Menyoal Kekerasan Seksual pada Anak dan Pentingnya Penanganan Multilevel di Perkotaan
Kasus kekerasan seksual pada anak terus berulang dengan intensitas mengkhawatirkan. Memerlukan pencegahan dengan perluasan intervensi dan pendekatan multilevel.

Rufaida Nurul Vicri
Peneliti dan pengamat isu sosial dan pembangunan
13 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Masih dalam semangat memperingati Hari Anak Nasional setiap 23 Juli, media sosial dibanjiri unggahan bertema “Anak Indonesia Generasi Emas 2045”. Namun, tak berselang lama dari unggahan-unggahan tersebut, saya disodori pemberitaan menyayat hati, seorang anak di bawah umur di Kota Bandung dilecehkan oleh guru mengajinya sendiri.
Kekerasan seksual terhadap anak, khususnya di wilayah perkotaan, terus berulang dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, sangat rentan menjadi korban pelecehan verbal dan fisik, pencabulan, hingga rudapaksa. Yang paling menyayat nurani, studi dari Noviana (2015) menunjukkan tren kekerasan seksual yang sebagian besar pelakunya justru berasal dari lingkaran terdekat: keluarga, tetangga, bahkan tokoh yang dipercaya seperti guru, aparat hukum, atau pemuka agama. Rumah, sekolah, dan lembaga yang seharusnya menjadi ruang aman, justru menjadi malapetaka.
Menurut data KemenPPPA (2024), tren kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat selama lima tahun terakhir. Pada 2023, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus kekerasan terhadap anak tertinggi, mencapai 1.696 kasus dan 1.981 korban. Di tahun yang sama, Kota Bandung sendiri mencatat 303 kasus kekerasan terhadap anak, dan baru 192 kasus yang sedang atau telah ditangani menurut data terbaru dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) (2024). Kenyataan ini kemungkinan hanyalah puncak dari gunung es, mengingat masih kuatnya tabu dan stigma terhadap isu ini yang mencegah pelaporan dari korban. Banyak juga yang enggan melapor karena takut terhadap ancaman pelaku yang pada akhirnya membuat mereka powerless.
Peningkatan kasus ini menandakan bahwa masalah yang kita hadapi bukan semata gangguan individu atau hasrat bejat pelaku, tetapi juga menunjukkan kegagalan struktural. Noviana (2015) menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari latar belakang mana pun dan tidak terbatas pada satu jenis karakteristik. Artinya, akar permasalahan yang perlu diintervensi tidak bisa dengan cara mencegah pelaku penjahat dan pedofilia yang kadang tidak dapat terdeteksi dan dapat berbuat kapan dan di mana saja.
Lantas, persoalan di level apa yang sebenarnya perlu ditangani? Dari level rumah tangga yang tidak mampu memberikan perlindungan? Institusi pendidikan seperti sekolah yang tidak dapat menjadi tempat berlindung kedua bagi anak? Atau lebih luas lagi, akibat lemahnya sistem perlindungan anak, penegakkan hukum, dan implementasi kebijakan?
Baca Juga: Anak-anak Indonesia Rentan Menjadi Korban Kekerasan dan Eksploitasi Seksual di Ranah Daring, Perlu Dilakukan Intervensi Menyeluruh
Memahami Hak Kesehatan Seksualitas dan Reproduksi sebagai Jalan Mengurangi Kasus Kekerasan Seksual
Menghapus Mitos-mitos Kekerasan Seksual yang Menghambat Kesetaraan Gender
Budaya Patriarki Masih Jadi Tantangan
Sejumlah regulasi sebenarnya telah tersedia. KUHP, UU Perlindungan Anak, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah mengatur sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual. Tak hanya itu, disinyalir dari Hukum Online, tindakan kekerasan seksual juga dapat dikenakan pasal berlapis sebagaimana diatur dalam KUHP, UU Perlindungan Anak, serta UU TPKS. Di tingkat lokal, Kota Bandung telah memiliki Perda No. 4/2019 dan Perwali No. 20/2024 tentang penanganan kekerasan terhadap anak, serta membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Layanan UPTD PPA pun sudah cukup lengkap –dari pelaporan, konseling, mediasi, pendampingan korban, rumah aman, hingga program edukasi untuk remaja.
Terlepas dari adanya ketentuan hukum, institusi, dan program-program perlindungan anak, mengapa kasus kekerasan seksual tetap meningkat? Secara umum, bisa dibilang bahwa lemahnya penegakkan hukum, implementasi kebijakan, dan kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai penanganan kekerasan seksual pada anak adalah salah satu masalah utama. Banyak kasus terjadi di mana keluarga pelaku atau bahkan aparat penegak hukum justru memaksa korban untuk menempuh jalur damai melalui pernikahan yang justru akan semakin memperparah trauma dan menghancurkan masa depan korban. Dengan demikian, penegakkan hukum dan resolusi yang masih sarat akan nilai dan budaya patriarki merupakan tantangan besar.
Hukuman bagi pelaku pun kurang memberikan efek jera. Perppu No. 1 Tahun 2016 memang menetapkan hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda hingga Rp5 miliar. Namun, banyak masyarakat yang menilai hukuman ini belum cukup berat. Muncul polemik di kalangan masyarakat tentang bobot sanksi yang terlalu lemah dan perlunya hukuman mati, terutama bagi pelaku rudapaksa. Kendati kerap menuai kontroversi karena tidak sesuai dengan prinsip dan norma HAM, seharusnya Pasal 81 ayat (5), (7), dan (8) Perppu 1/2016 seperti pidana mati, penjara seumur hidup, hukuman pemberian kebiri kimia, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dalam kasus rudapaksa berat dan berlapis dapat dipertimbangkan sesuai asas perundang-undangan yang berlaku dan kajian yang mendalam.
Selain pada penegakan hukum, akar persoalan lainnya adalah minimnya kapasitas dan literasi keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan dalam mengenali dan menangani kekerasan seksual. Banyak orang tua yang belum mengetahui tentang bahaya kekerasan seksual, pola komunikasi dengan anak mereka untuk pencegahan kasus pelecehan atau kekerasan seksual, serta langkah yang harus mereka lakukan untuk merespons kasus yang terjadi pada anaknya. Orang tua atau wali seharusnya dapat menjadi level pendidikan pertama bagi anak terkait pengetahuan umum soal reproduksi, bagaimana berhubungan dengan orang asing atau dan keluarga sendiri, serta mengajarkan mereka untuk tahu apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan atau disentuh oleh orang lain.
Oleh karena itu, perlu ada pendekatan multilevel di mana, tatkala keluarga tidak dapat memberikan rasa aman pada anak atau justru menjadi pelaku, perluasan intervensi harus dilakukan di level sekolah dan komunitas masyarakat. Institusi-institusi inilah yang biasanya terlibat langsung dalam perlindungan anak dan berperan penting sebagai pelapor dan pelopor yang aktif di lapangan sebagai first responders dan perlu diberdayakan.
Solusi yang Menyentuh Semua Level
Membahas isu kekerasan seksual pada anak jelas tidak bisa tuntas dalam satu tulisan saja. Namun, opini publik yang terbentuk dari diskusi seperti ini dapat mendorong langkah konkret dalam membangun sistem perlindungan anak yang lebih kokoh. Solusi harus menyentuh semua level –mikro (keluarga), meso (komunitas dan institusi), hingga makro (kebijakan dan sistem hukum)– dan melibatkan semua pihak: anak-anak, pemuda, masyarakat sipil, akademisi, dan pemerintah.
Perencanaan kota harus lebih berpihak pada anak. Ruang publik ramah anak harus dikembangkan dengan serius. Di level makro, penegakan hukum harus dijalankan dengan tegas dan menimbulkan efek jera dengan pendekatan berlapis yang mengacu pada KUHP, UU Perlindungan Anak, dan UU TPKS. Investasi untuk program-program pemerintah kota maupun komunitas akar rumput yang mendukung psychosocial support dan trauma healing, perlindungan anak, serta advokasi dan penyuluhan terkait pencegahan kekerasan seksual pada anak perlu ditingkatkan melalui komitmen pemerintah dan kolaborasi multipihak. Di level meso, masyarakat pun dapat berperan aktif dengan menyuarakan kasus melalui media massa dan media sosial, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus. Selain itu, program-program di level mikro seperti di lembaga pendidikan dan komunitas akar rumput perlu diberdayakan seperti pengembangan kurikulum dan pembentukkan tim anti kekerasan seksual di level sekolah dan kelurahan.
Pada akhirnya, selama hak anak-anak untuk merasa aman di lingkungan tempat mereka berkembang belum terpenuhi, saya skeptis akan cita-cita membangun “Generasi Emas 2045”. Kota Bandung, dan tentunya kota-kota lain di Indonesia, perlu menunjukkan peningkatan kesadaran dan political commitment terhadap isu kekerasan seksual pada anak guna menciptakan kota ramah anak dan generasi emas. Pendekatan multilevel dari mulai institusi yang paling kecil di level keluarga, tetangga, sekolah, masyarakat umum, akademik, sampai level pemerintah dan kebijakan perlu dilakukan dengan menetapkan perlindungan anak sebagai PR utama.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB