Dari Pilar Demokrasi ke Corong Elite
Sistem yang sehat akan menopang jurnalisme yang sehat. Tanpa itu, kebebasan pers hanyalah slogan kosong.
Djoko Subinarto
Penulis lepas dan blogger
12 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Di tengah dunia yang makin terkoneksi, institusi media diharapkan menjadi penuntun akal sehat publik. Ia mesti berdiri semakin kokoh sebagai pilar keempat demokrasi. Namun, realitasnya, media malah sering terjerat dalam kepentingan ekonomi dan politik. Padahal, masyarakat membutuhkan informasi yang bebas dari tekanan dan manipulasi.
Di Republik ini, sebagian besar media arus utama dimiliki oleh konglomerat. Bahkan, pemilik media bukan hanya pengusaha, tapi juga merangkap politisi. Ini bisa saja menciptakan konflik kepentingan yang langsung mempengaruhi isi pemberitaan.
Publik mungkin tak menyadari bahwa informasi yang disiarkan dan mereka konsumsi telah melalui banyak lapisan penyaringan. Bukan hanya oleh redaktur, tapi juga oleh kepentingan pemilik modal –dan tak menutup kemungkinan juga oleh pemilik kekuasaan. Bahkan, dalam beberapa kasus, sudut pandang informasi sudah ditentukan sejak awal. Hal seperti ini melemahkan fungsi kontrol sosial dari media.
Dan ketika kepentingan ekonomi bertemu dengan kekuasaan, jurnalisme langsung kehilangan giginya. Ia mirip anjing ompong. Ia tak lagi berani menggonggong ketika ada pelanggaran. Ia justru berubah sekadar menjadi anjing penjaga kepentingan elite. Dan media pun lebih sibuk mencitrakan daripada mengungkapkan kebenaran.
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah media masih bisa independen?
Baca Juga: Jurnalisme dan Gerakan Rakyat, Seharusnya Berjalan Bersama
Bahaya Pasifnya Masyarakat Kelas Menengah Terhadap Demokrasi
Mengkritik Politisi Populer di Indonesia, antara Fanatisme dan Demokrasi
Bias Struktural
Untuk menjawabnya, kita harus melihat akar masalahnya, yakni struktur kepemilikan media. Sebagian besar media dimiliki segelintir orang. Di sinilah letak persoalan pertama. Ketika kepemilikan terkonsentrasi pada segelintir orang, maka keberagaman perspektif pun terancam.
Barangkali teori hegemoni dari Antonio Gramsci bisa menjelaskan hal ini. Menurut Gramsci, kekuasaan tak hanya ditopang oleh senjata, tapi juga oleh pengaruh ideologi. Dalam pandangannya, kekuasaan yang paling kuat justru bekerja secara halus melalui dominasi ide, nilai, dan cara berpikir yang dianggap wajar oleh masyarakat luas.
Nah, media menjadi salah satu aparatus hegemoni. Ia menjadi alat yang digunakan oleh kelompok dominan untuk menyebarluaskan pandangan dunianya dan menjadikannya sebagai kebenaran umum. Maka, media bukan lagi sekadar penyampai informasi, tapi pembentuk kesadaran. Ia menciptakan cara pandang, membingkai kenyataan, dan mempengaruhi opini publik sesuai kepentingan ideologis pemiliknya.
Maka, ketika pemilik media juga adalah pemilik modal dan sekaligus memiliki kekuasaan, yang terbentuk bukan praktik jurnalisme yang membebaskan, melainkan jurnalisme yang tunduk. Jurnalisme kehilangan daya kritisnya dan berubah menjadi corong kepentingan. Dan ini menjauhkan publik dari haknya mendapatkan informasi yang adil.
Sekadar ilustrasi, kita sering menyaksikan berita-berita yang mengglorifikasi pejabat tertentu. Sementara berita tentang pelanggaran yang dilakukan kelompok tertentu nyaris lenyap dari permukaan. Pola ini terjadi secara sistemik dan tidak kebetulan. Ia merupakan bentuk dari kontrol narasi.
Ini bukan sekadar bias redaksional. Ini adalah bias struktural. Produk dari sistem yang tak memberi ruang bagi keberagaman kepemilikan dan suara. Saat ruang redaksi dikendalikan oleh pemilik modal, dan mungkin juga pemilik kekuasaan, maka suara rakyat bakal makin tak terdengar.
Dalam kondisi seperti itu, jurnalis pun terjebak dalam dilema. Mereka harus memilih antara idealisme atau kehilangan pekerjaan. Tidak semua punya kemewahan untuk memilih yang pertama. Ujungnya, banyak yang memilih diam saja demi bertahan hidup.
Kompromi
Tak sedikit pula jurnalis akhirnya melakukan kompromi. Mereka menulis sesuai garis yang ditetapkan redaksi. Mereka berhenti mengejar kebenaran jika itu bisa merugikan pemilik media. Etika jurnalistik pun menjadi fleksibel sesuai kepentingan.
Di sisi lain, media alternatif bermunculan. Mereka hadir di luar struktur media besar. Mereka mengandalkan donasi publik, dan mencoba bebas dari pengaruh politik dan modal besar. Ini menunjukkan bahwa masih ada secercah harapan.
Meski begitu, tantangan mereka tak kecil. Dari soal pendanaan yang minim, hingga ancaman doxing, kriminalisasi, dan kekerasan. Di era digital, media alternatif bersaing keras pula dengan algoritma platform.
Konten investigasi yang mendalam bisa kalah pamor dengan video prank recehan tapi viral. Platform digital lebih mendukung konten yang menghibur daripada mencerdaskan. Ini tantangan serius bagi media serius.
Harus diakui pula kekuatan media sosial yang membuat distribusi informasi saat ini lebih demokratis, tapi juga membuka ruang besar bagi disinformasi dan hoaks. Siapa saja bisa menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Ini membuat publik kesulitan memilah dan memilih mana yang fakta, mana yang fiksi.
Dalam kebingungan informasi ini, publik perlu melek literasi media. Perlu diajarkan sejak dini bagaimana membedakan opini dan fakta, iklan dan berita. Literasi media adalah benteng terakhir agar publik tak mudah terombang-ambing arus besar informasi.
Di sisi lain, negara mestinya hadir untuk mendukung kebebasan pers, bukan mengontrolnya. Tapi, ironisnya, beberapa kebijakan justru mempersempit ruang gerak jurnalisme kritis. Sensor masih terjadi secara halus maupun terang-terangan. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Kita bisa ambil contoh UU ITE yang sering dipakai untuk membungkam kritik. Banyak jurnalis dan aktivis yang berhadapan dengan hukum karena menyuarakan kebenaran. Alih-alih melindungi, negara justru menjadi ancaman.
Maka, pertanyaan bisakah media benar-benar independen bukan hanya soal idealisme, tapi juga soal sistem dan perlindungan hukum. Sistem yang sehat akan menopang jurnalisme yang sehat. Tanpa itu, kebebasan pers hanyalah slogan kosong.
Jurnalisme warga sebenarnya bisa menjadi opsi lainnya. Ketika warga biasa merekam ketidakadilan dan menyebarkannya secara mandiri, di situ muncul harapan baru. Ini membuktikan bahwa siapa pun bisa menjadi pembawa kebenaran.
Namun, jurnalisme warga tetap perlu standar etika. Tanpa verifikasi dan prinsip jurnalistik, ia bisa jatuh menjadi pelintiran atau fitnah. Etika bukan hanya milik media besar, tapi juga semua yang menyampaikan informasi.
Pendidikan jurnalisme perlu lebih menekankan etika dan keberpihakan pada kebenaran, bukan sekadar kecepatan dan klik. Kebenaran tak bisa digantikan oleh viralitas.
Jurnalisme yang baik harus tahan uji waktu. Sebab jurnalisme bukan soal siapa paling cepat. Tapi, siapa paling jujur. Dan siapa yang berani bicara, bahkan ketika itu tak populer. Dalam dunia yang penuh manipulasi, kejujuran adalah keberanian.
Pada akhirnya, jurnalisme bukan bisnis semata, tapi tugas kebudayaan dan moral. Dalam dunia yang penuh kompromi, mungkin mustahil menjadi sepenuhnya bebas. Tapi, jurnalisme tetap bisa memilih untuk setia pada nurani.
Keberpihakan pada kebenaran adalah pilihan yang bisa diambil setiap hari. Dan kebebasan pers bukan hadiah, ia harus terus diperjuangkan.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB