• Kolom
  • CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #7: Harian KAMI, Suara Mahasiswa yang Mengguncang Orde Lama dan Orde Baru

CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #7: Harian KAMI, Suara Mahasiswa yang Mengguncang Orde Lama dan Orde Baru

Harian KAMI bukan sekadar surat kabar. Ia adalah catatan sejarah tentang bagaimana pena mahasiswa pernah mengguncang kekuasaan dan mengubah arah perjalanan bangsa.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Halaman muka Harian KAMI yang banyak menyoroti demonstrasi mahasiswa. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

16 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Ketika arus politik Indonesia dilanda gejolak pasca peristiwa 30 September 1965, sebuah koran mahasiswa bernama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menjelma menjadi salah satu motor penggerak opini publik. Terbit pertama kali pada 15 Oktober 1965 di Jakarta, Harian KAMI bukan sekadar media berita, melainkan corong perjuangan generasi muda yang menuntut perubahan radikal terhadap kepemimpinan Orde Lama.

Dengan bahasa yang lugas, tajam, dan tanpa kompromi, koran ini membangkitkan kesadaran politik mahasiswa sekaligus menekan pemerintah agar memenuhi tuntutan mereka. Peristiwa G30S bukan hanya mengguncang kehidupan politik, tetapi juga memunculkan tuntutan keras agar Presiden Sukarno segera bertindak tegas. Namun penyelesaian yang diharapkan tak kunjung datang. Situasi ekonomi memburuk, harga melambung, dan kesabaran rakyat makin menipis.

Dalam pusaran krisis ini, mahasiswa tampil di garis depan. Mereka menjadi simbol harapan masyarakat yang haus akan keadilan. Tekanan moral dan politik diwujudkan lewat aksi-aksi jalanan yang menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massanya, serta perbaikan ekonomi nasional.

Pojok Redaksi  Kerikil Tajam di Harian KAMI yang banyak mengkritisi pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Pojok Redaksi Kerikil Tajam di Harian KAMI yang banyak mengkritisi pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #4: Menengok Wajah Harian Mandala, Saksi Bisu Sejarah Pers Jawa Barat
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #5: Harian Nusantara, dari Milik Kolonial Menjadi Koran Nasional
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #6: El Bahar, Perlawanan Sunyi terhadap Orde Baru

Harian KAMI dari Orde Lama ke Orde Baru

Pada 25 Oktober 1965, terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), wadah yang menyatukan berbagai kelompok mahasiswa dari seluruh Indonesia. KAMI sadar bahwa perjuangan politik tak cukup hanya di jalanan mereka membutuhkan senjata lain yaitu pers.

Tanggal 17 Juni 1966, KAMI meluncurkan Harian KAMI, sebuah surat kabar nasional. Meski menyebut diri “koran mahasiswa”, isinya jauh dari sekadar buletin kampus. Dikelola oleh anak-anak muda yang tajam membaca situasi, Harian KAMI cepat menjelma menjadi media paling lantang mengkritik kekuasaan Orde Lama.

Jargon tuntutan mahasiswa kala itu adalah Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Yakni bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), perombakan kabinet Dwikora, serta turunkan harga pangan.

Harian KAMI berdiri sebaris dengan Angkatan Darat dalam menentang sistem Demokrasi Terpimpin yang dinilai menguntungkan PKI.

PKI menjadi sasaran kritik utama. Setiap langkah politik partai tersebut dibedah dan dikecam. Tokoh-tokoh seperti D. N. Aidit dan Subandrio sering disorot tajam. Sukarno pun tak luput dari kritik karena dianggap melindungi PKI dan mempertahankan Demokrasi Terpimpin.

Bahkan faksi PNI yang bersimpati pada PKI, PNI Ali-Surachman, yang dijuluki mahasiswa sebagai “PNI ASU” ikut menjadi target.

Nama-nama seperti Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, Cosmas Batubara, Emil Salim, Mar'ie Muhammad, Anis Ibrahim, dan Eka M. Jamaan menjadi figur penting di balik pergerakan dan pemberitaan Harian KAMI.

Bersama gerakan mahasiswa 1966, Harian KAMI mengawal runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru. Namun, pergantian rezim tak membuatnya jinak. Koran ini tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah, termasuk pada era awal kekuasaan Presiden Soeharto.

Wajah Harian KAMI surat kabar yang turut menumbangkan Orde Lama. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Wajah Harian KAMI surat kabar yang turut menumbangkan Orde Lama. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Harian KAMI Edisi 26 Desember 1973

Harian KAMI edisi Rabu, 26 Desember 1973, menampilkan laporan aksi-aksi mahasiswa di berbagai kota.

Unjuk Rasa 12 Dewan Mahasiswa  di Bina Graha Jakarta

Gedung Bina Graha, Sekretariat Negara, dan Istana Cendana di Jakarta didatangi lebih kurang 100 orang mahasiswa dari 12 Dewan Mahasiswa Jakarta, Bogor dan Bandung, guna bertemu dengan Presiden Suharto untuk berdialog tentang situasi dewasa ini. Dua belas Dewan Mahasiswa itu berasal dari kampus UI, ITB, IPB, Universitas Muhammadiyah, IKIP Muhammadiyah, Universitas Atmajaya, Universitas Trisakti, Universitas Jayabaya, STO, UKI, Universitas Padjadjaran, dan STTN.

Mulanya tidak dikira delegasi itu cukup besar. Mereka menerobos petugas-petugas keamanan yang menjaga pintu halaman Bina Graha, kemudian tertahan di muka pintu gedung megah itu. Dalam desak mendesak, terjadi tawar menawar. Akhirnya hanya 12 orang Ketua Dewan Mahaiswa saja yang diterima, sedang selebihnya menunggu di luar.

Tetapi tak lama, mereka merasa tidak puas hanya bertemu dengan Staf Bina Graha, dan keluar sambil meneriakkan, “Ini bukan kantor Presiden, tapi kantor Sekdalobang". Para mahasiswa tersebut kemudian berjalan kaki dengan menyanyikan lagu "Padamu Negeri" menuju Sekretariat Kabinet/Negara melanjutkan berdemonstrasi.

Unjuk Rasa Mahasiswa UI di Bank Indonesia Jakarta

Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang berasal dari berbagai fakultas di kampus tersebut menyatroni gedung Bank Indonesia (BI) di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Niatnya, mengajukan delapan pertanyaan yang sudah disiapkan pada Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh.

Dalam gerakan satu setengah jam di gedung BI itu, mereka hanya diterima Direktur BI Brigjen Durmawel Achmad SH karena Rachmat Saleh tidak berada di tempat. Ada dua puluh lima mahasiswa yang mendatangi dan menyiapkan 8 pertanyaan terkait perekonomian nasional, kebijakan kredit, dan pemerataan ekonomi.  Tidak satu pun pertanyaan terjawab oleh perwakilan Bank Sentral.

Delapan pertanyaan disiapkan yakni:  (1) Apakah betul kredit yang diberikan selama ini 80  persen jatuh ke tangan non pribumi? (2) Aраkah betul usaha Bank Indonesia dalam memberikan kredit sesuai dengan peraturan yang ada; (3) Apakah betul ada non pribumi yang memakai backing dalam meminta kredit; (4) Sejauh mana arah kredit itu menguntungkan rakyat; (5) Sejauh mana kredit itu menguntungkan pembangunan daerah secara merata; (6) Apakah hasil Tabanas/Taska sudah

diarahkan kepada kepentingan rakyat kecil; (7) Sejauh mana PT Bahana dan PT Askrindo membantu golongan ekonomi lemah; serta (8) Kebijaksanaan apa yang telah diambil agar bank-bank asing mengemban ekonomi rakyat Indonesia.

Unjuk Rasa Mahasiswa di Gedung DPR Jakarta

Sebanyak delapan orang delegasi mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang dipimpin oleh Ketua Umum DM-IPB Malian Akhmad menemui pimpinan DPR. Sambil membawa poster -poster yang bertuliskan "Ini DPR seleksi atau kompetisi", "Тоlak Kepemimpin Baru, Ini Baru Pola", "Kekuasaan dan Tanggungjawab bukan datang dari langit". Delegasi mahasiswa IPB tersebut mempertanyakan mandeknya peran DPR sebagai badan kontrol pemerintah.

Di pertemuan tersebut, Wakil Ketua DPR-RI Drs. Sumiskum mengakui bahwa DPR hasil Pemilu sekarang ini belum pernah melaksanakan hak angket dan mengajukan usul inisiatif pembentukan suatu undang-undang. Sumiskum juga mengakui ketidakpuasannya terhadap keadaan Indonesia sekarang, dan setuju dengan pernyataan DM-IPB yang menyerukan perbaikan mental dalam ketiga lembaga tertinggi di Republik Indonesia.

Unjuk Rasa Mahasiswa di Surabaya

Tidak hanya di Jakarta, Bandung, Bogor, dan Yogyakarta, tetapi Surabaya juga mulai dilanda keresahan. Sekelompok mahasiswa yang berisi 8 orang secara spontan dan tidak

mewakili golongan masyarakat mana pun mendatangi kantor-kantor partai politik. Yakni kantor Partai Demokrasi Indonesia, Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan. Sekelompok mahasiswa tersebut juga berencana mendatangi DPRD Jawa Timur.

Dalam memorandum "Cetusan Keresahan Akhir Tahun" mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap beberapa persoalan, antara lain menyangkut pendidikan yang semestinya menanamkan nasionalisme, rasa Indonesia  yang besar, yang ternyata selama ini diterlantarkan. Di lain pihak menilai pembangunan hotel-hotel yang megah, pembangunan kasino, diutamakan pemerintah. Menyangkut kesempatan kerja yang sukar didapat dan upah yang sesuai dengan kemahiran dan pendidikan mereka.

Di halaman yang sama, Harian KAMI juga memuat kabar pembebasan aktivis Julius Usman, Butje Rumamuri, dan Toto Surowijono, yang ditahan usai memprotes kebijakan kredit asing.

Julius Usman, Butje Rumamuri, dan Toto Surowijono telah dibebaskan hari Selasa sore oleh pihak kepolisian. Sebelumnya mereka telah ditahan sejak Minggu malam yang lalu, setelah melancarkan demonstrasi ke Gedung Bappenas menentang kredit asing.

Menurut keterangan yang diperoleh Harian KAMI, mereka dibebaskan karena pihak kepolisian enggan mengambil risiko menahan mereka lebih dari 2x24 jam tanpa surat penahanan.

Penulis memegang Harian KAMI terbitan 52  tahun silam. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Penulis memegang Harian KAMI terbitan 52 tahun silam. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Prahara Malari dan Bredel

Konsistensi Harian KAMI terbukti pada Januari 1974, ketika mereka ikut mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru yang dinilai terlalu membuka pintu bagi modal asing. Ketegangan memuncak dalam peristiwa yang dikenal kemudian sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari). Pemerintah bereaksi keras, sejumlah media dibredel, termasuk Harian KAMI.

Terbitan terakhirnya, 21 Januari 1974, menandai berakhirnya satu babak sejarah pers mahasiswa Indonesia.

Harian KAMI bukan sekadar surat kabar. Ia adalah catatan sejarah tentang bagaimana pena mahasiswa pernah menjadi senjata tajam yang mengguncang kekuasaan dan mengubah arah perjalanan bangsa.

Meski telah tiada, semangatnya sebagai pembela keadilan dan suara kritis mahasiswa tetap hidup dalam ingatan publik menjadi pengingat bahwa pers bisa menjadi penggerak perubahan.

Jejak Harian KAMI menjadi bukti bahwa media mahasiswa mampu menjadi kekuatan politik yang nyata, bahkan dalam pusaran sejarah yang penuh risiko. Meski usianya tidak panjang, peranannya dalam mendorong lahirnya Orde Baru dan menjatuhkan Orde Lama tercatat sebagai salah satu episode penting dalam sejarah pers Indonesia. Di balik lembar-lembar koran yang kini menguning, tersimpan suara lantang para pemuda yang pernah mengguncang negeri, membuktikan bahwa kata-kata jika diucapkan dengan keberanian dapat mengubah arah perjalanan bangsa.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//