Bahaya Pasifnya Masyarakat Kelas Menengah Terhadap Demokrasi
Kelas menengah sering kali menjadi penonton dalam panggung demokrasi yang menuntut partisipasi aktif warga. Ketika mereka abai, maka demokrasi bisa mati pelan-pelan.

Fathan Muslimin Alhaq
Penulis konten lepas asal Jakarta
6 Mei 2025
BandungBergerak.id – Demokrasi bukan sekadar sistem politik –ia adalah ruh yang memerlukan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Namun sayangnya, kelompok masyarakat yang seharusnya menjadi penopang utama justru kerap menunjukkan sikap diam dan apatis. Kelas menengah, dengan segala sumber daya, akses pendidikan, serta informasi yang mereka miliki, malah sering kali menjadi penonton dalam panggung demokrasi yang menuntut kehadiran aktif semua warganya.
Yang dimaksud dengan masyarakat menengah dalam konteks ini adalah kelompok sosial-ekonomi yang tidak tergolong dalam kalangan atas (elit ekonomi/politik), namun juga tidak termasuk dalam lapisan masyarakat rentan. Mereka memiliki penghasilan stabil, biasanya bekerja di sektor formal seperti pegawai negeri, karyawan swasta, pengusaha kecil-menengah, guru, akademisi, dan profesional muda. Mereka juga memiliki akses terhadap pendidikan tinggi, teknologi, dan informasi yang luas. Singkatnya, mereka bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga punya peluang untuk berpikir kritis dan terlibat aktif dalam ruang publik.
Pasifnya masyarakat menengah ini bukan hanya mencerminkan ketidaktertarikan terhadap urusan politik, melainkan dapat menjadi akar dari berbagai krisis representasi, stagnasi kebijakan publik, hingga bangkitnya politik populis yang merusak logika kebangsaan. Masyarakat menengah, yang terdiri dari akademisi, profesional muda, pengusaha kecil-menengah, serta kelompok terdidik lainnya, justru punya beban moral untuk menjadi penggerak arah demokrasi yang sehat dan rasional.
Baca Juga: RUU TNI dengan Bayang-bayang Dwifungsi di Panggung Demokrasi
Hukum yang Tak lagi Sakral
Hari Kartini: Lebih dari Sekadar Kebaya, Saatnya Perempuan Bersuara
Pendidikan Politik
Munaszar (2023) menyoroti pentingnya pendidikan politik di masyarakat. Rendahnya pendidikan politik menyebabkan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi dan manipulasi informasi, dan ini ironisnya juga berlaku pada sebagian besar masyarakat menengah. Alih-alih memperkuat literasi politik di sekelilingnya, sebagian dari mereka malah memilih sikap netral yang sering disalah artikan sebagai bijaksana. Padahal dalam konteks demokrasi yang rentan disusupi kepentingan oligarki, sikap netral dan pasif justru menyuburkan ketimpangan.
Dalam catatan sejarah, kelas menengah kerap kali menjadi kekuatan perubahan. Di masa transisi Orde Baru ke Reformasi, masyarakat menengah turut menyumbang daya dorong terhadap runtuhnya rezim otoriter. Namun kini, dalam era digital dan keterbukaan informasi, kekuatan itu justru mengalami regresi. Banyak dari mereka lebih sibuk memperdebatkan hal-hal remeh di media sosial ketimbang mengadvokasi isu-isu publik yang esensial.
Kehadiran mereka di ruang demokrasi seharusnya bisa menjadi katalis –penjembatan antara elite dan akar rumput, antara wacana kebijakan dan kebutuhan rakyat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Mereka lebih nyaman berada dalam zona senyap. Padahal menurut Taufikurrahman dan Hidayat (2019), kelas menengah memiliki peran historis dalam upaya membangun demokrasi inklusif, salah satunya melalui gerakan intelektual seperti ICMI. Kini, gerakan tersebut tinggal nama, sementara keberanian untuk menyuarakan kritik publik seperti memudar dalam bayang-bayang pragmatisme.
Masalah makin pelik ketika partisipasi elektoral, seperti dalam pemilu, tak lagi dianggap sebagai kewajiban moral. Golput menjadi gaya hidup politik yang dianggap “keren” oleh sebagian kalangan. Menurut Alfarisyi et al. (2023), rendahnya partisipasi dalam pemilu dapat berdampak pada penurunan legitimasi politik serta berpotensi membuka jalan bagi kelompok-kelompok ekstrem untuk merebut ruang kekuasaan. Masyarakat menengah yang seharusnya menjadi benteng logika dan integritas justru banyak yang absen di TPS atau memilih tanpa kajian mendalam.
Kondisi ini diperburuk dengan berkembangnya sikap sinis terhadap politik. Ketidakpercayaan terhadap institusi publik, politisi, bahkan proses demokrasi itu sendiri, menjangkiti pikiran masyarakat menengah. Namun sinisme ini bukan diimbangi oleh aksi korektif, melainkan dilampiaskan lewat humor gelap, meme politik, atau sekadar keluhan virtual. Tindakan yang pada akhirnya tidak menumbuhkan apa pun selain sikap permisif terhadap pembusukan demokrasi.
Partisipasi Kelas Menengah
Meski begitu, belum semua harapan pupus. Sebagaimana dicatat oleh Jati (2017), media sosial bisa menjadi senjata dua sisi, ia bisa menjebak kelas menengah dalam ekokamar yang memperparah disinformasi, namun ia juga bisa menjadi alat mobilisasi politik yang masif. Pemilu 2014 menunjukkan bagaimana kelas menengah mampu membentuk gerakan relawan digital yang memberi warna dalam politik elektoral. Relawan digital ini, jika diarahkan dengan narasi dan strategi yang tepat, bisa menjadi kekuatan politik baru yang tidak terikat partai, tetapi mengakar pada nilai dan visi kebangsaan.
Untuk mendorong peran strategis masyarakat menengah, pendidikan politik harus dirancang tidak sekadar informatif, tapi juga transformatif. Pendidikan politik yang baik tidak hanya menjelaskan apa itu demokrasi, tetapi juga mengapa setiap warga, terutama kelompok yang punya keistimewaan sosial-ekonomi, harus terlibat. Kurikulum sekolah dan universitas bisa menanamkan pentingnya advokasi sosial, diskusi kebijakan publik, serta simulasi pemilu agar pemuda dari kelas menengah tidak tumbuh menjadi apolitis.
Di sisi lain, negara juga harus membuka kanal partisipasi yang lebih inklusif. Demokrasi tidak bisa hanya hidup lima tahun sekali saat pemilu berlangsung. Dialog publik, forum warga, hingga keterlibatan dalam perencanaan anggaran daerah bisa menjadi pintu masuk untuk memperluas kehadiran masyarakat menengah di ruang demokrasi.
Kelas menengah perlu sadar bahwa diam adalah kemewahan yang tak pantas dalam negara demokratis. Ketika mereka tidak bersuara, suara-suara lain yang lebih bising akan mengambil alih. Ketika mereka tidak memilih, pilihan mereka akan ditentukan oleh algoritma propaganda atau oleh kepentingan segelintir elite. Dan ketika mereka abai, maka demokrasi bukan saja stagnan, tetapi bisa mati pelan-pelan.
Oleh karena itu, membangkitkan kembali semangat keterlibatan masyarakat menengah bukan hanya tugas aktivis atau akademisi. Ia adalah pekerjaan rumah kolektif. Karena sejatinya, demokrasi tidak pernah bisa berjalan tanpa partisipasi. Dan partisipasi tidak akan pernah tumbuh dalam keheningan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang demokrasi