan. Saya juga punya anggapan kalau di Bandung, faktor yang membedakan kedua kelompok ini sering kali terletak pada latar belakang sosial dan akses mereka ke sumber daya ekonomi. Mereka yang lahir dan tumbuh dari kelas menengah dan memiliki perhatian keluarga atau pendidikan, cenderung berada di barisan para peniru tren ini. Mereka mungkin saja bergabung dengan kelompok yang lebih aman, yang lebih berfokus pada gaya dan mengedepankan solidaritas pertemanan daripada kejahatan.

Sebaliknya, pemuda yang terjerembab dari struktur sosial, lebih rentan terjerumus ke tindakan kriminal. Java Bode (13 November 1957) mencatat pola serupa terjadi di Jakarta. Menurutnya, Cross Boys dari daerah kumuh lebih sering terlibat dalam perkelahian atau pencurian.

Ini diperkuat oleh pendapat seorang penulis kolom bernama Hosein (tercatat sebagai warga negara biasa yang mencintai pemudanya, belakangan dari surat kabar Indonesia Raya yang terbit di waktu yang kurang lebih sama, diketahui bahwa ia seorang dosen di Bandung) yang menulis esai bersambung pada Senin, 11 November 1957. Ia menguraikan pandangannya mengenai persoalan anak-anak nakal, dengan membandingkan kecenderungan keluarga elite borjuis dan keluarga proletariat.

Menurut Hosein, keluarga proletariat lebih rentan membuat kenakalan remaja menjadi mungkin karena adanya keterbatasan waktu mereka berkumpul dengan anak-anak. Di Bandung, kelompok semacam ini kadang mengklaim wilayah tertentu, seperti misalnya kisah pemuda dari Pagarsih dan Gang Mukalmi. Menilik dari perspektif Pierre Bourdieu, perilaku semacam ini menunjukkan modal simbolik: pemuda dari kalangan bawah memakai gaya dan memamerkan kenakalan untuk menegaskan status sosial di tengah masyarakat.

Masalahnya lagi, batas antara pengikut tren dan pelaku kriminal tidak selalu jelas. Seorang pemuda yang berniat sekadar tampil gaya bisa saja terjerumus untuk bergabung dengan aksi kriminal jika lingkungannya memang buruk sejak awal. Laporan Warta Bandung yang terbit pada 16 Juli 1957 menunjukkan bahwa belasan Cross Boys telah ditangkap dalam kasus pelecehan Euis Atika. Jika dicermati seksama, sesungguhnya di antara mereka juga ada yang menyesal dan ketakutan saat berhadapan dengan otoritas.

Namun beda kota, beda pula latar belakang kelas sosial yang terlibat. Di Cirebon, menurut Warta Bandung, biasanya kebanyakan dari mereka yang tergabung Cross Boys itu adalah anak-anak orang gede atau kaya. Ini menandakan bahwa ada pula sebagian dari mereka yang bertindak tanpa alasan finansial. Demikianlah nuansa fenomena Cross Boys: dari anak muda yang sekadar hendak meluapkan hasrat mudanya hingga mereka yang terjerat lingkaran kemiskinan dan kekerasan.

Struktur Teritorial

Cross Boys tidak memiliki struktur organisasi yang ketat. Berbeda halnya dengan kelompok anak muda yang lebih modern. Melihat surat kabar Warta Bandung 16 Juli 1957, sebetulnya ada istilah untuk menggambarkan semacam Barisan Patroli, lengkap dengan komandan dan anggota yang bertugas untuk Patroli.

Saya belum menemukan bukti yang disampaikan pihak Cross Boys secara langsung mengingat keterbatasan jangkauan pada mereka yang dulu terlibat. Bisa jadi hal ini merupakan sekadar gambaran media. Yang pasti, mereka membentuk komunitas kecil dengan berbasis wilayah, seperti Gang Mukalmi, Cihapit, atau Jalan Riau (Warta Bandung, 22 Oktober 1957).

Informasi ini diperkuat amatan Us Tiarsa, yang menyebutkan bahwa nyaris setiap daerah memiliki perkumpulan koboy. Laporan Java Bode pada 13 November 1957 juga menunjukkan bahwa ini adalah pola umum di kota-kota besar Indonesia. Struktur semacam ini membuat Cross Boys pada awal kemunculannya cukup sulit untuk diawasi otoritas (pembahasan rinci soal ini akan diulas dalam tulisan berikutnya).

Struktur teritorial seperti yang menjadi ciri kelompok Tiger Mambo yang berbasis di Cihapit, atau barudak Gang Mukalmi menunjukkan keragaman subkultur ini. Gaya yang eksentrik, begitu pula perilakunya dari menggoda perempuan hingga kriminal, menjadi bukti kompleksitas pemuda Bandung 1950-an.

Tidak ada figur sentral yang bisa merengkuh pemuda Cowboy secara menyeluruh. Berdasarkan beberapa kasus, dalam kelompok kecil mereka terdapat pemimpin dan beberapa nama organisasi besar yang representatif juga kerap muncul dalam laporan surat kabar. Situasi ini mengingatkan pada penjelasan Albert Cohen tentang subkultur reaktif.

Pemuda dari kelas menengah bawah membentuk kelompok untuk melawan tekanan sosial, seperti kemiskinan atau norma tradisional. Namun, kurangnya ikatan antarkelompok juga berarti bahwa Cross Boys tidak memiliki agenda politis, berbeda dengan kelompok lain seperti Pemuda Rakyat yang lebih terorganisisasi dengan solid.

Selain sebagai keganjilan di tengah masyarakat yang mengedepankan aspek kesantunan, dalam beberapa kasus kemunculan Cross Boys juga dapat dilihat sebagai modal simbolik, sebagaimana konsep yang diajukan Pierre Bourdieu. Menurut pengertian ini, gaya dan perilaku Cross Boys berfungsi sebagai modal simbolik untuk menegaskan identitas dan kehadiran mereka di tengah keterbatasan ekonomi (Jangan lupa keberadaan total 8.960 orang pengangguran di Bandung yang didominasi anak muda, menurut Warta Bandung edisi 16 Juli 1957)

Kita tahu, Bandung pada tahun-tahun itu sedang didominasi otoritas militer dan kalangan nasionalis progresif. Kemunculan tiba-tiba sekelompok anak-anak muda yang berkiblat pada Barat, tentu di luar kelumrahan. Namun tidak tepat juga ketika sebagian media dan sejumlah otoritas cenderung menggeneralisasi semua Cross Boys sebagai kriminal. Padahal, seperti disebutkan dalam teks sebelumnya, banyak yang sekadar ikut-ikutan tanpa berniat untuk melakukan tindakan di luar batas. Ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat cukup dipengaruhi sentimen anti-Barat.

Pertanyaan selanjutnya: apa dampak kemunculan Cross Boys? Tulisan selanjutnya akan menggali respons masyarakat, ari mulai kecaman hingga upaya penyaluran positif, dan juga bagaimana mereka sedikit banyak turut mewarnai wajah kota.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//