• Berita
  • Membahas Ingatan dari Timor di Perpustakaan Bunga di Tembok, Film Dokumenter tentang Konflik Bersenjata dari Perspektif Orang Muda

Membahas Ingatan dari Timor di Perpustakaan Bunga di Tembok, Film Dokumenter tentang Konflik Bersenjata dari Perspektif Orang Muda

Film dokumenter Ingatan dari Timor produksi Watchdoc menggambarkan dampak panjang konflik bersenjata di Timor Leste.

Pemutaran film dokumenter Ingatan dari Timor di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 29 Agustus 2025. (Foto: Instagram KawanBergerak)

Penulis Iman Herdiana5 September 2025


BandungBergerakAzizah Novi Amelia sempat ragu menginjakkan kaki di Timor Leste. Sebagai warga negara Indonesia, ia menyadari adanya beban sejarah kelam antara Indonesia dan negeri yang pernah menjadi provinsi ke-27 Nusantara itu. Ia mengunjungi titik-titik bekas konflik bersenjata, dan berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat. Namun, kekhawatannya tak terbukti.

“Saat tiba di sana, sangat berbeda dengan apa yang saya pikirkan,” kata Azizah dalam salah satu adegan di film dokumenter “Ingatan dari Timor”, yang diputar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 29 Agustus 2025. Azizah adalah mahasiswa Universitas Brawijaya sekaligus pemeran utama dalam film dokumenter garapan Watchdoc tersebut.

Melalui sudut pandang Azizah, “Ingatan dari Timor” menggambarkan kehidupan masyarakat Timor Leste masa kini dan masa lalu ketika wilayah tersebut masih berada dalam kekuasaan Indonesia. Azizah menjadi representasi generasi muda Indonesia yang saat konflik bersenjata berlangsung mungkin belum lahir atau masih kecil.

Film dokumenter ini berangkat dari latar sejarah konflik berkepanjangan antara Indonesia dan Timor Timur (sebutan Timor Leste di masa lampau) yang terjadi antara tahun 1975 hingga 1999. Konflik ini diwarnai oleh berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara selama rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Dalam film, Azizah mendatangi berbagai lokasi pelanggaran HAM, termasuk bekas penjara tempat para tahanan politik ditahan. Salah satu adegan memperlihatkan dirinya masuk ke sebuah sel gelap dengan dinding-dinding yang rapat—tempat para aktivis prokemerdekaan ditahan tanpa proses pengadilan. 

Ia juga mengunjungi Pemakaman Santa Cruz di Dili, lokasi yang menjadi saksi kekerasan militer terhadap warga sipil. Diperlihatkan juga adegan permakaman yang berubah menjadi tragedi brutal. Seorang jurnalis berhasil menyembunyikan rekaman penembakan ini sehingga beritanya sampai ke luar negeri.

Bagi Azizah, kunjungan ini penting bagi generasi muda untuk menyelami sejarah kelam yang tidak boleh terulang kembali.

“(Kita) bisa belajar (sejarah) dari literatur, tapi kalau bisa datang ke sini dan merasakan sendiri, akan lebih terasa bahwa Timor Leste sangat kental dengan sejarah,” ujarnya.

Film ini juga menyoroti bagaimana pada masa pemerintahan Soeharto, Timor Timur dinarasikan sebagai bagian dari Indonesia. Banyak aspek sejarah wilayah ini yang tidak diungkap secara utuh. Baru setelah reformasi, fakta-fakta mulai terkuak, termasuk bahwa Timor Timur bukan bekas koloni Belanda, melainkan koloni Portugal.

Latar Belakang Sejarah Timor Timur

Dalam jurnal KALA MANCA: Jurnal Pendidikan Sejarah, Nisfi Sulpina, mahasiswa Pendidikan Sejarah di Universitas Setia Budhi Rangkasbitung, mengulas konflik Indonesia–Timor Leste pada periode 1975–1999. Konflik ini bermula setelah kudeta militer di Portugal pada 25 April 1974 (Revolusi Bunga), yang membuat Portugal mulai melepaskan wilayah koloninya, termasuk Timor Timur.

Kekosongan kekuasaan itu memicu munculnya sejumlah partai politik seperti UDT, Apodeti, KOTA, dan Fretilin. Sementara UDT, Apodeti, dan KOTA mendukung integrasi dengan Indonesia, Fretilin yang berhaluan kiri justru memperjuangkan kemerdekaan.

Pada 17 Juli 1976, Timor Timur resmi dinyatakan sebagai provinsi ke-27 Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1976. Namun, Fretilin tetap melakukan perlawanan bersenjata, menolak integrasi tersebut.

Konflik memuncak ketika Indonesia melancarkan Operasi Seroja pada Desember 1975. Intervensi militer ini didorong oleh kekhawatiran terhadap pengaruh komunisme dan dominasi Fretilin. Operasi tersebut disertai berbagai pelanggaran HAM, salah satunya Insiden Santa Cruz pada 12 November 1991, saat aparat keamanan menembaki massa aksi damai di pemakaman Santa Cruz, yang menyebabkan ratusan korban jiwa. Peristiwa ini menjadi sorotan dunia internasional.

Setelah jatuhnya Soeharto pada 1998 dan dimulainya era Reformasi, Presiden B.J. Habibie menawarkan otonomi khusus bagi Timor Timur. Namun, mayoritas rakyat menolaknya. Pada 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat yang difasilitasi oleh PBB, sebanyak 78,5 persen warga memilih merdeka. Proses menuju kemerdekaan ini diwarnai dengan kekerasan, pengungsian, dan pelanggaran HAM oleh milisi pro-integrasi. Akhirnya, pada 20 Mei 2002, Timor Leste memproklamasikan kemerdekaannya secara resmi.

Baca Juga: Peringatan Lengsernya Suharto dalam Kemunduran Reformasi 1998 di Taman Braga dan Kebun Binatang Bandung
Catatan 24 Tahun Reformasi

Diskusi dan pemutaran film dokumenter Ingatan dari Timor di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 29 Agustus 2025. (Foto: KawanBergerak)
Diskusi dan pemutaran film dokumenter Ingatan dari Timor di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 29 Agustus 2025. (Foto: KawanBergerak)

Pencarian Anak Hilang

Pemutaran film Ingatan dari Timor ditutup dengan diskusi yang menghadirkan Raisa dan Mulki Makmun dari Asia Justice and Rights (AJAR), dimoderatori oleh Wisnu dari Humanity Youth. AJAR merupakan salah satu organisasi yang terlibat dalam produksi film ini. Salah satu pesan utama yang disampaikan adalah pentingnya peran generasi muda dalam memahami sejarah melalui diskusi dan keterlibatan langsung.

AJAR memfokuskan kegiatannya pada upaya membangun dialog lintas generasi dan lintas negara, sekaligus mengungkap fakta-fakta sejarah yang selama ini belum banyak diketahui publik.

Menurut Mulki, konflik Timor Timur berperan penting dalam mendorong kesadaran akan pentingnya penegakan hak asasi manusia di Indonesia, yang salah satu dampaknya adalah pembentukan Komnas HAM pada tahun 1993.

Meski Timor Leste sudah lama merdeka, tetapi masih ada kerja-kerja yang tertinggal, yaitu pencarian anak-anak hilang selama konflik. AJAR juga mendokumentasikan dan menelusuri jejak anak-anak Timor Timur yang dibawa secara paksa ke Indonesia selama masa konflik. Diperkirakan, ribuan anak mengalami pemindahan paksa. Hingga kini, AJAR telah berhasil mempertemukan 106 anak—yang kini telah dewasa—dengan keluarganya di Timor Leste.

“Beberapa dari mereka dipertemukan dengan keluarga tepat saat peringatan Santa Cruz,” tutur Mulki.

Untuk melacak keberadaan anak-anak tersebut, dibentuklah tim kerja Labarik Lakon, istilah dalam bahasa Tetun yang berarti “anak hilang” atau stolen children. Situs resmi AJAR menjelaskan bahwa labarik lakon adalah anak-anak Timor Leste di bawah usia 18 tahun yang dibawa ke Indonesia oleh pejabat atau dengan sepengetahuan pejabat publik antara tahun 1975–1999, tanpa persetujuan keluarga.

Reisa, dari tim Labarik Lakon AJAR, menyampaikan bahwa pencarian anak hilang dimulai dari pengakuan seorang warga Timor Leste yang pernah diambil paksa pada tahun 1979. Ia bercerita pernah berada dalam satu kendaraan dengan sejumlah anak lain. Dari kesaksian itu proses pencarian pun dimulai.

“Banyak anak hilang yang tak pernah ditemukan,” kata Reisa. “Jumlahnya tidak tercatat, mereka dibawa begitu saja.”

Reisa juga terlibat dalam momen reuni anak-anak yang berhasil dipertemukan kembali dengan keluarga mereka di Timor Leste. Ia menekankan bahwa pekerjaan ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia, mengingat telah diterbitkannya Keputusan Presiden No. 72 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pelaksanaan Rekomendasi KKP. Dalam lampiran Bab V, disebutkan bahwa Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan memiliki mandat untuk membentuk Komisi Reunifikasi Keluarga, guna mempertemukan anak-anak yang terpisah dari keluarganya di Timor Leste. 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//