• Opini
  • Sudah 80 Tahun Merdeka, Rasa Kebangsaan Kita Masih Saja Retak

Sudah 80 Tahun Merdeka, Rasa Kebangsaan Kita Masih Saja Retak

Kekerasan yang terjadi di Sukabumi dan Padang bukan sekadar konflik agama. Mengisyaratkan rapuhnya persatuan kita dalam satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.

Andreas Doweng Bolo

Ketua Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Katolik Parahyangan, bisa dihubungi via email [email protected]

Warga memberi hormat pada bendera merah putih berukuran 3x76 meter dalam peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Selasa (17/08/2021) siang, di bantaran sungai Cikijing, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Upacara bendera digagas oleh Unit SAR Kota Bandung bersama Pramuka Kwartir Ranting Kecamatan Rancaekek dan komunitas Passer. (Foto: Saman Doye/BandungBergerak.id)

17 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Kekerasan yang terjadi baik di di Cidahu Sukabumi 27 Juni 2025 dan kemudian terjadi lagi tepat sebulan kemudian di Padang Sarai Kota Padang 27 Juli 2025 membuka ruang pemeriksaan terhadap jati diri kita sebagai bangsa.  Dua kejadian kekerasan jelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia mengindikasikan masih cukup banyak ikatan kebangsaan yang perlu dimengerti, dilaksanakan dalam praktik kehidupan, dan direfleksikan dalam satu nusa, satu bangsa. Ada begitu banyak ikatan-ikatan yang renggang, rasa persatuan yang menjadi basis hidup bersama sekarang sekadar retorika tanpa basis tindakan yang utuh.

Bila rasa persatuan rapuh dalam diri suatu bangsa maka konsekuensi logisnya adalah terjadi upaya   saling menyingkirkan, memberangus satu sama lain. Situasi ini sepertinya sedang terjadi, rasa persatuan sebagai satu keluarga besar bangsa Indonesia tergerus oleh berbagai realitas kebencian, ketakutan akan yang berbeda baik budaya, ras, suku dan agama. Pembubaran kegiatan keagamaan disertai dengan kekerasan, fisik, dan verbal mengindikasikan ada realitas yang perlu diperiksa secara lebih mendalam.

Baca Juga: Menghindari Euforia Kemerdekaan, Mengentaskan Kemiskinan
Menelaah Makna Kemerdekaan, Kecerdasan, dan Kekuatan
Memaknai Kemerdekaan dalam Perspektif Tata Ruang Kota Bandung yang Inklusif dan Berkeadilan

Epistemologi Kekerasan

Kekerasan yang terjadi baik di Sukabumi  dan Padang tampaknya bukan sesuatu yang terjadi secara spontan. Kedatangan para pelaku kekerasan dalam kelompok mengindikasikan ada momen koordinasi yang terjadi sebelumnya. Momen koordinasi itu terjadi karena kekerasan secara epistemologis melekat pada  struktur pikiran manusia itu sendiri (Budi Hardiman, Massa, Teror, dan Trauma, hlm. 116). Lebih lanjut Budi Hardiman menandaskan bahwa struktur pemikiran ini mengacu pada dua hal. Pertama, pengenalan manusia juga berarti ada pada momen dominasi, dan bila pihak lain tak mampu mendefinisikan dirinya dan didikte oleh sesuatu di luar dirinya maka kekerasan sudah mulai di titik ini. Kedua, pengenalan manusia acapkali dimulai dengan stereotifikasi yang mengabaikan pengenalan individu. Stereotifikasi yang tadinya netral bisa menjadi stigmatisasi yang destruktif.

Pengenalan diri dan kelompok yang gagal atau compang-camping itu bisa dirunut salah satunya dalam bangunan sistem pendidikan di Indonesia. Lembaga pertama yang secara sistematis bertanggungjawab besar dalam bangunan epistemik kehidupan bersama. Kritik Niels Muelder setelah melakukan riset lebih kurang 10 tahun tentang materi atau buku-buku pembelajaran di Indonesia  mulai dari jejang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menegah Atas (SMA) dan model pembelajaran mengindikasikan ada keretakan epistemik tersebut. Muelder melukiskan secara sangat lugas bahwa realitas yang diajarkan di sekolah dan realitas di luar sekolah berbeda secara sangat mendasar. Muelder peneliti Belanda ini menggambarkan secara sangat epik realitas pendidikan di Indonesia. “Tentu saja para siswa tahu bahwa mereka hidup dalam dua dunia…dunia yang praktis, yaitu dunia ocehan omong kosong IPS, dan dunia yang konkret di luar halaman sekolah…Para siswa diisi dengan aturan yang harus dipatuhi, dengan nilai yang harus dianut, tetapi hatur nurani mereka tidak dilatih” (Niels Muelder, Wacana Publik Indonesia, 130).

Pengabaian terhadap nurani ini mematikan daya kritis dan rasionalitas manusia. Sehingga rasionalitas yang dipakai hanyalah rasionalitas, dengan meminjam istilah Habermas, rasional instrumental semata. Realitas pendidikan ini dengan meminjam refleksi Habermas, mematikan ruang perbincangan (discourse) dan kritik (critique) yang telah menjadi fondasi penting yang telah dimulai oleh pemuda pelajar seperti Sukarno, Hatta, Syahrir dengan sekian banyak pejuang Indonesia lainnya. Pendidikan tanpa sikap kritis dan keterbukaan untuk menerima keberbedaan satu dengan yang lain telah menjadi persemaian subur sikap tertutup terhadap keberbedaan. Sikap tertutup ini yang akan melahirkan kekerasan karena pengetahuan epistemik terhadap sesama amat minim. Padahal keberbedaan menjadi kodrat kehidupan dan juga kodrat bangsa Indonesia.

Ruang Perjumpaan

Ruang perjumpaan antar agama perlu diupayakan sejak dini, sekurang-kurangnya ketika duduk di bangku pendidikan dasar sampai menengah dan mendapat kematangan di pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan harus menjadi salah satu ruang perjumpaan keberagaman bangsa Indonesia. Lembaga pendidikan penting selain mengasah kecerdasan kognitif, juga   melatih kecerdasan sosial, dan kematangan emosional/spiritualitas diri. Di ruang-ruang kelas realitas keberagaman dengan iklim saling menghormati, perbincangan, pertemuan, dan saling belajar terus diupayakan, dipelihara, dan dicarikan model-model perjumpaan dalam keragaman yang mumpuni. Untuk itu guru-guru SD, SMP, SMA, dan di perguruan tinggi tak sekadar dibebani laporan administratif yang berjilid-jilid. Guru dan dosen perlu diberi ruang untuk menyapa siswa/mahasiswa dan menjadi teladan keberagaman itu.  

Namun, harus juga diakui, penekanan pada prestasi dan nilai akademik sering kali membuat siswa/mahasiswa bersaing (kompetisi) dan guru pun terjebak dalam sistem persaingan yang begitu intens ini. Dengan demikian pendidikan mengabaikan aspek kecerdasan sosial, spiritual, mental yang juga penting dalam kehidupan manusia yang utuh (humanum). Kondisi ini bila tidak diramu secara memadai akan menciptakan generasi yang menjadikan persaingan kognitif sebagai basis nilai. Bila kerangka pikir ini tidak diimbangi dengan pemahaman yang luas tentang sesama manusia yang hidup dalam keberagaman maka kekerasan, saling mengeliminasi menjadi satu keniscayaan.

Kekerasan yang terjadi di dua tempat Sukabumi dan Padang bukan sekadar konflik agama tetapi lebih dari itu, mengisyaratkan rapuhnya persatuan kita dalam satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.  Betapa masih banyak pekerjaan rumah perihal persatuan dalam keberagaman itu yang perlu dihidupi dan dipelihara bersama.

Ruang perjumpaan itu memungkinkan toleransi dan lebih dari itu, kerukunan perlahan akan tercipta. Nurcholish Madjid intelektual Islam terkemuka menandaskan bahwa kerukunan itu berlandaskan saling pengertian dan penghargaan. Dan kedua aspek pengertian dan penghargaan itu hanya mungkin terjadi kalau ada logika titik temu dan ini tentu pada hal-hal prinsipil saja, karena hal-hal lain seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik sulit dipertemukan (Budhy Munawar-Rachman (penyunting), Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, hlm. 2094).

Rasa Kebangsaan

Bicara “rasa” merupakan sesuatu yang esensial bagi hidup manusia. Rasa itu berakar dari naluriah primordial manusia yakni bertahan hidup. Donald B. Calne seorang pakar neurologi, mencontohkan, rasa lapar memunculkan naluri untuk mencari makan. Bila makanan langka maka nalar (reason) digunakan sebagai sarana untuk menghasilkan makanan.

Rasa itu juga sesuatu yang amat primordial sekaligus hakiki. Lukisan Yuval Noah Harari dalam karya Sapiens dengan sangat jeli menggambarkan kemampuan manusia untuk bertahan hidup. Kendati  secara fisik sapiens lemah dibandingkan hewan kuat seperti singa, harimau, buaya, dan gajah, namun ia memiliki keunggulan. Keunggulan itu adalah bahasa, namun bahasa dalam arti ini pertama-tama  bukan untuk komunikasi keluar tetapi lebih sebagai ikatan rasa ke dalam. Bahasa memungkinkan manusia mengetahui “siapa dari kalangan mereka yang membenci siapa, siapa tidur dengan siapa, siapa yang jujur, dan siapa penipu” (Harari). Ikatan inilah yang mempererat rasa kelompok.  Perihal penataan politik, hukum, ekonomi dan sebagainya merupakan upaya penalaran lebih lanjut setelah aspek “rasa” alias ikatan kelompok terbentuk.

Sukarno dalam karya kala masih sangat muda telah menggelorakan rasa nasionalisme itu yang ia uraikan dalam tulisan berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme di tahun 1926. Dalam karya ini Sukarno memaparkan rasa nasionalisme sebagai “suatu itikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa!” (Sukarno). Rasa persatuan itu, digelorakan kembali Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Dalam Pidato 1 Juni tersebut Sukarno kembali memperjelas konsep dan sekaligus praksis kebangsaan yang akan didirikan. “Pendek kata, bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukan sekadar satu golongan orang yang hidup dengan le désir d’être ensemble di atas daerah yang kecil seperit Minangkabau atau Madura, atau Yogya atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah S.W.T…”.

Sehingga riak-riak penolakan kegiatan keagamaan sebagaimana dilukiskan di atas harus mengantar kita pada refleksi kritis terhadap rasa kebangsaan. Kita perlu memperteguh komitmen hidup bersama dalam keberagaman sebagaimana spirit bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Karena dengan persatuanlah kita bisa menuju kesejahteraan sebagaimana juga yang menjadi tema kemerdekaan Indonesia ke-80: “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//