Cerita Demonstran Bandung tentang Kekerasan Aparat: Kepala Saya Digunduli, Saya Dijauhi dan Dilabeli
“Revisi KUHAP yang sekarang berpotensi besar membatasi kebebasan berekspresi, memperlemah pengawasan terhadap aparat, dan mengabaikan perlindungan hak asasi.”
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah15 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Ketika kekacauan pecah dalam unjuk rasa peringatan Hari Buruh (May Day) pada 1 Mei 2019, di Bandung, Andri, bukan nama sebenarnya, terjebak di tengah kerumunan. Massa buruh berlarian, ia juga. Namun tiba-tiba dari arah belakang, dua orang pria berpakaian hitam, diduga aparat tanpa seragam, menangkapnya.
“Badannya besar, dan tanpa banyak bicara mereka langsung ‘ngegep’ saya. Saya dipaksa berhenti, disuruh buka baju, lalu dihujani kata-kata kasar,” ujar Andri kepada BandungBergerak, Sabtu, 9 Agustus 2025.
Bersama massa aksi lain yang tertangkap, Andri digiring menuju arah Gedung Sate di Jalan Diponegoro. Ia sempat menanyakan alasan penangkapannya. Petugas polisi, seingat Andri, bilang: ‘Pelajar nggak boleh ikut aksi ini, ini khusus buruh’.
“Dalam hati saya bertanya-tanya, emang salah kalau pelajar menyuarakan aspirasi? Kalau orang tua saya tidak bisa bersuara, bukankah saya bisa mewakili?” kata Andri.
Andri memang bukan buruh. Namun ia merasa berhak turun ke jalan mewakili harapan dan tuntutan orang tuanya yang berprofesi buruh.
Dari kawasan Gedung Sate, Andri dipaksa masuk ke mobil polisi dan dibawa ke Mako Brimob Jatinangor di Jalan Sayang. Ia ingat betul tidak pernah ditunjukkan surat perintah penangkapan. Ponselnya diperiksa dan ia tidak diberi kesempatan menghubungi siapa pun. “Kepala saya digunduli di sana,” ujarnya.
Berita penangkapan Andri cepat menyebar. Stigma pun langsung menempel. Di mata banyak orang, termasuk di lingkungan sekolah, kepala botak berarti kriminal, perusuh, atau pelaku vandalisme. “Saya dijauhi dan dilabeli,” ucapnya.
Yang paling membekas di ingatan Andri bukan saja perlakuan sewenang-wenang pada dirinya. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana massa aksi yang ditangkap dipukuli dan ditendang, bahkan diteriaki ancaman tembak dengan kata-kata kasar. Berkali-kali: “Ku aing tembak sia, anjing!”
Secara fisik Andri hanya mengalami kekerasan di Gedung Sate saat penangkapan. Akan tetapi secara mental, dampaknya panjang. Ia bukan cuma takut saat melihat aparat, melainkan terluka karena dicap sebagai perusuh di lingkungan sendiri.
Selain Andri, Rehza jurnalis Trimurti.id juga mengalami kekerasan dan penyiksaan oleh polisi saat aksi May Day 2019. Ia diboyong oleh aparat ke arah Taman Panatayudha. Di sana sang jurnalis dipukul di wajah, ditendang di bagian punggung, dan dilucuti bajunya. Tubuhnya dicoret cat semprot (pylox).
Rehza sudah memberitahu polisi bahwa ia jurnalis, tapi kartu pers tidak bisa ia tunjukkan karena tasnya terjatuh saat kericuhan. Ia dibawa ke Polrestabes Bandung, dijemur, diperiksa, serta digunduli kepalanya. Permintaan untuk didampingi pengacara pun diabaikan.
Rehza baru bisa keluar setelah tim advokasi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung mengonfirmasi polisi. Namun kameranya tak selamat dan dinyatakan hilang setelah sebelumnya disita polisi.
Gelombang Aksi, Gelombang Represi
Gelombang protes jalanan di Bandung kerap diwarnai intimidasi, pembubaran paksa, serta kekerasan. Selain aksi May Day 2019, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mencatat bahwa unjuk rasa menolak Omnibus Law atau Undang-undang Cipta Kerja yang berlangsung pada 6-7 Oktober 2020 juga diwarnai tindak kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap para demonstran. Bentuk kekerasan aparat bervariasi, mulai dari sweeping, penghalangan kebebasan berpendapat, intimidasi verbal, pengejaran, penggunaan kekuatan secara berlebihan, perampasan barang pribadi, penangkapan sewenang-wenang, hingga perlakuan buruk merendahkan martabat manusia terhadap korban yang ditangkap.
Selain demonstran, petugas kemanusiaan atau relawan medis di lapangan juga turut menjadi korban tindak represif aparat. Menurut catatan LBH Bandung, terdapat 189 orang mengalami luka-luka dalam aksi menolak Omnobus Law. Catatan lainnya, polisi disebut telah melakukan penghalangan terhadap akses bantuan hukum kepada massa yang tertangkap.
Tindakan represif aparat kembali terjadi saat massa berunjuk rasa memprotes RKUHP 2023. Edi, bukan nama sebenarnya, merupakan salah satu mahasiswa peserta aksi yang mengalami tindak intimidasi verbal dan fisik. Ketika itu ia sedang membantu kawannya yang memarkir motor di Gedung DPRD Jawa Barat.
“Setibanya kami di lokasi, sekitar enam orang menghadang dan langsung menyeret kami masuk ke dalam gedung DPRD Jawa Barat,” kata Edi, kepada BandungBergerak, Senin, 11 Agustus 2025.
Edi mengalami trauma atas kejadian tersebut. Ia merasa takut setiap kali bertemu orang-orang serta menjadi cemas ketika mengikuti aksi unjuk rasa.
Represi aparat berlanjut saat massa turun ke jalan memprotes RUU TNI, Jumat, 21 Maret 2025. Data lapangan mencatat sebanyak 25 orang terluka akibat gas air mata, luka bakar, dan sesak napas. Korps Sukarela (KSR) Unpas melaporkan, beberapa korban harus dirujuk ke rumah sakit.
Matahari, bukan nama sebenarnya, menyaksikan langsung bagaimana aparat bertindak represif di lapangan. Kejadian yang meninggalkan trauma sampai sekarang.
“Aku marah karena melihat orang disobekin celananya oleh aparat tanpa seragam. Mereka ditonjokin, dan banyak juga korban salah tangkap. Ada juga anak-anak yang mengalami kekekersan dan dibiarkan lukanya,” tutur Matahari kepada BandungBergerak, Rabu, 13 Agustus 2025.
Kekerasan juga merembet pada warga bukan peserta aksi penolakan RUU TNI. Irfan, pelajar yang sedang nongkrong di Taman Radio, menjadi sasaran pemukulan massa tak dikenal. Padahal ia sudah menjelaskan bahwa ia bukan bagian dari aksi. Ia mengalami pukulan berkali-kali di punggung serta tendangan keras di perut sebelum mendapatkan pertolongan medis.
Peristiwa-peristiwa kekerasan aparat membentuk memori kolektif di Bandung. Aksi massa berulang kali mengalami tindak pelanggaran prosedur hukum dengan pola represif yang tak berubah.
BandungBergerak mencoba menghubungi Kabid Humas Polda Jabar Kombes Hendra Rochmawan melalui pesan singkat WhatApps mengenai prosedur penangkapan demonstran di Bandung berdasarkan SOP kepolisian, Kamis, 14 Agustus 2025. Namun hingga berita ini diturunkan, upaya kami belum mendapatkan balasan.
Sebelum May Day di Bandung, Polda Jabar sempat menyampaikan imbauan agar peringatan Hari Buruh berlangsung damai dan tertib. Sementara dalam mengawal demonstrasi, Polda Jabar menerapkan strategi cooling system.
Hendra Rochmawan menjelaskan, pendekatan humanis dan persuasif terus dilakukan melalui komunikasi aktif dengan serikat buruh dan pihak terkait untuk mencegah gesekan atau tindakan provokatif yang dapat menganggu ketertiban umum.
“Kami mendorong agar peringatan Hari Buruh dijadikan momentum positif, bukan ajang konfrontasi. Melalui cooling system, kami memperkuat dialog dan silaturahmi untuk menciptakan suasana aman dan nyaman,” ujar Hendra, dalam keterangan resmi, Selasa, 29 April 2025.
Baca Juga: Membedah Pasal-pasal Bermasalah RKUHAP yang Dibahas secara Ugal-ugalan
YLBHI dan LBH Seluruh Indonesia: Revisi KUHAP Dibahas Kilat, tidak Sejalan dengan Konstitusi dan Penegakan HAM

Harus Mementingkan Hak Asasi Manusia
Dalam kurun tahun 2019–2025, Bandung tidak pernah sepi dari gelombang protes terhadap kebijakan yang dinilai merugikan rakyat. Mulai dari peringatan Hari Buruh, Reformasi Dikorupsi, penolakan Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, RUU Pilkada, hingga RUU TNI. Dalam setiap momentum itu, pola penanganan aparat cenderung berulang: penangkapan tanpa prosedur jelas, kekerasan yang menimbulkan luka fisik maupun psikologis, minim pendampingan hukum, serta stigma terhadap demonstran sebagai perusuh.
Kekhawatiran bahwa pola ini akan semakin menguat muncul seiring pembahasan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai minim partisipasi publik. Undang-undang ini akan menjadi dasar hukum beracara bagi KUHP yang disahkan pada 2023 dan berlaku mulai awal 2026. Masyarakat sipil menilai RKUHAP berpotensi memperluas wewenang aparat hukum dan mengabadikan pelanggaran prosedural yang sudah sering terjadi di lapangan sebagaimana ditemui di Bandung dalam enam tahun terakhir.
Andi Daffa Patiroi dari LBH Bandung menegaskan bahwa penangkapan acak terhadap demonstran tanpa prosedur transparan bukan hal baru. Ia mempertanyakan sejauh mana aparat menghormati asas hukum pidana yang melindungi warga dari penahanan sewenang-wenang. Daffa berharap RKUHAP bisa melampaui KUHAP lama yang lahir pada 1981, masa ketika prinsip hak asasi manusia (HAM) belum terakomodasi memadai.
Menurut Daffa, perlindungan HAM harus menjadi pijakan utama dalam seluruh tahapan proses hukum, dari penyelidikan, penangkapan, penahanan, hingga persidangan. “RKUHAP mestinya menutup praktik sewenang-wenang penegakan hukum seperti seperti yang sering terjadi selama ini,” katanya.
Senada dengan itu, Deti Sopandi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jawa Barat menyoroti bagaimana pola kriminalisasi terhadap massa aksi tak pernah berubah. Mulai dari sweeping sebelum aksi, pembubaran paksa, kekerasan fisik, penangkapan tanpa prosedur, hingga penghalangan bantuan hukum. Penangkapan kerap dilakukan tanpa alasan atau tuduhan yang jelas, bahkan terhadap warga yang bukan peserta aksi.
Deti menggarisbawahi praktik penyiksaan, penggundulan, dan penelanjangan yang merendahkan martabat manusia. Ia menilai banyak surat penangkapan baru dibuat setelah penangkapan berlangsung.
“Banyak kasus surat penangkapan menyusul, yang jelas keliru. Bahkan sebelum revisi KUHAP pun banyak aturan yang diabaikan,” ujarnya, Senin, 11 Agustus 2025.
Deti menilai RKUHAP yang saat ini dibahas DPR dan pemerintah justru membuka celah pelanggaran HAM, termasuk penangkapan paksa di tahap penyelidikan tanpa izin pengadilan. Menurutnya, hal ini keliru karena penyelidikan hanya bertujuan menentukan ada atau tidaknya tindak pidana. Revisi KUHAP dikhawatirkan berpotensi akan melegitimasi tindakan pelanggaran HAM yang selama ini sudah terjadi.
“(Untuk memulai) Strategi melindungi hak-hak demonstran, idealnya yang berbenah adalah negara dan aparat, khususnya kepolisian. Reformasi sektor kepolisian harus terus didorong. Dari sisi masyarakat, bisa melawan lewat komplain, laporan ke Propam, dan kampanye publik,” ujarnya.
Konstitusi Mini yang Direvisi Minim Partisipasi
Peneliti hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iqbal Nurfahmi mengibaratkan KUHAP sebagai prosedur wasit dalam pertandingan sepak bola. “Wasit nggak boleh memutuskan berdasarkan feeling. Begitu juga aparat penegak hukum, mereka wajib mengikuti prosedur objektif yang sudah diatur di KUHAP,” ujarnya, Rabu, 14 Agustus 2025.
Iqbal menjelaskan, KUHAP merupakan jaringan pengaman yang membatasi kewenangan aparat supaya tidak bertindak sewenang-wenang. Menurutnya, aturan formil ini sering juga disebut sebagai konstitusi mini yang mengatur hak-hak warga negara saat berhadapan dengan hukum.
Namun praktik di lapangan jauh dari ideal, karena penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan kerap dilakukan secara subjektif tanpa pengawasan memadai. Hal ini memicu salah tangkap dan penyiksaan.
Iqbal mengingatkan pembatasan hak hanya sah bila dilakukan secara legal, proporsional, dan sesuai prosedur (due process of law). Revisi KUHAP 2025 dinilai bermasalah karena dibahas secara tertutup, minim partisipasi publik, dan drafnya tidak dipublikasikan resmi.
Revisi pernah diwacanakan pada 2012 dengan muatan penguatan pengawasan, seperti syarat izin pengadilan untuk upaya paksa dan batas penahanan maksimal dua hari sebelum sidang. Namun draf itu dihapus dan dilemahkan. Menurut Iqbal, revisi 2025 tidak berbeda jauh dari KUHAP 1981, hanya menambah fitur baru seperti pemblokiran yang juga termasuk upaya paksa.
“Bedanya, dulu masih ada semangat membangun pengawasan, sekarang semangatnya justru mengunci kewenangan di aparat,” ujarnya.
Iqbal mencontohkan minimnya pengawasan dalam kasus penangkapan 13 orang pada aksi May Day Jakarta tanpa surat perintah atau prosedur sah. Hak-hak para tersangka diabaikan sejak awal, tanpa pemeriksaan independen.
“Revisi KUHAP yang sekarang berpotensi besar membatasi kebebasan berekspresi, memperlemah pengawasan terhadap aparat, dan mengabaikan perlindungan hak asasi,” jelasnya.

KUHAP Tandingan Masyarakat Sipil
Pembahasan RUU KUHAP oleh Komisi III DPR RI mendapat sorotan Koalisi Masyarakat Sipil karena dinilai terburu-buru dan minim partisipasi. DPR di tingkat Panitia Kerja menerima 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah, terdiri dari 295 DIM redaksional, 68 DIM diubah, 91 DIM dihapus, dan 121 DIM substansi baru.
“Kami dari tim sekretariat sudah membuat satu klaster yang terdiri dari pasal-pasal yang menurut kami perlu lebih dahulu disahkan karena ini jantungnya. Kalau ini selesai, kerja berikutnya lebih gampang,” kata Habiburokhman dikutip dari laman resmi.
Revisi KUHAP berisi 334 pasal dengan sepuluh pembaruan, termasuk penyesuaian KUHP baru yang diklaim berorientasi restoratif, perlindungan kelompok rentan, dan penguatan prinsip HAM. DPR menganggap revisi ini mendesak karena KUHAP belum pernah direvisi sejak 1981. Laporan Komnas HAM mencatat 73 persen pelanggaran HAM di sektor peradilan berakar pada proses hukum yang tidak transparan dan akuntabel.
Namun Koalisi Masyarakat Sipil menilai RKUHAP 2025 lebih buruk dari draf 2012 dan partisipasi publik yang diklaim justru bersifat manipulatif.
“Kami juga menilai bahwa model partisipasi publik yang sedang terjadi sangat jauh dari pengertian dasar meaningful participation. Sebaliknya, Komisi III DPR RI dan Pemerintah justru melakukan meaningful manipulation,” kata Koalisi sebagaimana dikutip dari laman resmi.
Koalisi mengkritik sejumlah pasal, mulai dari aturan upaya paksa yang kabur, restorative justice yang disalahartikan, hingga peran advokat yang tetap terbatas. Mereka menilai pendekatan ini mengulang pola legislasi bermasalah seperti pada revisi UU KPK. Sebagai tandingan, Koalisi menyusun Draf RUU KUHAP alternatif yang menekankan due process of law dan perlindungan HAM.
“Draf Tandingan RUU KUHAP ini disusun secara kolektif dan akan terus dikembangkan oleh lembaga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Selain itu, kami juga terus menyerukan agar pembahasan RUU KUHAP pada masa sidang saat ini dilakukan secara mendalam dan substansial, tidak terburu-buru, cermat dan menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna,” jelas Koalisi.
***
*Liputan ini merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak dengan Amnesty International Indonesia