Tubuh, Kota, dan Mata Pengintai: Membaca “Panopticon and What The Hell Are You?” Karya Fachry Matlawa dalam Lanskap Bandung Kini
Bandung masa kini membentuk citra ruang publik yang demokratis, namun secara nyata diwarnai dengan pengawasan dan peraturan ketat.

Ferry C Nugroho
Dosen Jurusan Seni Tari ISBI Bandung
21 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Di tengah kota yang makin padat dengan citra dan ilusi, tubuh menjadi lanskap baru yang terus dibentuk oleh mesin-mesin pengawasan dan narasi-narasi pembangunan. Bandung bukan hanya kota untuk dihuni, tetapi juga kota untuk ditata, diawasi, dan dipertontonkan. Pertunjukan “Panopticon and What The Hell Are You?” karya Fachry Matlawa dalam program Pseudo-Entertainment #1 pada 7-9 Maret 2025 kemarin, muncul sebagai interupsi yang menohok terhadap logika pengawasan dan urbanisasi performatif di kota ini.
Fachry secara sadar menempatkan tubuhnya di jantung pusaran kota: sebuah Bandung yang penuh dengan estetika pengendalian, kamera pengawas, dan narasi urbanisasi. Tubuhnya bukan sekadar alat ekspresi, melainkan medan friksi yang aktif terhadap dominasi ruang. Ketika kota menciptakan citra keteraturan, tubuh dalam karya ini justru mengacaukannya dengan kehadiran yang tak tunduk. Inilah bentuk koreografi perlawanan yang tidak membutuhkan kata-kata.
Baca Juga: Pergolakan Seni dan Perubahan Sosial: Seni Rakyat dan Identitas Melawan Dominasi
Merayakan Seni, Cara Perempuan Sunda Wiwitan Kuningan Turut Berjuang Mempertahankan Lahan dan Tradisi
Mengingat Tragedi Muram Reformasi 1998 Melalui Pertunjukkan Seni Tari di Kampus ISBI Bandung
Bandung sebagai Tubuh yang Diawasi
Dalam beberapa artikel pada catatan observasi Pseudo-Entertainment, terutama tulisan-tulisan seperti “Mencari Bandung dalam Sejarah Mempersolek Ruang” oleh Agung Eko Sutrisno dan “Kota, Pertunjukan, dan yang Tak Terlihat” oleh Gelar Prakosa, tampak bahwa Bandung telah menjadi kota yang estetis secara selektif: taman-taman dipoles, trotoar dipercantik, namun kehidupan sosialnya tidak dibebaskan. Di sini, tubuh warga tidak hanya hidup –mereka disaksikan, dinilai, dan dijinakkan. Kota menjadi panggung yang diawasi, sementara penduduknya –terutama tubuh-tubuh marjinal– dipaksa memerankan peran tertentu.
Gagasan panopticon seperti yang dibahas oleh Michel Foucault menjadi semakin relevan. Jika awalnya panopticon adalah rancangan arsitektur penjara, kini ia menjadi sistem sosial: pengawasan tak tampak, tapi membuat tubuh tunduk. Kita tak tahu kapan diawasi, tetapi tetap menyesuaikan diri seakan selalu diawasi. Tubuh menjadi medium pengontrolan.
Bandung masa kini membentuk citra ruang publik yang demokratis, namun secara nyata diwarnai dengan pengawasan dan peraturan ketat. Melalui pengawasan CCTV, narasi keamanan, dan festivalisasi ruang kota, tubuh-tubuh kehilangan spontanitasnya. Dalam konteks ini, panopticon bukan hanya bangunan, tetapi rezim pengelihatan yang mengakar dalam kebijakan dan cara hidup urban. Fachry tidak sedang menyajikan teori ini secara gamblang, namun tubuhnya menampilkan dampaknya secara visceral.
Tubuh sebagai Resistensi
Fachry, dalam karya yang berlangsung di ruang terbuka dan urban, membawa tubuhnya sendiri sebagai pusat gesekan. Gerak yang berulang, tubuh yang terus berlari dan menghindar, menjadi simbol resistensi terhadap situasi sosial yang represif namun tidak kasat mata. Ia tidak memberikan narasi verbal yang eksplisit, tetapi tubuhnya menyuarakan banyak hal: keresahan, ketakutan, juga keberanian untuk tetap bergerak walau terjebak dalam struktur yang menekan.
Ruang publik di Bandung, tak lagi sepenuhnya publik. Ia adalah ruang yang diawasi, yang membuat tubuh-tubuh tertentu terasa tidak diinginkan, atau harus tampil sesuai ekspektasi. Tubuh koreografer, penari jalanan, atau anak muda yang menari hip-hop di trotoar, bisa saja dibungkam dengan wacana ketertiban atau estetika kota.
Tubuh yang terus bergerak, bahkan ketika kelelahan hadir, adalah metafora tentang keberlangsungan hidup di bawah tekanan sistemik. Ini bukan sekadar tubuh penari, tapi tubuh warga yang sehari-hari dipaksa menavigasi kota yang mengontrol lewat aturan dan simbol. Dalam banyak hal, tubuh Fachry adalah tubuh kita sendiri: gelisah, waspada, tapi tak menyerah. Karya ini adalah koreografi perjuangan sipil yang dilakoni dengan estetika minimal namun muatan politis maksimal.
Pertunjukan ini tidak bisa hanya dibaca sebagai karya tari. Ia adalah aksi sosial. Dengan tubuhnya, Fachry menginterogasi cara kita melihat ruang, menguji batas-batas antara keamanan dan represi, antara kerja dan pembebasan. Ia mengaburkan perbedaan antara panggung dan jalanan, antara tubuh penari dan tubuh warga kota.
Saya melihat bahwa Fachry tidak sedang mencari bentuk indah, tapi sedang membongkar kerangka kekuasaan yang membentuk tubuh kita sehari-hari. Koreografinya tidak diarahkan untuk memukau, tetapi untuk membuat kita tidak nyaman. Ia membawa kita pada pertanyaan yang menohok: apakah tubuh ini masih milik kita, atau sudah menjadi properti sistem yang terus menonton kita diam-diam?
Gerak tubuh dalam karya ini menolak untuk menjadi tontonan yang steril. Sebaliknya, ia menjadi pemantik diskusi tentang siapa yang berhak berada di ruang publik, siapa yang dianggap mengganggu, dan siapa yang disambut sebagai "pengguna sah" kota. Dalam konteks ini, tari menjadi bahasa sosial yang langsung: ia tidak memerlukan penerjemah untuk menyampaikan pesan bahwa tubuh juga bisa bicara tentang politik.
Pseudo-Entertainment: Intervensi dalam Gaya Baru
Program Pseudo-Entertainment bukan hanya menjadi ruang pertunjukan alternatif, tetapi juga ruang pembongkaran cara berpikir kota dan seni. Mereka mengajukan kritik tidak dengan teriakan, tapi lewat kehadiran tubuh-tubuh yang tidak patuh. Dengan mendekatkan seni ke tubuh dan tubuh ke jalanan, mereka menantang narasi tunggal tentang kota sebagai tempat tinggal yang “aman, tertib, dan indah” –dan sebaliknya menunjukkan bahwa kota adalah tempat konflik, ketegangan, dan politik tubuh.
Kerja Pseudo-Entertainment adalah kerja jangka panjang membentuk lanskap budaya yang bertanya alih-alih menjawab. Mereka tidak memberi kita definisi kota yang utuh, tapi fragmen-fragmen pengalaman yang kontradiktif: antara arsitektur dan rasa takut, antara pencitraan dan kekacauan, antara estetika dan kekuasaan. Dalam hal ini, mereka bukan sekadar penyelenggara acara, melainkan fasilitator krisis kesadaran urban yang mendalam. Melalui residensi, lokakarya, dan penulisan reflektif seperti yang ditampilkan dalam “Amatan Refleksi Ma’rifatul Latifah” atau “Aku Ingin Bercakap Denganmu Dalam Empat Perihal”, tampak bahwa Pseudo-Entertainment bukan sekadar merespons kota, tapi mencoba mengubah cara kita hidup di dalamnya –dengan berpikir, bergerak, dan menyuarakan.
Di Bandung hari ini, panopticon bukan lagi menara di tengah penjara. Ia adalah CCTV, algoritma, estetika kota, dan bahkan gaya hidup. Ia adalah branding kota kreatif yang tidak memberi ruang bagi tubuh-tubuh liar untuk bergerak di luar naskah. Tapi dalam pertunjukan Fachry Matlawa, kita diingatkan bahwa tubuh adalah medan perang terakhir. Ketika ruang dan narasi telah dikuasai, tubuh yang menari, berlari, dan menolak diam menjadi bentuk perlawanan paling jujur.
Membaca karya ini dari sudut pandang koreografer, saya merasa bahwa koreografi tidak pernah netral. Ia selalu mengandung keputusan: kepada siapa kita bicara, terhadap siapa kita bersikap. Dan ketika koreografi itu terjadi di jalan, di ruang publik yang makin dikomodifikasi, maka setiap langkah menjadi deklarasi. Kita sedang tidak hanya menari, kita sedang memperjuangkan hak untuk tetap menjadi tubuh di tengah kota yang ingin menjadikan kita sekadar objek pengawasan.
Maka pertanyaannya bukan lagi, siapa yang mengawasi kita? Tapi bagaimana tubuh kita bertahan dan bergerak, bahkan saat tak ada yang melihat?
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB