MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Akses Transportasi Umum yang Terbatas Membebani Mahasiswa Bandung
Terbatasnya akses transportasi umum di Bandung memberi dampak langsung terhadap kehidupan mahasiswa, terutama dari segi ekonomi.

Filipus Benedictus Sianturi
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
11 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Bandung adalah kota yang telah berkembang menjadi salah satu kota pelajar terbaik di Asia Tenggara. Bandung, kota yang kerap dijuluki sebagai Parijs van Java, yang tidak pernah kehilangan pesonanya di mata para calon mahasiswa. Kehadiran berbagai universitas ternama, baik negeri maupun swasta, menjadikan Bandung selalu diminati dan dipadati oleh generasi muda untuk berkuliah. Lebih dari sekadar pusat pendidikan, Bandung menawarkan atmosfer yang membuat siapa pun ingin menetap –sebuah perpaduan antara kenyamanan hidup dan dinamika intelektual yang sulit ditemukan di kota lain karena memiliki keistimewaannya sendiri.
Kendati menjadi kota idaman para mahasiswa dari berbagai daerah karena reputasinya sebagai kota pendidikan yang berkualitas, Bandung memiliki permasalahan dari tahun ke tahun yang tak kunjung terselesaikan yaitu minimnya transportasi umum yang inklusif dan terintegrasi. Kondisi ini menyulitkan mobilitas mahasiswa dalam menjalankan aktivitas perkuliahan sehari-hari karena adanya ketimpangan antara geliat intelektual Bandung dan infrastruktur transportasinya yang menjadi permasalahan yang terus berulang dari tahun ke tahun.
Hingga kini, Metro Jabar Trans (MJT) merupakan satu-satunya moda transportasi umum modern di kawasan Bandung Raya dengan kapasitas angkut terbesar, namun transportasi umum ini masih jauh dari kata memadai. Hal ini dikarenakan lemahnya integrasi antarmoda, jam operasional yang terbatas, dan tidak meratanya rute perjalanan ke setiap kampus membuat mahasiswa di Bandung lebih memilih menggunakan kendaraan pribadinya daripada menggunakan transportasi umum (Rohmatunnisya, 2024). Padahal ketersediaan transportasi umum yang merata merupakan urat nadi krusial bagi kehidupan mahasiswa. Daerah PTN seperti UPI, UIN Bandung, dan ISBI Bandung saja tidak dilalui oleh rute Metro Trans Jabar, apalagi kampus swasta yang ada di Bandung.
Saat ini, MJT hanya mengoperasikan enam koridor, namun penyebaran haltenya masih jauh dari kata merata. Beberapa rute seperti Leuwipanjang-Dipatiukur dan Unpad Dipatiukur-Unpad Jatinangor memang menyediakan akses langsung menuju kampus tertentu, namun kondisi ini memperlihatkan adanya ketimpangan layanan di mana mahasiswa dari perguruan tinggi lainnya tidak mendapatkan akses yang sama terhadap transportasi umum.
Penelitian dari Enter Nusantara pada tahun 2024 mengungkap fakta bahwa 86 persen anak muda di Bandung lebih memilih menggunakan kendaraan pribadinya untuk mobilitas sehari-hari karena buruknya konektivitas dan keterjangkauan transportasi umum di Bandung (Cahya, 2024). Angka ini merefleksikan kegagalan pemerintah dalam menyediakan alternatif transportasi umum yang memadai bagi mahasiswa. Terbatasnya akses transportasi umum di Bandung memberi dampak langsung terhadap kehidupan mahasiswa, terutama dari segi ekonomi. Secara nominal, tarif Metro Jabar Trans sebesar 4.900 rupiah untuk masyarakat umum dan 2.000 rupiah bagi pelajar atau mahasiswa memang terlihat ramah di kantong, namun kenyataannya, ketiadaan sistem transportasi yang terintegrasi membuat banyak mahasiswa justru harus merogoh kocek lebih dalam saat berpindah moda.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Gerakan Rimpang Tidak Selalu Bermakna Ramping
MAHASISWA BERSUARA: Jolly Roger, Bendera Sang Ratu Adil
MAHASISWA BERSUARA: Republik Ketakutan, Bendera One Piece, dan Kemunduran Akal Sehat Penguasa
Akses Transportasi Berdampak pada Akses Pendidikan
Transportasi umum seperti Metro Jabar Trans dianggap masih kurang layak dan masih perlu dievaluasi yang membuat banyak mahasiswa terpaksa bergantung ke transportasi pribadinya dan transportasi umum lainnya seperti ojek online untuk mobilitas harian mereka. Namun biaya transportasi ojek online bisa saja membengkak untuk mahasiswa yang anggarannya terbatas karena menjadi beban yang tidak sebanding dengan kemampuan finansial mereka. Oleh karena itu, permasalahan minimnya transportasi umum tidak bisa dipandang sekadar sebagai masalah teknis, melainkan juga sebagai isu keadilan sosial yang berdampak pada hak mahasiswa untuk mengakses pendidikan secara setara dan bermartabat (Earlyanti & Mayastinasari, 2022).
Menurut pengamat transportasi ITB Sony Sulaksono Wibowo, permasalahan transportasi umum ini terjadi karena "rendahnya komitmen pemerintah kota Bandung dalam pengelolaan transportasi umum”. Menurutnya, pemerintah Kota Bandung tidak memiliki arah kebijakan transportasi umum yang berkelanjutan di setiap masa kepemimpinan wali kota serta lemahnya komitmen politik para pemangku kebijakan di Bandung dalam membangun sistem transportasi umum yang terencana dan progresif.
Gagasan pembangunan transportasi umum yang inklusif dan terintegrasi kerap kali hanya menjadi janji-janji palsu politik, terutama menjelang pemilihan kepala daerah. Hampir setiap calon wali kota hanya menjadikan isu ini sebagai bagian dari kampanye mereka, berulang dari satu periode ke periode berikutnya. Sayangnya, hingga kini, janji-janji tersebut belum pernah benar-benar diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang terbukti nyata. Hal ini membuktikan bahwa transportasi umum hanya sebagai korban abadi janji politik elektoral tanpa visi yang jelas.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah kota Bandung seharusnya segera sadar dan mulai menggagas pendekatan yang lebih kolaboratif dengan melibatkan institusi akademik dalam proses perencanaan dan pengembangan transportasi umum. Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagai salah satu kampus teknik terkemuka, memiliki sumber daya keilmuan yang relevan terutama melalui program studi Perencanaan Wilayah dan Kota serta Teknik Sipil yang dapat berkontribusi dalam merumuskan solusi jangka panjang berbasis riset dan kebutuhan lapangan.
Identitas Bandung sebagai "Kota Pelajar" menuntut sebuah sistem transportasi yang tidak hanya layak secara teknis, tetapi juga inklusif bagi seluruh kalangan masyarakat. Transportasi umum adalah hak dasar yang harus dijamin oleh pemerintah. Setiap individu memiliki kebebasan untuk bergerak dan menjalankan aktivitasnya tanpa hambatan. Oleh karena itu, layanan transportasi umum wajib dan harus dirancang untuk mempermudah mobilitas sosial untuk semua lapisan masyarakat mulai dari mahasiswa, penyandang disabilitas, ibu hamil, lansia, pekerja, hingga anak-anak. Jika prinsip keadilan dan kenyamanan ini bisa terpenuhi, maka transportasi umum tidak akan lagi menjadi masalah yang membatasi ruang gerak mahasiswa hingga masyarakat luas.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara