Merayakan Seni, Cara Perempuan Sunda Wiwitan Kuningan Turut Berjuang Mempertahankan Lahan dan Tradisi
Konflik dan pelbagai kebijakan diskriminatif dialami masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan. Seni menguatkan mereka untuk terus bertahan.
Penulis Awla Rajul26 Juli 2024
BandungBergerak.id - Mulyati Gustina, 21 tahun, nonoman (orang muda) Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur, masih ingat betul ketika konflik lahan adat bergejolak di Kabupaten Kuningan tujuh tahun lalu. Di jalan menanjak menuju Rumah Sakit Sekar Kamulyan, tepat di pertigaan persilangan Jalan Cigugur Sukamulya dan Jalan Rumah Sakit, warga AKUR melakukan aksi membaringkan diri di atas aspal. Kompak mengenakan pakaian hitam dan putih khas adat Sunda, mereka menjadi pagar hidup yang menolak eksekusi tanah adat di Blok Mayasih.
Peristiwa itu terjadi pada Kamis, 24 Agustus 2017. Mulyati atau akrab disapa Tina masih bersekolah di SMP Tri Mulya yang letaknya memang berdekatan dengan lokasi konflik lahan antara masyarakat adat dan ahli waris. Dia ikut turun ke jalan bergabung dengan masyarakat adat laki-laki dan perempuan.
“Jadi kita sama-sama ikut berjuang dengan cara ikut menjadi pagar manusia gitu walaupun memang dibubarkan karena kami kan masih SMP, masih kecil. Jadi kita kumpul dan berdoa bersama di dalam Paseban,” cerita Tina saat ditemui di komplek Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Minggu, 2 Juni 2024.
Pengadilan Negeri Kuningan melalui putusan Nomor 6/PDT.G/2015/PN KNG kemudian menyatakan lahan seluas 224 meter persegi yang menjadi objek sengketa dimenangkan oleh Jaka Rumantaka sebagai ahli waris. Padahal, masyarakat AKUR Sunda Wiwitan mengklaim tanah itu merupakan tanah adat. Tanah adat dalam kepercayaan Sunda Wiwitan tidak bisa dimiliki perorangan dan tidak dibagiwariskan, melainkan dimanfaatkan secara komunal untuk kepentingan bersama.
Eksekusi pengadilan tersebut juga masih lekat dalam ingatan Djuwita Djatikusuma Putri, 53 tahun. Di komunitas adat, Djuwita merupakan Girang Pangaping Sunda Wiwitan AKUR Kuningan. Dia juga salah seorang perempuan yang turun ke jalan waktu itu dengan aksi simbolik kesenian. Mereka bernyanyi di hadapan aparat gabungan. Djuwita yang memulainya.
Nyanyian yang mereka lantunkan sebagai bentuk penolakan eksekusi sekaligus berupaya “melemahkan” aparatur negara. Bagi mereka, berbaring dan bernyanyi bukan sekadar aksi melainkan cara masyarakat adat menyelaraskan energi dengan bumi dan mengetuk naluri aparat keamanan yang jumlahnya jauh lebih banyak.
“Begitu lagu ketiga, lagu Syukur, itu postur mereka sudah gak galak lagi. Ya kita harus selaraskan energi kan,” cerita Djuwita saat ditemui di Paseban Tri Panca Tunggal, Sabtu, 1 Juni 2024, usai doa lintasiman. “Saya percaya saat itu kami tidak punya kekuatan daya fisik. Tapi daya Yang Maha Kuasa itu yang bisa kita getarkan. Jadi energi itu, termasuk ketika kita rebahan juga bukan hanya action. (Itu bentuk) bagaimana kita menyatukan energi alam, indung bumi dengan indung kandung supaya menjadi kekuatan.”
Lain lagi cerita Gumilar Sumardi, 23 tahun, nonoman AKUR Sunda Wiwitan lainnya. Peristiwa suram hari itu menginspirasinya dalam membuat tarian yang menceritakan tentang bagaimana tanah adat masyarakat Sunda Wiwitan dieksekusi. Seni dan karya merupakan dua cara yang digunakan Gumilar untuk merawat dan menjaga kelestarian adat beserta lahannya.
“Di dalamnya (tarian) itu digambarkan masyarakat adat yang dieksekusi tanah adatnya. Jadi karya ini memberikan pesan-pesan kepada pemerintah, keadaan masyarakat adanya seperti ini gitu,” terang Gumilar yang juga mahasiswa seni tari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
Menjaga Tradisi dengan Seni
Bagi masyarakat adat AKUR Kuningan, seni dan tradisi ibarat dua sisi keping mata uang yang tak dapat dipisahkan di jalan panjang merawat nilai-nilai warisan karuhun. Melalui seni dan tradisi, mereka menunjukkan eksistensi masyarakat adat. Salah satu ritual besar tahunan yang dikemas dalam bentuk kesenian adalah Seren Taun. Acara ini tidak hanya dinanti-nanti masyarakat adat sendiri melainkan masyarakat umum juga.
Kedua bola mata Tina selalu berbinar saat menceritakan perayaan adat Seren Taun. Jauh hari sebelum puncak perayaan Seren Taun, Tina dan nonoman lainnya rutin berlatih tarian rampak kendang di kompleks Paseban. Seren Taun bisa dibilang lebarannya masyarakat adat Sunda Wiwitan. Tina turut dalam barisan penari di hari lebaran yang paling anyar digelar 29 Juni 2024 lalu.
Tina yakin, berkesenian dan rutin mengikuti tradisi dan kebudayaan di Paseban merupakan cara untuk menjaga identitasnya sebagai nonoman AKUR Sunda Wiwitan. Mahasiswa akuntansi Universitas Kuningan ini merasa harus terus berpegang teguh pada keyakinannya yang tetap relevan dengan zaman dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat adat.
Tina sadar betul dengan tantangan dan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat AKUR Sunda Wiwitan. Makanya, ia merasa harus menjaga dan melestarikan adat dengan cara menjadi orang yang bermanfaat. “Membantu dengan apa pun pengetahuan yang dimiliki untuk mempertahankan tanah adat,” ujar Tina tegas.
Tina memang senang berkesenian. Di kampus, dia bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seni yang bergiat di seni peran, musik, serta seni ukir dan lukis.
Tina pernah aktif di tim paduan suara AKUR Sunda Wiwitan Kuningan yang banyak tampil di sejumlah agenda penting nasional, termasuk di Mahkamah Konstitusi (MK). Penampilan di MK ini menjadi pengalaman yang paling mengesankan bagi Tina. Di benteng terakhir konstitusi negara, tersebut lagu-lagu yang dibawakan tim Tina di antaranya diciptakan Djuwita Djatikusuma Putri, yang oleh Tina biasa dipanggil Atu Tati.
“Karena walaupun paduan suara kita bukan paduan suara yang profesional gitu, tapi melalui lagu-lagu yang dibuat oleh Atu Tati (Djuwati, Girang Pangapung) berdasarkan pengalaman-pengalaman masyarakat adat, kita bisa menyuarakan itu di depan orang-orang yang berpengaruh di negara. Jadi kenapa gak bangga gitu? Harus bangga!” tutur Tina, sedikit malu-malu.
Meski menghadapi beragam persoalan, Tina sangat bersyukur anak-anak adat di Cigugur tidak mengalami diskriminasi. Anak-anak di Cigugur maupun di Kuningan pada umumnya dianggap sudah terbiasa dengan perbedaan. Kondisi itu sangat mungkin berbeda dengan anak-anak Sunda Wiwitan di luar Cigugur yang pernah mendapatkan pengalaman diskriminasi.
“Jadi memang biasa aja gitu dengan adanya masyarakat adat AKUR sebagai salah satu teman mereka,” ungkap Tina.
Seperti Tina, kebanyakan nonoman AKUR Sunda Wiwitan Kuningan aktif berkesenian. Seni menjadi salah satu cara untuk menggugah dan menyadarkan publik tentang beragam persoalan yang dialami masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Perempuan Mempertahankan Lahan
Djuwita Djatikusuma Putri alias Atu Tati yakin, seni, kawih, ataupun kebudayaan memang tidak memiliki kekuatan fisik langsung. Namun, kebudayaan mengandung energi Yang Maha Kuasa dan mampu menyatukan energi alam (indung bumi) dan energi manusia (indung kandung). Dia merasakan betul energi itu ketika dirinya dan masyarakat adat lainnya kompak menolak eksekusi lahan tahun 2017 dengan cara melantunkan lagu bersama-sama.
Bagi Tati, seni adalah media untuk menyeimbangkan pikiran, perasaan, dan perbuatan. Cara itu dilakukan untuk menggetarkan frekuensi agar yang dihadapi mendapatkan “kesadaran” yang notabenenya hanya menggunakan aspek kesadaran perbuatan, tanpa pikiran dan perasaan. Perempuan adat merupakan aktor kunci dalam aksi tahun 2017.
“Bukan soal perempuan lebih peka. Perempuan itu harus punya basic kesadaran berpikir, merasa, dan berbuat. Nah, jadi di situ yang bisa menyeimbangkan, bagaimana juga kualitas dari generasi manusia selanjutnya (ditentukan),” ungkap perempuan yang mengurusi wilayah adat AKUR Sunda Wiwitan meliputi Majalengka dan Ciamis tersebut.
Menurut Tati, perempuan berkewajiban mempertahankan lahan, bukan hanya memanfaatkannya untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, perempuan (indung kandung) memiliki karakter yang serupa dengan alam (indung bumi), yaitu melahirkan generasi masa depan.
Karakter memelihara, melindungi, dan menyelaraskan adalah karakter indung bumi, indung kandung, dan indung luhung. Ujung dari karakter ini bukan hanya melahirkan generasi masa depan, tetapi mengharapkan semesta yang berjalan secara berkesinambungan antara alam raga manusia dan alam raya, dengan keselamatan, keselarasan atau keharmonisan. Makanya, Tati menegaskan, perempuan adat bukan hanya bertanggung jawab untuk mempertahankan lahan adat.
“Tapi tanggung wajib, kita bergerak nyata untuk melakukan pertahanan. Kita bukan melawan, kita bertahan,” tegas Tati.
Upaya mempertahankan tanah adat itu belum selesai. Pada Rabu, 18 Mei 2022, PN Kuningan melakukan pencocokan dan sita eksekusi terhadap objek sengketa. Upaya ini kembali digagalkan oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan Kuningan yang sejak pagi telah siaga untuk melakukan penolakan. Konstantering terhadap objek sengketa itu dilakukan atas perintah yang tertuang dalam Surat No. W.11.U16/825/HK.02/4/2022, perihal pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan sita Eksekusi nomor 1/Pdt.Eks. /2022/ PN Kng Jo. Nomor 7/Pdt.G/2009/Pn. Kng.
Tati memandang, praktik penghilangan tanah adat bukan hanya terjadi di Cigugur, melainkan di banyak tempat dengan berbagai macam cara. Melihat sengketa tanah adat seolah-olah persoalan warisan merupakan modus umum. Berbagai upaya banding di pengadilan pun akan berujung sia-sia karena persoalan utamanya adalah negara yang tidak mau mengakui dan melegitimasi masyarakat adat.
Ditambah lagi, pengadilan tidak mempertimbangkan nilai historis lahan adat. Pengadilan mudah saja memandang sengketa lahan adat itu sebagai persoalan waris dan memenangkan Jaka Rumantaka, salah satu keturunan Pangeran Tedjabuana Alibassa, tokoh kepemimpinan kedua Sunda Wiwitan setelah pendirinya, yaitu Pangeran Sadewa Madrais Alibassa.
Selain hubungan historis masyarakat adat Sunda Wiwitan, Pangeran Sadewa Madrais Alibassa pada masa hidupnya juga menuliskan manuskrip yang menyebutkan bahwa keturunan tidak mendapatkan pembagian waris. Tanah adat dihibahkan untuk masyarakat adat, tidak boleh dibagiwariskan, apalagi diperjualbelikan.
“Tanah yang sengketa-sengketa itu memang tanah peninggalan Pangeran Sadewa Madrais dengan Pangeran Tedjabuana. Nah beliau itu memiliki tanah di beberapa tempat dan semua itu dihibahkan untuk masyarakat adat, tidak boleh dibagiwariskan. Jadi milik komunal,” kata Tati.
Dikepung dari Segala Arah
Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan berkali-kali harus menghadapi persoalan yang berkaitan dengan lahan adat. Selain objek sengketa dengan Jaka Rumantaka, ada persoalan penyegelan Makam Batu Satangtung pada 2020 dan penolakan pengajuan Penetapan Masyarakat Hukum Adat (PMHA). Di luar persoalan lahan adat ini, ada pula persoalan sulitnya pencatatan pernikahan. Ditambah lagi, pergeseran generasi muda yang menurun minatnya untuk menjaga lahan dengan cara menjadi petani.
Djuwita Djatikusuma Putri alias Atu Tati berpendapat, upaya mempertahankan lahan tidak cukup dilakukan jika sekadar tentang tanah wilayat. Upaya mempertahankan lahan harus diperluas maknanya menjadi mempertahankan tanah adegan.
“Caranya, ya kita mencoba terus memberikan penyadaran dan kesadaran pada generasi untuk melestarikan tradisi, budaya. Baik budaya seni, budaya spiritual, ajaran. Itu juga kan bagian tanah yang harus dipertahankan,” ucapnya.
Bertahan, menurut Tati, adalah strategi yang digunakan oleh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan sejak lama, termasuk saat pelarangan perayaan Seren Taun di masa Orde Baru. Meski dilarang, sebenarnya tradisi Seren Taun tetap dijalani setiap tahunnya. Hanya saja dilakukan di rumah masing-masing dengan mengupas padi menggunakan tangan selama 40 hari berturut-turut. Pangeran Djatikusumah, pemimpin adat ketiga masyarakat adat Sunda Wiwitan Kuningan, lantas memerintahkan warga membuat nasi tumpeng di rumah masing-masing dari hasil padi yang dikupas itu.
“Tetap ada (Seren Taun), spiritnya tetap. Jadi ya pertahanan, bukan perlawanan. Strategi kita selalu seperti itu. Karena kalau kita melawan, belum tentu kita bertahan. Tapi kalau kita bertahan, tanpa melawan pun kita bertahan,” ungkap Tati.
Tati menyebutkan, strategi bertahan yang terus dilakukan ini bukan tanpa alasan mendasar. Pertahanan yang dilakukan oleh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan bukan hanya perjuangan untuk eksistensi komunitas semata, tetapi perjuangan mempertahankan eksistensi Indonesia.
“Kalau semuanya sudah lupa dengan Sunda-nya, Jawa-nya, Aceh-nya, terus Indonesia akan hilang,” ucapnya.
Tati menyesalkan penolakan pemerintah Kabupaten Kuningan terhadap PMHA yang diajukan pada 11 April 2020 dengan surat nomor 19/Akur-Cigugur/IV/2020. Pengakuan dan perlindungan oleh pemerintah terhadap eksistensi masyarakat adat dan agama lokal yang sudah ada jauh sebelum negara ini merdeka, masih setengah hati.
“Semua ditolak. PMHA ditolak. Intinya gini, dari objeknya, subjeknya, predikatnya dibabat habis. Apalagi kalau bukan dinamakan dengan penghancuran?” kata Tati berapi-api.
Tidak Bisa Mengintervensi
Camat Cigugur Yono Rahmansah menyebutkan, pemerintah tidak bisa mengintervensi kasus sengketa lahan antara Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan dan Jaka Rumantaka karena kasus tersebut sepenuhnya berproses di pengadilan. Meski begitu, pemerintah kecamatan tetap melakukan dukungan dengan berkomunikasi serta menyediakan dokumen terkait pertanahan dan administrasi.
“Kita support, kita sediakan data kaitannya dengan pertanahan sesuai dengan kondisi dan fakta-fakta hukum yang ada, administrasi yang ada. Kita fasilitasi sih semuanya,” kata Yono ketika dihubungi dari Bandung, Rabu, 3 Juli 2024.
Dalam pengajuan PMHA pun, pemerintah kecamatan memandang bahwa itu merupakan hak masyarakat untuk mengajukan lagi meski pengajuan sebelumnya ditolak karena terdapat beberapa syarat yang belum terpenuhi. Menurut Yono, menjadi tugas pemerintah untuk memfasilitasi dan mengkomunikasikan ke semua stakeholder yang ada di wilayah kecamatan Cigugur.
Yono memandang bahwa keberagaman merupakan keniscayaan dan fakta yang sudah ada sejak lama di Cigugur. Salah satu upaya pemerintah kecamatan untuk menjaga keberagaman ini adalah dengan menggulirkan program RUKUN (Raket, Uplek, Kompak, Unik, Ngahiji) dan kampung toleransi. Program RUKUN dibuat untuk mengakrabkan masyarakat dari berbagai latar belakang masyarakat lewat pendekatan kultural dan emosional, sekaligus menonjolkan keunikan keberagaman yang dimiliki Cigugur.
Adapun kampung toleransi merupakan program yang menyasar pada tataran permukaan. Desa Cisantana di Cigugur ditetapkan sebagai kampung moderasi.
“Tujuannya adalah untuk merekatkan semua. Nah ini akan sangat efektif ketika ini tidak hanya seremonial, tetapi substansinya juga jalan,” terang Yono.
Yono mengklaim belakangan pihaknya melakukan advokasi untuk memberikan kemudahan dalam pencatatan perkawinan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Kuningan. Ia berharap program RUKUN bisa merekatkan semua warga dengan latar belakang berbeda di Cigugur.
Penetapan Masyarakat Hukum Adat Adalah Kunci
Pupuhu Adat Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan, Gumirat Barnan Alam, 60 tahun, menerangkan, tanah adat masyarakat Sunda Wiwitan tersebar di beberapa wilayah. Komunitas Sunda Wiwitan yang juga berada di Cimahi, Garut, Tasikmalaya, dan lainnya masing-masing memiliki tanah adat. Tanah adat berasal dari sejarah tanah-tanah yang pernah disinggahi Pangeran Madrais Alibassa.
“Tanah adat memang itu tidak bisa dimiliki oleh seorang individu pemimpin, tetapi ini milik komunal, milik bersama. Dirawat, dijaga, dan dikelola secara bersama-sama untuk kemaslahatan atau untuk kepentingan bersama,” kata Gumirat kepada BandungBergerak.id ketika dihubungi dari Bandung, Kamis, 13 Juni 2024.
Gumirat menyebutkan, khusus pada persoalan tanah adat, generasi muda memang belum menaruh perhatian dalam menjaga, merawat, dan mempertahankannya. Namun upaya mempertahankan kebudayaan, kearifan lokal, dan ajaran terus didorong untuk memupuk generasi muda yang konsisten meneruskan tuntunan dan yang diberikan oleh Pangeran Sadewa Madrais, Pangeran Tedjabuana, Pangeran Djati Kusuma, dan generasi seterusnya.
Menurut Gumirat, persoalan utama terkait lahan adat terletak pada pengakuan masyarakat hukum adat melalui Penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA), sebagaimana mekanismenya diatur dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan masyarakat hukum adat menjadi kunci untuk mempertahankan lahan adat serta seluruh pranata sosial masyarakat AKUR Sunda Wiwitan.
Sebelumnya, pada April 2020 lalu, Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Kuningan telah mengajukan penetapan MHA atau masyarakat hukum adat kepada Pemerintah Kabupaten Kuningan. Namun, pemerintah Kabupaten Kuningan menolak pengajuan tersebut berdasarkan surat bernomor 189/3436/DPMD yang ditandatangani Bupati Acep Purnama, pada Selasa, 29 Desember 2020.
Penolakan itu terbit setelah panitia yang diketuai Sekretaris Daerah (Sekda) melakukan identifikasi, verifikasi, dan validasi terhadap lima komponen, yaitu sejarah Masyarakat Hukum Adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, serta kelembagaan atau sistem pemerintahan adat. Lima komponen itu dinilai tidak dapat dipenuhi oleh Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Kuningan untuk dinyatakan sebagai Masyarakat Hukum Adat.
Meski ditolak, Gumirat menyatakan, pihaknya akan mengupayakan lagi pengajuan penetapan masyarakat hukum adat Sunda Wiwitan di tingkat provinsi Jawa Barat. Upaya ini memungkinkan dilakukan sebab komunitas Sunda Wiwitan tersebar di beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat. Penetapan bertujuan untuk mempertahankan lahan adat dan menjaganya dari upaya pencaplokan berbagai pihak.
“Jadi untuk penyelamatan aset-aset tanah yang ada di setiap wilayah masyarakat kami di setiap daerah itu (caranya) dengan Perda Gubernur. Dengan itu Masyarakat Hukum Adat AKUR Sunda Wiwitan sudah bisa melindungi lahan adat yang ada di beberapa wilayah masyarakat kami,” terang Gumirat yang merupakan anak laki-laki satu-satunya dari Pangeran Djatikusumah.
Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus menegaskan, konstitusi sebagai hukum tertinggi telah memerintahkan negara untuk memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat. Atas perintah konstitusi seharusnya pemerintah dan DPR menerbitkan peraturan perundang-undangan tentang masyarakat adat.
“Seharusnya negara ini punya kewajiban konstitusional untuk membentuk undang-undang masyarakat adat. Pemerintah di tingkat daerah diwajibkan untuk membentuk perda dalam rangka pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan. Nah seharusnya ini menjadi dasar oleh pemerintah Kuningan untuk menerbitkan,” kata Alam ketika dihubungi, Senin, 8 Juli 2024.
Alam berpendapat, komponen wilayah adat, hukum, adat istiadat, dan sejarah yang disyaratkan untuk penetapan Masyarakat Hukum Adat, dipandang sebagai upaya untuk menggali sejarah dan memberikan perlindungan. Ketika syarat tersebut belum terpenuhi, bukan lantas pemerintah tidak melakukan penggalian sejarah sama sekali.
Masyarakat adat, lanjut Alam, harus terus konsisten melaksanakan kewajibannya sebagai masyarakat adat. Sebagai bukti eksistensi, mereka harus bertekun dalam upaya mempertahankan wilayah adat serta melaksanakan ritus, ritual, kebudayaan, dan tradisi di wilayah adat sesuai dengan kepercayaan yang mereka yakini.
“Nah negara harus melihat ini, eksistensi dari masyarakat adat ini, dan segera memberikan perlindungan dan pelayanan kepada mereka. Dasar dari perlindungan dan pelayanan kepada mereka itu harus diatur berbentuk peraturan. Itu sebagai indikator dari pengakuan,” tegas Alam yang belakangan mengadvokasi terbitnya akta pernikahan 45 pasangan Sunda Wiwitan yang tidak kunjung diterbitkan oleh negara.
Baca Juga: DATA JUMLAH PENDUDUK PENGANUT KEPERCAYAAN DI JAWA BARAT 2013-2023: Menurun secara Signifikan
DATA PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA BERKEYAKINAN 2014-2023 DI INDONESIA: Jawa Barat Selalu Masuk 10 Besar Dalam Kurun 10 Tahun Terakhir
DATA JUMLAH PENDUDUK PENGANUT KEPERCAYAAN DI KABUPATEN BANDUNG BARAT 2013-2023: Bertahan Meski Terus Menyusut
Memupuk Generasi Adat
Meski beragam persoalan dihadapi oleh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan, meneruskan strategi bertahan kepada generasi adat menjadi langkah strategis yang harus dilakukan. Di tengah pergeseran pandangan hidup di kalangan generasi muda adat, orang tua, terutama ibu, memegang peran kunci.
“Respek terhadap ketradisian, terhadap adat dengan gak usah dikasih omong, dikasih contoh. Bagaimana ibunya sering ke tempat adat, menjadi panembang, bagaimana ibunya bersama-sama bergotong-royong ketika ada kegiatan. Jadi bukan dengan omongan 'kamu tuh harus begini-begini', tapi kasih contoh laku,” tutur Djuwita Djatikusuma Putri alias Atu Tati.
Cara lainnya adalah dengan membiasakan dan mendekatkan generasi dengan seni, budaya, dan tradisi Sunda Wiwitan. Jalan kesenian, menurut Tati, ampuh untuk menangkal persoalan yang kerap merundung generasi muda ada, yaitu diskriminasi.
“Melawan diskriminasi itu bukan dengan kata-kata, tapi dengan karya. Jadi saya bikinlah lagu-lagu yang bagaimana mereka itu benar-benar memahami Pancasila, merah-putih, bhineka itu bukan hanya sekadar slogan. Tapi jadi getaran di nadinya, betapapun orang-orang di sekitarnya bersikap berlawanan dengan itu, mereka harus teguh,” katanya.
Lagu berjudul Pusaka Negeri, misalnya, diciptakan oleh Tati menanggapi persoalan Makam Batu Satangtung. Penyegelan situs yang berbentuk lingga itu mencuat karena dinilai akan menjadi tempat pemujaan. Padahal, makam tersebut dipersiapkan untuk kedua orang tuanya, yaitu Pangeran Djatikusumah dan istrinya Ratu Emalia Wigarningsih.
“Mari berjabat tangan, ciptakan perdamaian, tak guna selisih faham. Kita bersatu padu, membangun jiwa baru, sadar kembali akan bangsamu. Letih sudah merintih, lelah sudah terjajah, saatnya bangkit bersatu,” demikian sepenggal lirik lagu Pusaka Negeri.
Mimpi Seorang Nonoman
Di bawah langit Kuningan dengan hawa pegunungannya yang khas, Paseban Tri Panca Tunggal berdiri anggun memancarkan nilai-nilai tradisionalnya. Bangunan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat adat Sunda Wiwitan itu adalah saksi bagi kehadiran para penganut agama leluhur dari generasi ke generasi. Kini, warisan karuhun itu berada di tangan para nonoman alias orang-orang muda. Salah satunya, Mulyati Gustina.
Tina lahir dari keluarga petani, sama seperti mayoritas warga Kuningan yang hidup dari hasil bumi. Namun, Tina tidak bermimpi melanjutkan hidup sebagai petani. Mimpi Tina khas orang-orang muda hari ini. Dia ingin menjadi seorang auditor setelah lulus kuliah nanti.
Bersama mimpi itu, Tina membayangkan diri akan merantau bekerja. Mimpi ini tentu akan menemukan banyak tantangan, di antaranya ia harus menemui orang-orang baru dan suasana pergaulan baru dengan kultur yang sama sekali berbeda dengan yang dialaminya selama ini di kampung. Jati dirinya sebagai Sunda Wiwitan akan diuji.
“Jadi pasti susah saya mempertahankan jati diri sebagai masyarakat adat, tapi saya juga tidak boleh ketinggalan, biar tetap mengikuti zaman tetapi saya gak boleh melupakan asal,” ungkap Tina yang rajin melakukan kurasan, bentuk ibadah dalam Sunda Wiwitan, dan tekun membaca buku-buku sejarah tentang Sunda Wiwitan.
Tina memang tidak pernah berniat menjadi petani atau berkebun melanjutkan usaha kedua orang tuanya. Tetapi dia tetap Sunda Wiwitan, keyakinan dari tanah leluhur yang akan selalu dia bawa-bawa setinggi apa pun cita-cita dan perjalanan hidupnya. Tanah itu sudah menjadi bagian dari darah dagingnya yang akan terus dia pertahankan.
*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID: https://infid.org/merayakan-seni-cara-perempuan-sunda-wiwitan-kuningan-turut-berjuang-mempertahankan-lahan-dan-tradisi/