• Foto
  • Seren Taun Cigugur

Seren Taun Cigugur

Cigugur merupakan potret kerukunan antarumat beragama. Warga di kaki Gunung Ciremai sana telah mempraktikkan toleransi sejak lama.

Fotografer Prima Mulia6 Juli 2024

BandungBergerak.id - Aroma dupa dan kembang melati tercium samar di udara pagi yang sejuk di Desa Cigugur, Kuningan, Sabtu, 29 Juni 2024 lalu. Warga berkerumun di sekitar bangunan cagar budaya Paseban Tri Panca Tunggal yang diperkirakan dibangun sejak tahun 1860. Di dua persimpangan ujung jalan yang mengapit paseban, petugas kepolisian sudah melakukan penutupan jalan, kendaraan bermotor dilarang memasuki area sekitar paseban agar tidak terjadi kemacetan.

Hari itu bertepatan dengan puncak rangkaian prosesi adat Seren Taun Cigugur (24 Juni-29 Juni) sesuai penanggalan Saka Sunda 22 Rayagung 1957. BandungBergerak mengikuti puncak seren taun dari arak-arakan hasil bumi yang dimulai dari KUD Dewi Sri di Jalan Raya Cisantana, letaknya sekitar satu kilometer dari paseban.

Iring-iringan kaum perempuan berkebaya putih membawa tampah dan baki-baki berisi hasil bumi seperti buah, sayur, khususnya padi yang menjadi simbol kemakmuran dan keberkahan bagi masyaraat Sunda. Begitu pula dengan kaum prianya, semua berpakaian putih sambil membawa payung terbuat dari janur kuning untuk memayungi para perempuan pembawa padi dan hasil bumi lainnya.

Sebagian anak-anak berpakaian putih dan pangsi hitam juga tampak girang sambil memanggul padi. Mereka berjalan beriringan dalam barisan pembawa hasil bumi (seserahan) sebagai perlambang ucapan rasa syukur atas hasil panen berlimpah dan berdoa untuk keberhasilan di musim tanam yang baru. Prosesi arak-arakan hasil bumi ini disebut ngajayak, yaitu berjalan kaki membawa hasil bumi dari empat penjuru sampai berakhir di di paseban Tri Panca Tunggal.

Sebelum ngajayak iring-iringan berhenti sekitar 50 meter dari paseban. Mereka bisa beristirahat dulu sejenak sambil menyaksikan sejumlah prosesi lain. Para penari jamparing apsari mulai bersiap masuk ke pelataran jalan di depan paseban yang sudah penuh sesak warga dan wisatawan yang sengaja datang untuk menyaksikan seren taun. Pelataran ini berfungsi sebagai panggung utama untuk menampilkan beberapa prosesi adat melalui seni tradisi.

Penari perempuan itu membawa busur panah. Makna tarian ini sebagai pengetuk hati nurani atau pemanah cinta kasih pada kemanusiaan. Usai tari jamparing apsari, masuk kaum pria mambawakan tari puragabaya gebang dan penampilan seorang ahli silat membawakan tari maung lugay.

Selanjutnya masuk pertunjukan angklung Kanekes dari Baduy, bersanding dengan angklung buncis, kesenian khas dari Cigugur. Angklung buncis disebut kreasi dari sesepuh adat Pangeran Djatikusumah yang idenya muncul berdasarkan keseharian masyarakat Cigugur.

Dan yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul, tari buyung. Tari buyung jadi ikon tersendiri di puncak prosesi Seren Taun Cigugur. Tarian ini dibawakan para penari perempuan yang membawa kendi tanah liat dan buyung (wadah air).

Buyung terbuat dari logam atau tanah liat yang diusung di atas kepala penari. Salah satu yang menarik adalah saat gemulai gerakan penari diperagakan sambil berdiri menginjak kendi. Makna filosofis tari buyung salah satunya adalah mengajak manusia untuk merawat dan melestarikan alam.

Usai tari buyung, iring-iringan pembawa hasil bumi mulai bersiap. Mereka akan masuk ke pelataran untuk memperlihatkan bentuk-bentuk menarik dari penataan hasil bumi dan padi, ada yang dipikul dengan jempana berhias, gunungan sayur mayur dan buah, dan tampah-tampah padi dengan untaian padi dibentuk seperti wayang. Prosesi ini disebut memeron. Iring-iringan pembawa hasil bumi ini berjalan pelan menuju ke paseban sekaligus menutup prosesi helaran di puncak Seren Taun Cigugur. Di paseban warga masyarakat bisa ikut menumbuk padi diatas lumpang.

"Baru pertama kali ikut, dulu sukanya nonton aja, sekarang baru ikutan. Seru bisa mengerti sejak proses awal sampai nanti masuk ke paseban, sambil melestarikan tradisi dan budaya nenek moyang juga kan," kata Kia (15 tahun) yang bertugas membawa tampah padi.

Ia berjalan berdampingan dengan kawannya, Tasya (18 tahun). "Saya juga baru pertama kali ikut, tradisi unik dan sakral," kata gadis lulusan SMA yang kini telah bekerja.

Setiap kali seren taun mereka mengusung tema kesadaran berkebudayaan. Mereka yakin bahwa kebudayaan harus dipertahankan.

Tema yang diusung pada seren taun kali ini yaitu merawat meruwat pusaka budaya Nusantara, salah satunya menggali nilai luhur tradisi bangsa melalui wayang. Menurut Kia dan Tasya, seren taun ini melibatkan rekan-rekan budayawan dan seniman dari luar Jawa Barat, seperti Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Depok, Jakarta.

Rukun di kaki Gunung Ciremai

Salah seorang tokoh Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan dan ketua panitia penyelenggara Seren Taun 2024 Ratu Dewi Kanti menjelaskan, seren taun terselenggara berkat dukungan masyarakat. Seren taun didukung oleh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan di Jawa Barat.

“Bagaimana kita menjaga nilai kearifan lokal melalui nilai budaya spiritual, nilai budaya seni dan lain sebagainya," terang Ratu Dewi Kanti.

Keseruan seren taun terekam jelas di wajah-wajah warga yang menonton. Di Cigugur kita bisa melihat sangat jelas betapa warganya hidup berdampingan dengan damai, apa pun kepercayaannya. "Dari pagi kita sudah di sini, ingin melihat secara lengkap prosesi adat dan kesenian tradisi saat seren taun," kata Kipa (14 tahun). Ia bersama beberapa kawannya berdiri di sebarang paseban sambil menyaksikan jalannya prosesi.

Tampak sejumlah remaja yang kegirangan saat melihat pertunjukan tari buyung, rupanya mereka memang menunggu tarian khas Seren Taun Cigugur ini. Identitas remaja yang menonton ini tampak dari pakaian atau aksesoris yang mereka kenakan; yang satu memakai kebaya, yang satu berhijab, yang satu lagi berkalung salib. Mereka adalah generasi penerus penganut Sunda Wiwitan, Islam, dan Katolik di Cigugur, selain Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha.

Cigugur, sebuah desa adat di kaki Gunung Ciremai, warganya hidup rukun tanpa harus koar-koar atau kampanye masalah toleransi. Semuanya hidup bermasyarakat dari generasi ke generasi. Di pelosok kampung gereja dan masjid berdiri berdekatan. Dalam satu keluarga besar di Desa Cigugur tiga agama itu hidup berdampingan sejak dulu. Tanpa ada gontok-gontokan atau perseteruan.

Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan sendiri ada di Cigugur berkembang sejak digagas oleh Pengeran Madrais atau Pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat, konon sejak tahun 1925. Madrais sebelumnya mendirikan pesantren di Cigugur sejak tahun 1885, sebelum akhirnya berkembang jadi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan atau kerap disebut Agama Djawa Sunda.

Sejak itu kepercayaan madraisme ini disebut Agama Djawa Sunda. Menurut perpustakaan digital UIN Sunan Gunung Djati (digilib.uinsgd.ac.id), selanjutnya kepercayaan ini berubah nama dan disebut Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PAKCU), sampai akhirnya saat ini masyarakat adat Cigugur  menyebutnya Adat Karuhun Urang atau AKUR Sunda Wiwitan.

Seren Taun Cigugur sempat dilarang di masa pemerintahan Orde Baru, namun kembali bisa digelar secara terbuka di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tantangan terkini yang dihadapi Cigugur seperti juga daerah-daerah pertanian lainnya adalah regenerasi pelestari adat dan budaya mereka.

Karena kita tidak bisa menghindari modernisasi dan arus informasi tanpa batas di segala aspek kehidupan manusia; pertumbuhan jumlah penduduk, alih fungsi lahan, serta perubahan iklim, yang sudah pasti akan sangat berdampak pada budaya masyakarat agraris. Andai salah menyikapi malah bisa tercerabut dari akar budayanya sendiri. Sejatinya upaya pelestarian alam akan selalu jadi roh dari budaya, seni, dan tradisi warisan masa lalu untuk masa mendatang, seperti semangat konservasi dalam tradisi Seren Taun Cigugur.

*Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//