Dari Sebuah Doa Lintasiman

Keberagaman beragama dan berkeyakinan di Cigugur, Kuningan telah lama terjalin secara alami. Hidup rukun lintasiman menjadi kebiasaan sehari-hari.

Doa lintas iman untuk mendoakan jemaat Katolik yang juga keturunan dari Sunda Wiwitan Cigugur di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Sabtu, 1 Juni 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul26 Juli 2024


BandungBergerak.idPangeran Gumirat Barna Alam, Pupuhu Adat Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan, menyambut para tamu di tangga pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kabupaten Kuningan. Mengenakan pakaian putih-putih dan iket di kepala, ia menyapa setiap tamu, menyalami mereka, dan mempersilakan masuk.

Di dalam pendopo, kursi-kursi telah disusun rapi, termasuk kursi singgasana. Di atas sebuah meja yang menjorok ke bagian ceruk paling depan pendopo, tertata salib, patung bunda maria, satu karangan bunga, dan sebuah foto. Bendera dan aksesori lainnya juga menghiasi pendopo ini.

Sabtu malam, 1 Juni 2024 itu merupakan peringatan 40 hari wafatnya Ibu Ratu Vincentia Purwaningsih Alibassa, adik dari Pangeran Djatikusumah yang memeluk agama Katolik. Vincentia merupakan bibi Gumirat, putra tokoh Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah yang merupakan seorang penghayat agama leluhur. Doa lintasiman, antara agama Katolik dan Sunda Wiwitan, akan berlangsung. 

Satu-satunya anak lelaki Pangeran Djatikusumah ini mengajak seluruh masyarakat adat yang masih berada di luar pendopo paseban untuk segera masuk. Bersamaan dengan itu, warga dan umat dari Gereja Katolik Paroki Kristus Raja terus berdatangan. Setelah menaiki tangga, lima orang warga adat menyambut para tamu dengan permainan gamelan dan kendang. Bunyi mengalun pelan, tetapi nyaring dan nyaman didengar. 

Seluruh kursi-kursi tamu terisi penuh oleh umat Katolik dan masyarakat adat Sunda Wiwitan. Umat Katolik yang pria mengenakan pakaian kemeja, sementara penganut Sunda Wiwitan pria mengenakan iket. Para tamu perempuan terlihat mirip. Ada yang memakai kebaya dan blus. 

Beberapa menit sebelum doa lintas iman memperingati 40 hari kematian Ibu Ratu Vincentia dimulai, kertas bacaan doa Katolik berbahasa Sunda dibagikan. 

Setelah menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran seluruh tamu undangan dan masyarakat, Gumirat memimpin doa kepercayaan Sunda Wiwitan. Hening beberapa saat. Lalu, Gumirat merapalkan doa berbahasa Sunda karuhun. Para penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan menyelaraskan diri dengan doa itu, merapalkan doa yang sama, namun dengan suara yang kecil, semacam berbisik.

Rahayu, rahayu, rahayu karasani Gusti,” ucap Gumirat dilantangkan oleh pengeras suara.

Pun, pun, pun,” demikian doa ditutup. 

Tak ada jeda. Seorang perempuan segera memimpin doa umat Katolik, disusul lagu pembuka “Ayeuna Wargi Abdi”. 

Setelah pembacaan Injil Matius. umat menyanyikan lagu “Gusti Sing Maparin”. Berikutnya, doa rosario. Seorang pria yang memakai jaket berwarna gelap membacakan doa sambil menggenggam salib kecil di tangannya. Semua doa Katolik dibacakan menggunakan bahasa Sunda. 

Sembahyang malam itu diakhiri dengan doa penutup dan lagu pamungkas “Mung Ka Anjeun”. Umat menuntaskan seluruh rangkaiannya dengan tanda salib di kepala dan tubuh.

Doa lintasiman itu pun dipungkasi dengan makan bersama. 

Gumirat (60 tahun), pupuhu adat karuhun Sunda Wiwitan, menyambut umat Katolik yang berdatangan ke Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Sabtu, 1 Juni 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Gumirat (60 tahun), pupuhu adat karuhun Sunda Wiwitan, menyambut umat Katolik yang berdatangan ke Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Sabtu, 1 Juni 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Baca Juga: DATA JUMLAH PENDUDUK PENGANUT KEPERCAYAAN DI JAWA BARAT 2013-2023: Menurun secara Signifikan
DATA JUMLAH PENDUDUK PENGANUT KEPERCAYAAN DI KABUPATEN BANDUNG BARAT 2013-2023: Bertahan Meski Terus Menyusut
DATA PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA BERKEYAKINAN 2014-2023 DI INDONESIA: Jawa Barat Selalu Masuk 10 Besar Dalam Kurun 10 Tahun Terakhir

Terbiasa dengan Perbedaan

Keberagaman menjadi hal yang lumrah di Cigugur, Kabupaten Kuningan. Warga dengan latar belakang agama berbeda hidup bersama dengan damai dan rukun. Kecamatan Cigugur menjadi salah satu pusat tumbuh dan berkembangnya kepercayaan Sunda Wiwitan yang dulu dikenal sebagai Agama Djawa Sunda. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kuningan, per tahun 2023 jumlah penganut penghayat kepercayaan di Kuningan sebanyak 466 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 293 orang tinggal di Kecamatan Cigugur. Sebagai perbandingan, diketahui jumlah penganut Islam sebanyak 1.214.561 orang, Katolik 5.577 orang, Protestan 2.448 orang, Buddha 148 orang, dan Hindu sembilan (9) orang. 

Paseban Tri Panca Tunggal, yang menjadi pusat aktivitas masyarakat adat karuhun urang Sunda Wiwitan, berdiri dekat dengan bangunan Gereja Katolik Paroki Cigugur. Di Kecamatan Cigugur juga terdapat Kampung Toleransi di Desa Cisantana. Saking “terbiasanya” dengan perbedaan dan keberagaman, adalah lumrah dalam satu keluarga terdapat tiga orang pemeluk agama yang berbeda, yaitu muslim, Katolik, serta penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.

Mulyati Gustina, 21 tahun, salah seorang nonoman (orang muda) Sunda Wiwitan, mengamini hal itu. Keluarga intinya merupakan pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan, sementara beberapa kerabat lainnya, seperti adik atau kakak dari ayahnya, bukanlah masyarakat adat Sunda Wiwitan. 

“Tapi tetap kita sama-sama merayakan, misalnya ada hari Natal, kita sama-sama merayakan, berkunjung ke rumah-rumah, atau Idul Fitri Idul Adha gitu. Dan mereka juga menghormati saya sebagai masyarakat adat dengan ikut berpartisipasi di Seren Taun, dengan mengetahui acara-acara adat di sini. Saling menghormati,” ungkap Tina, demikian dia kerap disapa saat ditemui di kompleks Paseban, Minggu, 2 Juni 2024.

Tina memandang bahwa keberagaman adalah suatu hal yang mempercantik tatanan masyarakat. Manusia memang diciptakan berbeda-beda agar saling mengenal dan mempelajari sesama untuk hidup rukun dan damai. Tina juga meyakini bahwa setiap kepercayaan, agama, dan kebudayaan mengajarkan kebaikan. 

Nonoman Sunda Wiwitan lainnya, Gumilar Sumardi, 23 tahun, berasal dari Garut. Masa mudanya, mulai dari SMP hingga SMK, banyak dihabiskan di Cigugur. Sambil bersekolah, ia menjalani kehidupan sebagai orang muda masyarakat adat AKUR Sunda Wiwitan.

“Kalau di Garut, mereka belum mengerti yang namanya Sunda Wiwitan. Agama apa itu,” cerita Gumilar. “Jadi ya menganggapnya kami itu berbeda, banyaklah perundungan, kayak ya dikata-katain, gitu. Dibedakan.”

Meski pernah mengalami perundungan, Gumilar memilih diam. Ia percaya, perundungan terjadi karena ketidaktahuan akan perbedaan. Langkah yang menurutnya bisa diambil adalah pembiasaan dengan keberagaman di tengah masyarakat. Dengan demikian, praktik-praktik perundungan tidak akan terwariskan.

“Jadi kasianlah kepada generasi-generasi muda yang lain, yang di bawah kami. Janganlah seperti kita gitu,” harap Gumilar. “Jadi dengan adanya (pembiasaan dengan keberagaman) itu, mereka paham, generasi ke depan paham dan menjalaninya lebih mudah.”

*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Artikel ini juga dimuat di laman INFID: https://infid.org/dari-sebuah-doa-lintasiman/

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//