• Berita
  • Hilangnya Peran Pemerintah sebagai Penjamin Pemenuhan Hak Beribadah dalam Kasus Penutupan Rumah Doa Immanuel di Garut

Hilangnya Peran Pemerintah sebagai Penjamin Pemenuhan Hak Beribadah dalam Kasus Penutupan Rumah Doa Immanuel di Garut

Penutupan Rumah Doa Immanuel di Garut ditutup permanen oleh pemerintah setempat. Penginjil dipaksa meninggalkan wilayah.

Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul12 Agustus 2025


BandungBergerak.idGereja Beth-El Tabernakel Rumah Doa Immanuel, di Desa Purbayani, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut ditutup secara permanen oleh aparat pemerintahan setempat, Sabtu, 2 Agustus 2025 lalu. Penginjil sekaligus penghuni pos pelayanan Rumah Doa pun diusir dari rumah dan harus meninggalkan wilayah Kecamatan Caringin. Peran negara dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan dipertanyakan.

Pendeta Gereja Bethel Tabernakel (GBT) Pangalengan Yahya Mulya menerangkan, inisiatif membangun rumah doa di Kecamatan Caringin sudah ada sejak tahun 2010. Rumah ibadah kristiani perlu dibangun di kawasan tersebut lantaran gereja terdekat di Pangalengan berjarak sekitar 70 kilometer, dengan waktu tempuh tiga hingga empat jam. Sementara gereja di Kota Garut berjarak sekitar 100 kilometer dengan waktu tempuh lebih lama dan biaya yang dibutuhkan juga lebih banyak.

“Kenapa kami membangun rumah doa Immanuel itu di lokasi itu ya, karena dari lima kecamatan yang ada di Kabupaten Garut selatan, baik Cibalong, Pameungpeuk, Cikelet, Bubulang, dan Caringin itu sendiri tidak ada satupun ruang untuk orang Kristen bisa berdoa atau beribadah. Itu kan seharusnya pemerintah yang memfasilitasi,” ungkap Yahya, ketika dihubungi BandungBergerak, Jumat, 8 Agustus 2025.

Yahya menyebutkan, alasan pemerintah tidak memfasilitasi rumah ibadah karena tidak ada penduduk yang tercatat resmi di kecamatan yang beragama Kristen. Padahal, menurut Yahya, banyak penduduk domisili yang beragama Kristen. Hanya saja mereka belum mengurusi administrasi perpindahan kependudukan. Yahya menyebut, ada sekitar 30 hingga 40 umat Kristen yang berdomisili di wilayah itu yang asalnya dari Sumatera Utara.

Di samping itu, kawasan Rancabuaya yang masuk kecamatan ini juga merupakan objek wisata. Para pelancong yang ingin beribadah tidak bisa menemukan gereja terdekat. Kebutuhan ini disebut sudah pernah dilayangkan kepada pemerintah. Karena tidak kunjung adanya jawaban, makanya rumah doa itu pun dibangun untuk menampung kebutuhan umat kristiani melangsungkan peribadatan.

Kronologi Penutupan Rumah Doa Immanuel

Yahya menceritakan kronologi penutupan rumah doa hingga pengusiran terhadap Penginjil. Awalnya, dua orang Penyuluh Agama Kristen dari Kementerian Agama Kabupaten Garut akan melakukan pendataan rumah ibadah, baik gereja maupun rumah doa dan melakukan pembinaan. Ketika melakukan pendataan, penyuluh ini melakukan konfirmasi ke Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Caringin bahwa ada 20 jemaat Kristen yang akan dibina.

Ketika dikonfirmasi, pihak KUA terkejut. Mereka tidak mengetahui keberadaan penduduk Kristen dan rumah ibadahnya di wilayah mereka. Dari situlah persoalannya muncul dan memunculkan kesalahpahaman. Bahkan data berkaitan puluhan jemaat Kristen dan adanya rumah doa menjadi berita di salah satu media lokal.

Jumat malam, 1 Agustus 2025, penginjil Dani Natanael Gunawan yang mendiami rumah doa dijemput oleh polisi. Ia sempat diamankan satu malam di salah satu hotel di Pantai Rancabuaya. Keesokan harinya, ia dibawa ke kantor polisi dan diinterogasi. Dani lalu disidang oleh aparat pemerintah setempat yang terdiri dari polisi, pihak kecamatan, Danramil, MUI, Kepala Desa, dan jajarannya, lalu diminta menandatangani surat pernyataan.

“Waktu sidang itu harusnya kan kami diberitahu juga atau diundang. Jangan hanya satu orang ini dieksekusi. Nah pada saat sudah letih di sidang begitu, disuruh tanda tangan yang mereka sudah buat konsep semuanya. Pokoknya yang ditandatangani di situ kan disebut tempat doa ditutup permanen,” kata Yahya.

Dalam surat pernyataan yang ditandatangani Dani, ada tiga poin yang dinyatakan. Pertama, bahwa ia selaku penghuni Gereja Beth-El Tabernakel Rumah Doa Immanuel sanggup untuk meninggalkan rumah tersebut ke luar wilayah Kecamatan Caringin. Kedua, bahwa ia tidak akan ikut serta dengan kegiatan yang dilaksanakan di rumah doa tersebut, ketiga, bahwa ia tidak akan melakukan kegiatan keagamaan di wilayah Kecamatan Caringin.

Sementara dalam surat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) beserta MUI dan pengurus Rumah Doa Immanuel, disepakati tiga hal. Pertama, bahwa rumah doa itu ditutup dan tidak ada kegiatan lain yang berhubungan dengan kegiatan agama Kristen. Kedua, penutupan Rumah Doa berlaku mulai 2 Agustus 2025, apabila pemilik rumah akan mendirikan kembali agar menempuh perizinan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketiga, agar seluruh warga masyarakat menjaga toleransi antar umat beragama dan tidak melakukan tindakan anarkis atau tindakan lainnya yang dapat mengganggu situasi kamtibmas.

Yahya menyesalkan upaya pengusiran yang terjadi terhadap Dani. Baginya, kesepakatan penutupan adalah satu soal yang perlu dikritik. Namun terhadap pengusiran merupakan hal lain yang tak jamak dilakukan.

“Jadi sekalipun beda agama kan orang berhak hidup di Indonesia ini di mana pun. Mungkin katakanlah kegiatan yang tadi okelah ditutup dulu sementara gitu. Tapi kan orangnya enggak boleh disuruh pergi, apalagi ada anak sekolah, anak kelas 3 SD. Nah, sekarang jadi enggak sekolah,” kata Yahya.

Gembala ini menegaskan, sama seperti seluruh warga mayoritas, minoritas pun berhak dan dilindungi undang-undang untuk menjalankan ibadah. Alih-alih menutup rumah ibadah, aparat pemerintah diharapkan membantu memfasilitasi agar rumah ibadah itu bisa didirikan sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Seyogyanya pemerintah buatlah. Kami tidak menuntut tiap kecamatan satu. Dari lima kecamatan itu, ada satu di tengah-tengah supaya orang bisa beribadah dengan tenang, nyaman. Nyaman itu ibadah yang memang di tempat ibadahnya yang oleh pemerintah diberikan gitu, dipenuhi persyaratannya,” ungkapnya.

Kalau memang syaratnya belum terpenuhi, lanjut Yahya, setidaknya biarkanlah dulu mereka beribadah sambil terus memenuhi persyaratan pendirian, seperti yang diamanatkan oleh SKB Dua Menteri. 

Baca Juga: Melawan Intoleransi dan Diskriminasi dengan Mengurangi Prasangka
Mememeriksa Kembali Jaminan Kebhinekaan dari Konstitusi, Menyikapi Intoleransi terhadap Warga Ahmadiyah di Banjar

Kegagalan Negara, Lagi!

Koordinator Jaringan Kerja untuk Keberagaman (Jakatarub), Ucu Cintarsih menyatakan, penutupan Rumah Doa Immanuel di Garut menunjukkan tren memburuknya perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia khususnya di Jawa Barat.

Tahun lalu, tutur Ucu, tindakan serupa juga menimpa jemaat Ahmadiyah di mana rumah ibadah mereka disegel oleh aparatur negara. Kini, pola yang sama kembali terjadi di Garut, bahkan dilegitimasi dengan surat keterangan tanda lapor dari Kantor Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat.

“Institusi negara yang semestinya menjadi pelindung, bukan pelanggar hak dan pelaku intoleransi,” ungkap Ucu kepada BandungBergerak.

Kejadian ini menambah panjang daftar kegagalan negara dalam menjamin hak setiap warga negara untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya. Ucu menerangkan, permasalahan perizinan rumah ibadah sering kali berlarut-larut di lapangan dan tidak dapat dijadikan dalih untuk melarang atau menutup kegiatan ibadah. Hal ini sejalan dengan Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 yang menegaskan kewajiban negara menghindari tindakan diskriminatif berbasis agama.

Ucu merujuk pada konstitusi, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005, bahwa pemerintah memegang peran sentral dalam menjamin hak beribadah setiap warga negara. Alih-alih mempersulit atau memilih jalan pintas dengan dalih “menjaga kerukunan”, negara seharusnya mengupayakan solusi administratif dan teknis yang memudahkan, terutama bagi kelompok agama rentan yang masih kesulitan untuk mendapatkan akses beribadah dengan aman dan nyaman.

“Dalam kasus penutupan rumah doa Bethel di Garut, pemerintah semestinya tidak mengambil langkah represif, melainkan menjadi mediator aktif yang memfasilitasi dialog antara jemaat, masyarakat sekitar, dan aparatur negaranya sendiri untuk dapat memastikan kegiatan ibadah tetap berlangsung aman, serta menyelesaikan hambatan perizinan secara adil,” katanya.

Ucu mewanti-wanti, SKB 2 Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah tidak boleh dijadikan alat pembatas, melainkan panduan untuk memastikan setiap umat beragama dapat beribadah dengan aman dan nyaman. Kegagalan menjalankan prinsip ini dinilai bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga pelanggaran hak konstitusional yang dapat menjadi objek gugatan hukum dan pengaduan ke lembaga HAM nasional maupun internasional.

“Membatasi hak ibadah demi menghindari konflik bukanlah bentuk menjaga kerukunan, itu justru menjadi pembiaran terhadap diskriminasi dan meningkatkan tren intoleransi di masyarakat. Kerukunan sejati dapat terwujud jika semua elemen warga negara, tanpa memandang agama atau keyakinan bahkan lainnya, dapat beribadah secara aman, setara, dan bermartabat,” pungkasnya.

***

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//