Hari Kemerdekaan, Kata Sejahtera, dan Guru Honor
Seorang guru yang tidak sejahtera adalah gambaran bahwa kita belum benar-benar merdeka sebagai bangsa.

Insan Faisal Ibrahim
Guru di salah satu Madrasah Swasta di Kabupaten Garut Jawa Barat
18 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Lagu kebangsaan dikumandangkan dengan bangga setiap 17 Agustus. Kibaran Sang Saka Merah Putih menghiasi di seluruh penjuru negeri Ibu Pertiwi. Semua atribut kemerdekaan diangkat ke permukaan sebagai simbol bahwa bangsa ini telah berdiri di atas kakinya sendiri, bebas dari penjajahan bangsa lain. Namun, di balik gegap gempita kemerdekaan itu, ada sekelompok pahlawan tanpa tanda jasa yang masih berjuang untuk merdeka dan berteman dengan manisnya kata sejahtera.
Profesi guru dalam banyak pidato kenegaraan maupun naskah akademik, sering disebut sebagai ujung tombak pendidikan. Bahkan, Bung Karno sendiri menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Jika kita menganggap guru adalah pahlawan, maka sudah semestinya mereka mendapatkan tempat yang layak, bukan hanya dalam narasi, tapi juga dalam realitas kehidupan.
Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan hal yang bertolak belakang. Ribuan guru terutama guru honorer di berbagai daerah, masih hidup dalam ketidakpastian dengan gaji/upah yang jauh dari kata layak dan status kerja yang tidak menentu. Mereka digaji berdasarkan jam mengajar yang bahkan terkadang tidak mencapai setengah dari Upah Minimum Regional (UMR) setempat. Tidak sedikit pula guru yang hanya menerima upah ratusan ribu rupiah per bulan hanya karena memegang teguh prinsip keikhlasan. gaji yang nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, apalagi membiayai pendidikan anak mereka sendiri.
Di sinilah letak ironi besar bangsa ini. Di atas panggung peringatan kemerdekaan, para pejabat dengan gagah berbicara tentang keberhasilan pembangunan dan kemajuan pendidikan. Tapi di ruang-ruang kelas sederhana di pelosok negeri, ada guru-guru yang mengajar dengan semangat tanpa tahu apakah mereka akan cukup makan minggu depan. Kondisi ini bukan sekadar permasalahan gaji rendah, tapi ini adalah soal penghargaan dan keadilan. Bagaimana mungkin kita berharap pendidikan Indonesia melahirkan generasi unggul jika mereka yang membentuk generasi itu sendiri tidak sejahtera. Bagaimana bisa kita mendorong guru untuk meningkatkan kompetensinya, jika kebutuhan dasarnya saja belum terpenuhi. Bagaimana bisa bangsa ini melahirkan generasi unggul jika akhir-akhir ini keadaan guru dianggap sebagai beban negara oleh salah satu pemangku kebijakan.
Sudah saatnya bangsa ini berhenti menjadikan guru hanya sebagai simbol retorika. Mereka harus menjadi subjek utama dalam kebijakan pendidikan dan kesejahteraan. Kita tidak bisa berbicara tentang Indonesia Emas 2045 jika fondasi pembentukan sumber daya manusianya masih hidup dalam kondisi yang jauh dari kata “emas” atau bahkan mengenal lebih dekat dengan kata sejahtera yang menjadi mimpi setiap manusia. Permasalahan ini bukan hanya tentang kurangnya anggaran. Setiap tahun, anggaran pendidikan Indonesia dialokasikan sebesar 20% dari APBN, sesuai dengan amanat Undang-Undang. Namun, penyalurannya tidak merata. Terlalu banyak anggaran yang terserap untuk belanja birokrasi dan administrasi, sementara keadaan guru honorer masih dipandang sebelah mata terutama guru-guru yang berada jauh dari hingar bingar kemewahan.
Baca Juga: Guru Honorer Menuntut Kejelasan Nasib ke Gedung Sate dengan Satir Citayam Fashion Week
Mewakili Ribuan Jeritan Guru Honorer di Jawa Barat, Para Pendidik Turun ke Jalan Menuntut Diangkat Menjadi ASN-PPPK
Nasib Horor Guru Honorer di Bawah Bayang-bayang Dualisme Sistem Pendidikan
Kelompok yang Tertinggal dalam Sistem
Program sertifikasi guru memang telah membantu sebagian guru PNS dan honorer untuk mendapatkan tunjangan tambahan. Namun, guru honorer masih menjadi kelompok yang tertinggal dalam sistem. Bahkan, alih-alih mendapatkan kepastian pengangkatan yang mampu menunjang kehidupan, banyak dari mereka yang harus bersaing dalam sistem seleksi ketat dan para pesaing yang memiliki relasi dekat dengan para pemangku kepentingan. Sehingga status mereka terus digantung antara loyalitas dan realitas. Di sisi lain, birokrasi pendidikan yang kaku dan terpusat juga menjadi hambatan. Banyak kebijakan yang dibuat di pusat tidak memperhatikan kondisi riil di daerah. Seorang guru di kota besar tentu memiliki akses dan kesempatan yang lebih baik dibandingkan guru di daerah terpencil. Padahal, tugas mereka sama yakni mendidik anak bangsa. Maka, jika sistem tidak mampu menjembatani ketimpangan ini, maka kita sedang menciptakan ketidakadilan yang sistematis terhadap para pendidik.
Lebih menyedihkan lagi, karena penghasilan utama mereka sangat minim, tidak sedikit guru honorer yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan demi menyambung hidup. Bayangkan seorang guru yang pagi mengajar di kelas, selepas mengajar harus kembali banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan selesai mencari nafkah, malamnya harus memeriksa tugas murid dan menyusun rencana pelajaran. Dengan tekanan sebesar itu, kualitas pengajaran tentu akan terpengaruh. Dan jika murid tidak mendapatkan pengajaran yang maksimal, maka cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi semu belaka.
Kemerdekaan sejati bukan hanya tentang bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga tentang kebebasan dari ketidakadilan sosial dan ekonomi. Seorang guru yang tidak sejahtera adalah gambaran bahwa kita belum benar-benar merdeka sebagai bangsa. Kita belum selesai menunaikan janji-janji kemerdekaan kepada mereka yang berjasa dalam membentuk masa depan negeri ini. Jika kita ingin berbicara tentang kemajuan bangsa, maka harus dimulai dari keberpihakan nyata terhadap kesejahteraan guru. Kesejahteraan bukan hanya gaji, tetapi juga mencakup jaminan kesehatan, keamanan kerja, pengakuan profesional, dan kesempatan pengembangan diri. Tanpa itu semua, kita hanya memelihara sistem pendidikan yang rapuh dan timpang.
Sudah waktunya kita menata ulang paradigma pendidikan nasional. Guru harus menjadi pusat dari semua kebijakan pendidikan. Kesejahteraan mereka harus dijadikan indikator keberhasilan reformasi pendidikan, bukan sekadar angka-angka statistik yang membanggakan di atas kertas. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bersinergi menciptakan sistem yang adil, transparan, dan berpihak pada guru. Jika anggaran pendidikan terus meningkat, tapi tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru, maka ada yang salah dalam tata kelola kita. Pengawasan terhadap distribusi anggaran harus diperketat, dan keberanian politik untuk menempatkan guru sebagai prioritas utama harus dimiliki oleh para pemegang kekuasaan.
Kemerdekaan bukan hanya milik mereka yang berada di atas panggung upacara atau ruang sidang mewah. Kemerdekaan harus menjangkau mereka yang berada di ruang-ruang kelas sederhana, dengan papan tulis lusuh dan bangku reyot yang menjadi tempat guru menanam benih masa depan bangsa. Jika kita ingin benar-benar merdeka, maka bebaskan guru dari ketidakadilan. Jika kita ingin pendidikan yang kuat, maka kuatkan terlebih dahulu para pendidiknya. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian di medan yang sunyi. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang benar-benar memperjuangkan kesejahteraan para gurunya, bukan hanya memujanya dalam pidato.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB