• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Membatasi Penggunaan AI, Mengasah Pikiran Kritis

MAHASISWA BERSUARA: Membatasi Penggunaan AI, Mengasah Pikiran Kritis

Banyak orang mulai mengandalkan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mengambil keputusan, mengerjakan tugas, hingga mencari ide kreatif.

Henry

Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Teknologi digital tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia modern. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

19 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Teknologi berkembang dengan sangat pesat, tetapi arah dan tujuannya belum terlalu jelas. Pada sisi positif, teknologi dapat dimanfaatkan untuk menyederhanakan berbagai persoalan kehidupan serta meningkatkan efisiensi kerja kita. Namun, tidak sedikit juga yang menggunakannya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan RavsˇeljI, dkk (2025) dengan melibatkan 23.218 mahasiswa dari 109 negara menunjukkan bahwa para mahasiswa menggunakan AI terutama ChatGPT untuk melakukan brainstorming, merangkum teks, dan mencari artikel penelitian, serta sebagian kecil menggunakannya untuk penulisan profesional dan kreatif. Kebiasaan semacam ini berpotensi menurunkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, yang seharusnya diasah melalui proses belajar aktif dan mandiri. Penggunaan kecerdasan buatan (AI) harus dibatasi untuk mencegah penurunan kreativitas. Mengapa Penggunaan AI pada hal tersebut harus dibatasi?

Brainstorming adalah suatu cara untuk memunculkan ide-ide baru secara bebas dan spontan. Dalam proses belajar dan berkarya, kemampuan brainstorming sangat penting karena melatih siswa untuk berpikir kreatif dan menghasilkan gagasan-gagasan yang relevan dengan topik tugas atau permasalahan tertentu. Namun, jika siswa atau mahasiswa terlalu sering menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menjawab setiap pertanyaan atau menyelesaikan tugas mereka, kemampuan brainstorming tidak akan berkembang, bahkan bisa menjadi tumpul.

Ketua pelaksana Artificial Intelligence Debate in Education (AIDE) Sahila Pramesti mengatakan, jika tidak dimanfaatkan dengan benar maka kehadiran kecerdasan buatan justru bisa mematikan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis pelajar. Ia mengingatkan bahwa penggunaan kecerdasan buatan justru bisa menghambat kerja otak yang seharusnya dioptimalkan untuk berpikir kritis.

Dengan kata lain, seringnya mengandalkan AI membuat pengguna tidak terbiasa untuk berpikir mendalam karena pengguna cenderung langsung menerima jawaban tanpa berusaha mencari solusinya. Padahal, berpikir mendalam atau deep thinking sangat penting dalam memahami suatu masalah secara menyeluruh dan menemukan solusi yang tepat. Ketika proses ini dilewati dengan meminta jawaban yang cenderung instan ke AI, kemampuan tersebut akan terus menurun secara berkelanjutan. Hal ini sangat berdampak pada proses belajar yang seharusnya kita mencari dan mencerna informasi secara bertahap agar dapat memahami proses tersebut. Akibatnya, generasi muda berisiko kehilangan rasa ingin tahu yang menjadi kunci utama berkembang.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Republik Ketakutan, Bendera One Piece, dan Kemunduran Akal Sehat Penguasa
MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Akses Transportasi Umum yang Terbatas Membebani Mahasiswa Bandung
MAHASISWA BERSUARA: Liberal Arts, Merdeka Belajar Kampus Merdeka, dan Pentingnya Fleksibilitas Akademik di Era Global

Melemahkan Kualitas Sumber Daya Manusia

Selain menurunkan kemampuan berpikir mendalam, penggunaan AI juga berdampak pada daya juang seseorang dalam menghadapi tantangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ahmad, dkk (2023) yang menunjukkan terjadinya masalah kemalasan (68,9 persen), masalah privasi dan keamanan pribadi (68,6 persen), serta hilangnya kemampuan pengambilan keputusan (27,7 persen) akibat pengaruh AI di masyarakat Pakistan dan Tiongkok. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemalasan menjadi dampak paling dominan dari penggunaan AI. Kemalasan ini berpotensi menurunkan motivasi individu untuk berusaha memecahkan masalah secara mandiri. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menciptakan generasi yang kurang tangguh menghadapi persoalan hidup.

Banyak orang mulai mengandalkan AI untuk mengambil keputusan, mengerjakan tugas, hingga mencari ide kreatif. Meskipun hal ini dapat mempermudah pekerjaan, ketergantungan yang berlebihan justru membuat kemampuan improvisasi dan adaptasi menurun. Generasi muda yang terlalu mengandalkan teknologi berisiko kehilangan kepercayaan diri dalam memecahkan masalah tanpa bantuan AI. Dalam jangka panjang, ketergantungan ini akan melemahkan kualitas sumber daya manusia.

Berdasarkan data dari WriterBuddy (2023), tercatat ada sekitar 24 miliar kunjungan ke-50 situs perangkat AI pada rentang waktu antara September 2022 hingga Agustus 2023, dan Indonesia menyumbang sekitar 5,6 persen dari total kunjungan situs yaitu sekitar 1,4 miliar kunjungan. Angka ini menunjukkan tingginya minat masyarakat Indonesia, termasuk anak muda, dalam menggunakan AI. Meskipun penggunaan AI tidak sepenuhnya buruk, pembatasan penggunaannya tetap diperlukan agar kita dapat mengasah kemampuan berpikir kritis dan berkreasi secara mandiri.

Teknologi seharusnya berfungsi sebagai alat bantu untuk mendukung perkembangan, bukan menggantikan proses belajar dan berpikir itu sendiri. Dengan batasan yang tepat, manfaat AI dapat dimaksimalkan tanpa mengorbankan potensi masing-masing manusia.

Kesimpulannya, kemajuan AI telah membawa manfaat besar, tetapi juga menimbulkan tantangan yang serius bagi kesehatan mental dan kemampuan berpikir kita. Penurunan kreativitas, daya juang, dan kemandirian berpikir menjadi risiko yang harus diwaspadai kita semua. Ketergantungan pada jawaban instan AI membuat kita rentan kehilangan keterampilan dalam mencari solusi dari sebuah masalah. Oleh karena itu, pembatasan penggunaan kecerdasan buatan diperlukan agar kita tetap mengasah kemampuan berpikir kritis dan berkreasi secara mandiri, sehingga teknologi menjadi alat pendukung berkembang.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//