Distopia dalam Triger (2025), Ketika Senapan sebagai Macis Pembalasan Dendam
Serial Trigger menyajikan gambaran situasi kekacauan Korea Selatan akibat kejahatan. Ketika senapan menjadi pemantik ledakan emosional.

Lisa Nurjanah
Menasbihkan eksistensinya untuk seni dan dialektika
22 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan.
Jargon tersebut setidaknya familier bagi orang-orang yang sempat menikmati tayangan berita “Sergap” di stasiun televisi pada siang hari. Dibawakan oleh Bang Napi, ia memperingatkan agar setiap orang berhati-hati, karena di mana ada kesempatan, di situlah ada kejahatan. Niat jahat bukan satu-satunya faktor untuk alasan mengapa orang tersebut melakukan tindak kriminal, melainkan kesempatan melakukannya turut mendukung. Sampai saat ini, jargon Bang Napi masih relevan untuk menggambarkan berbagai tindak kejahatan yang terjadi. Hal yang menggambarkannya ini juga berlaku untuk karya fiksi seperti film dan serial. Layaknya Trigger (Netflix, 2025), serial debut sutradara Kwon Oh Seung sebanyak 10 episode menelusuri bagaimana pemikiran serta tindakan manusia ketika kesempatan itu hadir di depan mata.
Lee Do (Kim Nam Gil), seorang polisi yang memiliki trauma terhadap senapan, harus menghadapi masalah ketika senjata api itu beredar untuk masyarakat umum di Korea Selatan. Di episode 1, Yoo Jeongtae (Woo Ji-hyun), merupakan pelaku pertama penembakan, yang dilatarbelakangi oleh kekesalannya dari mulai dari teguran kursi untuk ibu hamil yang diabaikan, suara berisik dari kamar sebelah yang mengganggu, sampai tumis ikan teri miliknya yang dicuri oleh penghuni lain apartemen. Beragam karakter lain yang akhirnya mendapatkan senapan pun diceritakan di episode selanjutnya, mulai dari pelaku kekerasan seksual, ibu yang memperjuangkan hak anaknya, sampai korban perundungan di sekolah. Setidaknya, diperlukan menonton 2-3 episode untuk memahami konflik utama dari serial ini, yang bisa disimpulkan bahwa pattern mengapa mereka mendapatkan senapan dilatarbelakangi oleh hal serupa: merasa haknya sebagai manusia dirampas. Adanya penemuan senapan melalui pengiriman paket menjadi trigger karakter untuk menembaki siapa pun yang dirasa membuat mereka menderita.
Baca Juga: Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film
Belajar Menikmati Hidup dari Hirayama di Film Perfect Days
Kematian Rakyat Seperti di Film-film
Senapan sebagai Simbol Kesempatan
Kata trigger cukup sering dijumpai di media sosial, khususnya X. Akun dengan layanan bot menfess (mention confess) cenderung menerapkan aturan agar menyertakan kata trigger warning terhadap konteks yang bisa membuat sebagian orang kurang nyaman, seperti hewan tertentu, pembahasan mengarah ke 18+, ataupun darah. Dalam psikologi, mengutip dari jurnal Triggered Recurrence Factors of Mental Illness Patients in an Emergency Unit in a Psychiatric Hospital, trigger adalah pemicu munculnya tekanan emosional, yang jika dialami oleh orang dengan kemampuan coping rendah, ia makin berisiko mengalami gangguan mental.
Serial Trigger memanfaatkan senapan sebagai “mancis” atau pemantik terjadinya ledakan emosional. Keputusan karakter menarik pelatuk menjadi katalis, diperlihatkan melalui close up shot yang meng-highlight ekspresi sebagai penanda bahwasanya keputusan mereka menentukan jalannya plot. Penggunaan senapan adalah kesempatan bagi mereka mengadvokasi perubahan.
Bila diperhatikan pun, para penerima senapan cenderung diberikan unsur “warna biru”. Entah melalui pakaian, benda yang dikenakan, maupun elemen di sekitarnya. Ini menekankan bahwa mereka adalah karakter yang teralienasi, mengingat biru cenderung diinterpretasikan sebagai keterasingan, kesedihan, atau nuansa dingin. Mengambil dari referensi kritik film oleh Della Rosa terkait Budi Pekerti, alienasi ini menyebabkan seseorang mempunyai kesadaran. Jika kesadaran tersebut bersifat kritis, ia bisa terdorong melakukan perubahan. Sebaliknya, jika kesadaran itu naif, mereka hanya sadar akan ketidakadilan dan cenderung menerimanya saja. Para karakter Trigger, setidaknya bisa saya simpulkan mengalami kesadaran kritis yang diwujudkan melalui senapan sebagai medium.
Distopia dalam Trigger
Netflix mengkategorikan Trigger sebagai serial ber-genre distopia, yang sebenarnya menurut saya sendiri “tidak-distopia-distopia-banget” karena negara dengan kepemilikan senapan legal sudah ada di dunia nyata seperti Amerika Serikat, Kanada, juga Finlandia. Bahkan, pada kawasan Asia terdapat Filipina. Trigger hanya mengaplikasikan premis berdasarkan rumusan masalah “bagaimana jika semua warga (Korea Selatan) memiliki senjata api?” diiringi dengan meningkatnya dehumanisasi dan tindak kejahatan –sebagaimana yang juga terjadi dalam realitas negara-negara bersangkutan.
Ada beberapa elemen yang biasanya ditemukan dalam cerita distopia sebagaimana yang dijelaskan oleh Ivan Sayyid Adimukti dalam Karakteristik Masyarakat Dystopia dalam Film Fiksi Ilmiah Hollywood. Karakteristik tersebut di antaranya yaitu kesesuaian (conformity), kontrol dan perbudakan, ketergantungan terhadap teknologi, penggambaran setting tempat yang jelas dan detail, karakter protagonis yang kuat dan serba bisa, serta kesimpulan akhir yang belum jelas.
Kesesuaian (conformity), yakni karakteristik masyarakat telah dibentuk dari penindasan oleh pihak opresif, di mana kebebasan mereka telah direnggut. Trigger menyajikan gambaran situasi kekacauan Korea Selatan akibat kejahatan, yang disebutkan terdapat “ledakan intermiten” sebagai gangguan mental di balik fenomena ini. Tingkat bunuh diri di negara tersebut, dalam ceritanya, juga menjadi tertinggi di antara negara OECD, walaupun memang penyajiannya dalam serial ini tidak begitu ekstrem. Alih-alih menyajikan distopia yang membuat tidak nyaman, Trigger masih menyajikan sinematografi live action memanjakan mata. Penonton masih bisa melihat Korea Selatan yang memang “Korea Selatan” pada kondisi umum, tidak seperti saat melihat Gotham City, sebuah distopia urban yang benar-benar kelam. Adegan di mana Jeongtae berusaha menembak melalui dinding mencerminkan realita tentang “tipisnya” dinding apartemen di Korea Selatan, yang juga diangkat sebagai masalah pada Netflix movie “Wall to Wall” (2025).
Ketika akhirnya Lee Do bertemu dengan Moon Baek (Kim Young Kwang), diceritakan masa lalunya bahwa ia adalah korban dari penjualan organ manusia, sehingga Moon Baek merupakan karakter untuk penggerak elemen kontrol dan perbudakan. Penyebaran senjata pun dilakukan secara mudah, yakni melalui pemesanan di Telegram, menegaskan elemen ketergantungan pada teknologi. Dalam dunia nyata, penggunaan Telegram di Korea Selatan pun cenderung digunakan ke arah negatif. Dilansir dari Teknologi.id, terdapat penyebaran konten pornografi deepfake menggunakan foto-foto korban dan membagikannya di grup aplikasi tersebut. Sayangnya, meski mengangkat permasalahan kekerasan seksual melalui karakter Jeon Wonseong (Lee Suk), di episode 1, ini hanya menjadi masalah selintas saja.
Agaknya disayangkan karena serial ini hanya memberikan peringatan pada episode kekerasan di sekolah, padahal seharusnya episode awal juga menyertakan peringatan tersebut. Lee Do yang tengah berpatroli di sana hanya memperingatkan, “Sebelum berkunjung, lihatlah daftar pelaku kejahatan seksual”. Selintas, kalimat ini sederhana dan tak ada yang salah, tetapi berpotensi adanya victim blaming. Seolah jika seseorang menjadi korban, disebabkan karena dirinya tidak “memeriksa daftar pelaku” terlebih dahulu. Saya pun tidak mengelak bisa saja ada penyederhanaan terjemahan, karena bagi saya, akan lebih baik narasi tersebut disusun menjadi: “Kami (polisi) berkomitmen melindungi seluruh masyarakat. Terdapat daftar pelaku kejahatan yang bisa diakses sebagai langkah tambahan untuk keamanan pribadi.” Mengingat Trigger ingin menegaskan peran polisi dengan baik melalui karakter Lee Do, dialog karakter haruslah memberikan kesan bahwa polisi aktif melindungi dan mengajak masyarakat berpartisipasi. Pada akhirnya, karena tidak ada kelanjutan dari karakter perempuan yang merupakan calon korban, saya tidak yakin apa fungsi dari adanya plot ini.
Ditambah lagi, sebagai seorang polisi, karakter Lee Do dibuat serba bisa, yang sampai membuat saya mempertanyakan apakah Lee Do ini sengaja dibuat gary stu karena hampir semua pertarungan di lapangan dimenangkan olehnya. Traumanya terhadap senapan bisa jadi sebagai pengingat meskipun dirinya cenderung kuat dalam pertarungan, ia adalah manusia biasa.
Lantas, akhir dari Trigger, sebagaimana unsur distopia memiliki kesimpulan akhir yang belum jelas pun berlaku sama pada serial ini. Tersisa pertanyaan-pertanyaan yang membuat penonton berpikir dan harus menginterpretasikan sendiri, atau setidaknya mungkin lebih baik memang mengadakan diskursus ketimbang mengharapkan adanya season 2. Meski demikian, hal yang patut diapresiasi dari akhir Trigger adalah bagaimana konsistensi Lee Do menjunjung teguh nilai-nilai kemanusiaan dan pengorbanan di tengah kekacauan.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB