MAHASISWA BERSUARA: Konten Makanan Viral Hanya Memberi Dampak Negatif pada Konsumen dan Pelaku Usaha
Fenomena makanan viral di media sosial telah mengubah pola konsumsi masyarakat. Memicu konsumsi impulsif demi mengikuti tren dan menciptakan masalah bagi lingkungan.

Elsa Abigail Susan Manueke
Mahasiswa Teknologi Rekayasa Pangan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
21 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Pernahkah Anda merasa terdorong untuk membeli suatu makanan yang viral di media sosial? Di era digital saat ini, rasanya media sosial sudah menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan. Menurut data We Are Social (2025), hingga Januari 2025 terdapat sekitar 143 juta pengguna media sosial di Indonesia, mencakup 50,2 persen dari total populasi. Angka ini menunjukkan tingginya paparan masyarakat terhadap konten digital, termasuk konten makanan viral.
Tren makanan viral terus mendominasi di seluruh media sosial. Banyak pemengaruh dengan sengaja menggunakan ketenarannya untuk menjual suatu produk makanan tanpa memperhatikan keseimbangan gizi dan menjual suatu produk dengan harga yang tidak wajar. Konsumen tetap membeli karena pengaruh visual dan kebutuhan sosial, tetapi tidak menggunakan pertimbangan logis. Hal ini tentu dapat menimMbulkan berbagai persoalan. Mulai dari pengaruh makanan yang dikonsumsi pada kesehatan tubuh, harga yang melambung tanpa alasan yang jelas, juga peningkatan limbah makanan akibat pembelian impulsif. Tidak dapat dipungkiri, media sosial yang menyajikan konten produk makanan hingga viral dapat memberikan dampak negatif, baik bagi konsumen, maupun pelaku usaha kuliner.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Liberal Arts, Merdeka Belajar Kampus Merdeka, dan Pentingnya Fleksibilitas Akademik di Era Global
MAHASISWA BERSUARA: Membatasi Penggunaan AI, Mengasah Pikiran Kritis
MAHASISWA BERSUARA: Mencari Solusi untuk Kemacetan Abadi Cibiru-Cileunyi
Kualitas Makanan Viral yang Kurang Diperhatikan
Sering kali kita membeli makanan hanya dengan pertimbangan yang penting enak dan visual yang menarik. Makanan yang viral sudah dirancang sedemikian rupa untuk menarik perhatian visual. Pedagang makanan biasanya membuat konten dengan cara menambahkan taburan keju yang berlebihan sehingga menarik penonton untuk membeli. Padahal, konsumsi keju yang berlebihan dapat berdampak pada kesehatan manusia. Contoh penyakitnya yaitu sembelit.
“Dalam jangka pendek, mengonsumsi keju dalam jumlah besar dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan perut kembung secara langsung, sedangkan konsumsi berlebihan dalam jangka panjang dapat memicu sembelit kronis,” ujar Mary Sabat MS, RDN, LD kepada Eat This, Not That! (2023).
Pengolahan makanan tentunya harus lebih diperhatikan kualitasnya. Satu contoh nyata yang sedang tren di pertengahan tahun 2025 ini adalah produk makanan dari seorang penyanyi terkenal, Donat Pinkan Mambo. Donat buatan seorang artis sedang viral di media sosial karena donatnya yang sangat berminyak. Terlihat di media sosial banyak netizen yang membeli donat ini karena sedang viral. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada kesehatan konsumen. Mengonsumsi makanan yang berminyak dapat meningkatnya berat badan dan kolesterol jahat (LDL) sehingga berpotensi tubuh akan obesitas dan terkena penyakit jantung.
Merusak Harga Pasar
Masih berlanjut, donat berlabel Pinkan Mambo menjadi sorotan publik setelah dijual dengan harga 200 ribu rupiah per kotak berisi 12 buah. Hal ini memicu banyak perdebatan di media sosial karena harga yang tidak wajar. Netizen menilai harga tersebut tidak sebanding dengan tampilan dan kualitas yang diperlihatkan, terutama setelah beberapa food reviewer menilai tekstur donatnya padat, kurang lembut, dan dikemas secara sederhana. Perbandingan pun muncul dengan donat buatan UMKM yang dijual dengan harga lebih murah, tetapi rasa dan kualitasnya dinilai tidak jauh berbeda. Juga fenomena ini menggambarkan bagaimana harga tinggi sering kali diasosiasikan dengan penggunaan bahan premium, sehingga secara tidak langsung memberi kesan bahwa produk berharga murah memiliki kualitas lebih rendah padahal banyak produk UMKM menawarkan kualitas setara.
Selain itu, sebagian orang tetap membeli karena efek Fear Of Missing Out (FOMO) dan dorongan untuk mengunggah konten makanan viral di media sosial mendorong konsumen untuk membeli produk tersebut meski harganya dianggap tidak wajar. Dampaknya, UMKM yang tidak memiliki kekuatan promosi sebanding dengan figur publik dan viralitas media sosial menjadi sulit bersaing, bukan karena kalah kualitas, melainkan karena kalah dalam membentuk persepsi nilai di mata konsumen. Selanjutnya, beberapa orang memiliki gaya hidup konsumerisme yang mengutamakan kebahagiaan diri dalam pembelian suatu produk. Takut ketinggalan tren menjadi salah satu faktor konsumen tetap membeli suatu produk walaupun harganya dijual sangat mahal dan tidak sesuai.
Potensi Terjadinya Food Waste
Penjual makanan kini semakin memanfaatkan media sosial sebagai wadah utama untuk mempromosikan produk mereka. Tidak jarang, pedagang bekerja sama dengan publik figur untuk memasarkan makanan, bahkan sengaja melebih-lebihkan rasa dan kualitas produk demi menarik perhatian calon pembeli. Padahal, penilaian terhadap rasa bersifat subjektif. Makanan yang dianggap lezat oleh sebagian orang belum tentu sesuai dengan selera orang lain. Jika makanan yang dikonsumsi oleh konsumen tidak sesuai selera, makanan tersebut akan dibuang sehingga menyebabkan terjadinya food waste.
Berdasarkan kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sepanjang periode 2000 hingga 2019, Indonesia menghasilkan sampah makanan antara 23 hingga 48 juta ton setiap tahun, atau setara dengan 115–184 kilogram per orang per tahun. Masalah ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai 231-551 triliun rupiah per tahun, setara 4-5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah makanan yang terbuang tersebut sejatinya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan 30-40 persen penduduk Indonesia. Kemudian data tahun 2024, adanya hampir 40 persen sampah makanan dari total sampah di Tempat Pembuangan Akhir. Hampir 20 juta ton sampah di TPA adalah makanan. (Antara News, 2025).
Dengan demikian, kenaikan angka food waste di Indonesia kemungkinan terjadi karena konsumsi impulsif yang dilihat di media sosial. Konsumen membeli makanan demi ikut tren tanpa mempertimbangkan selera atau kebutuhan sehingga mengakibatkan makanan tersebut tidak habis dikonsumsi, akhirnya hanya akan menjadi limbah. Hal ini berdampak tidak cuma pada kerugian ekonomi dan lingkungan, melainkan juga pada kesempatan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Media sosial tentunya sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Fenomena makanan viral di media sosial telah mengubah pola konsumsi masyarakat. Fokus yang berlebihan pada tampilan dan popularitas membuat kualitas serta kandungan gizi makanan kerap terabaikan. Juga sifat konsumsi yang impulsif demi mengikuti tren dapat memperbesar risiko terjadinya food waste, justru menciptakan masalah bagi lingkungan. Untuk itu, kita harus lebih hati-hati dalam memilih makanan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara