• Opini
  • RUU TNI dengan Bayang-bayang Dwifungsi di Panggung Demokrasi

RUU TNI dengan Bayang-bayang Dwifungsi di Panggung Demokrasi

Supremasi sipil pelan-pelan digembosi oleh dalih keamanan dan efektivitas, dua kata yang dulu juga sering diucapkan Orde Baru setiap kali hendak menggilas oposisi.

Fathan Muslimin Alhaq

Penulis konten lepas asal Jakarta

Ilustrasi. Peran TNI di negara yang menjunjung supremasi hukum dan sipil adalah menjaga kedaulatan negara. (Foto: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

24 Maret 2025


BandungBergerak.id – Indonesia kembali berdansa di atas panggung sejarah, kali ini dengan nada yang mirip orkestra lama. Revisi Undang-Undang TNI yang baru disahkan DPR pada 20 Maret 2025 kemarin, mengubah banyak hal fundamental dalam relasi sipil-militer. Yang paling kontroversial tentu soal diperbolehkannya prajurit aktif mengisi jabatan di kementerian dan lembaga sipil, sebuah tarian yang pernah dimainkan oleh rezim masa lalu, dan kini diaransemen ulang dengan irama baru bernama modernisasi.

Narasi resmi pemerintah menyebutkan, revisi ini adalah respons atas kompleksitas ancaman zaman modern, seperti terorisme, siber, dan ketegangan geopolitik kawasan. Deretan lembaga yang bisa diisi militer aktif pun dipoles seolah-olah urusan keamanan semata –BNPT, BSSN, hingga Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Ironis, karena di titik ini, amanat reformasi 1998 terasa seperti koran usang yang tinggal jadi bungkus gorengan. Padahal, Pasal 7 Undang-Undang TNI sebelumnya sudah tegas menyebut bahwa tugas pokok TNI adalah di bidang pertahanan, bukan di ranah sipil.

Lucunya, mereka berdalih bahwa profesionalisme TNI akan tetap terjaga meski berdampingan di dalam lembaga yudikatif dan eksekutif sipil. Sebuah logika yang jika dibaca dua kali justru mengundang satire. Sejak kapan militer yang dilatih dengan doktrin komando –taat pada atasan tanpa banyak tanya– cocok duduk di lembaga-lembaga yang mensyaratkan nalar kritis dan etika demokrasi?

Sebuah jurnal berjudul "Analisis Penempatan Prajurit TNI di Jabatan Sipil Pada Masa Orde Baru dan Pascareformasi" oleh Yudi Latif (2023) dari Indonesian Journal of Religion and Society justru memperingatkan bahaya kembalinya militer ke ranah sipil pasca-reformasi. Dikatakan bahwa penempatan militer pada jabatan sipil merupakan perluasan posisi militer pada jabatan sipil, yang akan menimbulkan dampak negatif, yakni regresi demokrasi melalui bentuk kontrol sipil subjektif.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Kembalinya Militerisme, RUU TNI Melemahkan Supremasi Sipil
Aktivis Bandung Satu Suara dengan KontraS, RUU TNI Membahayakan Kebebasan Sipil
Aksi di Taman Cikapayang, Pengesahan RUU TNI Berpotensi Menambah Catatan Kekerasan terhadap Masyarakat Sipil

Romantisisme Masa Lalu

Disisi lain, ada yang bertepuk tangan menyambut revisi ini, biasanya mereka yang terlalu mabuk romantisisme ketertiban masa lalu. Argumen mereka sederhana “Kalau bisa bikin negara aman, kenapa tidak?” Mereka lupa, sejarah tak hanya soal keamanan tapi juga tentang kebebasan. Revisi ini menanam bibit “kewajaran baru” bahwa TNI dan sipil boleh satu meja, satu ruang, dan satu kekuasaan. Jika dibiarkan tumbuh, bukan tidak mungkin ke depan jabatan sipil hanya akan jadi panggung formalitas di mana para jenderal berseragam menyamar memakai dasi.

Lebih getir lagi ketika melihat batas usia pensiun yang diperpanjang, bahkan bisa diperpanjang dua kali lewat keputusan presiden. Seolah-olah negara sedang membuat pasukan tua yang terus dilestarikan demi kepentingan pragmatis politik, bukan soal pertahanan negara. Padahal, logika pertahanan seharusnya bicara soal regenerasi, bukan soal memperpanjang usia hanya agar jabatan tetap terjaga.

Peneliti dari Asia Pacific Defense Forum bahkan mencatat bahwa salah satu indikator sehatnya demokrasi adalah ketika militer tetap profesional di barak, bukan di kursi empuk birokrasi. Saat militer mulai nyaman di ruang-ruang sipil, maka imajinasi demokrasi pelan-pelan surut, berganti aroma kekuasaan yang makin tak terkontrol. Dalam jurnal tersebut disebutkan, “The resurgence of military influence in civil affairs, no matter how subtle, always carries the seeds of authoritarianism” (Asia Pacific Defense Forum, 2022).

Namun, pemerintah bersikukuh bahwa semua ini demi efektivitas negara. Sebuah frasa yang sering dipakai untuk membungkam perdebatan: demi bangsa, demi negara. Padahal rakyat sudah hafal, apa pun yang dibungkus jargon nasionalisme sering kali berujung pada pengkhianatan atas cita-cita reformasi. Supremasi sipil pelan-pelan digembosi oleh dalih keamanan dan efektivitas, dua kata yang dulu juga sering diucapkan Orde Baru setiap kali hendak menggilas oposisi.

Maka dari itu, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah revisi ini benar-benar lahir dari kebutuhan zaman atau sekadar upaya sistematis mengembalikan masa lalu dengan baju baru? Jangan-jangan kita sedang membangun tembok otoritarianisme secara perlahan, bata demi bata, sementara rakyatnya dibiarkan sibuk debat soal isu receh di media sosial.

Jika bangsa ini lupa bahwa militer seharusnya berdiri di belakang rakyat, bukan di atasnya, maka tunggu saja, sejarah akan berulang, dengan gaya yang lebih canggih, lebih rapi, dan lebih sulit dilawan. Pada akhirnya, demokrasi bukan soal seberapa kuat negara bisa memukul, tapi seberapa jauh negara bisa mengontrol tangannya sendiri untuk tidak asal menghantam rakyatnya. Kita harus jujur bertanya, apakah revisi UU TNI ini adalah jalan menuju masa depan, atau lorong gelap menuju masa lalu yang kita sendiri pernah berjuang mati-matian untuk keluar darinya?

Ilusi Stabilitas

Dan seperti kata pepatah lama yang entah siapa penulisnya: "Jika militer lebih sering muncul di layar kaca ketimbang di medan tempur, maka waspadalah –negara sedang main api."

Tentu, karena sejarah bangsa ini memang punya kebiasaan buruk berputar di lingkaran yang sama, lalu pura-pura kaget ketika jatuh di lubang serupa. Seolah-olah kita memang ditakdirkan untuk belajar pelajaran yang itu-itu lagi, namun selalu lupa menghafalnya. Revisi UU TNI ini adalah contoh nyata betapa elite kita begitu mudah tergoda oleh ilusi stabilitas yang ditawarkan militer. Padahal stabilitas yang dipaksakan adalah ketenangan palsu, seperti danau tenang yang menyimpan arus berbahaya di dasar.

Bayangkan jika revisi ini dibiarkan bergulir tanpa kontrol. Apa yang menghalangi seorang jenderal aktif untuk mengatur kebijakan di kementerian ekonomi, atau bahkan ikut campur dalam peradilan? Siapa yang bisa menjamin bahwa logika militer yang serba komando tidak akan membunuh prinsip check and balance yang menjadi roh demokrasi? Lebih-lebih ketika jabatan itu melekat di institusi yang seharusnya independen, seperti Kejaksaan atau bahkan Mahkamah Agung. Bukan tak mungkin hukum berubah menjadi alat politik yang dikendalikan dari balik meja rapat yang isinya seragam semua—seragam militer, tentu saja.

Yang paling menyedihkan dari semua ini adalah sikap permisif masyarakat. Di tengah gempuran isu-isu remeh temeh di media sosial, publik lebih sibuk memperdebatkan tren skincare, perang fandom, dan urusan gosip selebritis. Sementara itu, aturan yang akan menentukan masa depan demokrasi bangsa ini disahkan diam-diam, tanpa gaduh, tanpa protes besar. Seolah-olah kita semua sudah lelah menjaga demokrasi, dan kini membiarkan siapapun yang lebih kuat merebutnya kembali.

Maka, jangan heran kalau suatu hari nanti kita terbangun dan mendapati negara ini sudah sepenuhnya dikendalikan oleh mereka yang bersenjata. Demokrasi tinggal papan nama di kantor-kantor pemerintahan, sementara isinya adalah wajah-wajah tua yang tak pernah pensiun. Kita menyebutnya modernisasi, padahal sejatinya ini adalah restorasi. Restorasi kekuasaan yang dulu pernah kita kubur dalam-dalam bersama runtuhnya rezim. Kini, nisan itu mulai dibongkar. Dan bangsa ini, seperti biasa, cuma menonton sambil menguap.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel menarik lain tentang RUU TNI

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//