• Opini
  • Indonesia Emas dalam Pola Tiga, Refleksi Jejak Mesin Tik Maestro Jakob Sumardjo

Indonesia Emas dalam Pola Tiga, Refleksi Jejak Mesin Tik Maestro Jakob Sumardjo

Jejak pemikiran Jakob Sumardjo mengingatkan bahwa merawat kebudayaan demi masa depan Indonesia adalah amanat kosmos, bukan sebagai beban politik (kekuasaan).

Sophan Ajie

Pengajar Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Katolik Parahyangan, anggota Pusat Studi Pancasila (PSP) Unpar

Suasana diskusi Jejak Mesin Tik Maestro Jakob Sumardjo di Museum Kota Bandung. (Foto: Sophan Ajie)

7 September 2025


BandungBergerak.id – Tanggal 28 Agustus 2025 adalah hari terakhir rangkaian tiga hari penyelenggaraan penghargaan kepada Jakob Sumardjo di Museum Bandung dan bersamaan dengan demo buruh di Jakarta yang berujung pada kematian salah satu demonstran. Ia tergilas oleh kendaraan perintis aparat keamanan. Aksi buruh di Jakarta sebagian besar tuntutannya masih sama, di antaranya kenaikan upah minimum dan menghapus ketentuan tentang tenaga kerja outsourcing yang dianggap memberatkan sebagian besar tenaga kerja di Indonesia. Peristiwa demonstrasi buruh di Jakarta pada hari itu melesapkan resonansi kebudayaan yang dibunyikan dari Bandung oleh Ikatan Alumni Sastra dan Budaya (IKA Sadaya) Universitas Padjadjaran. Simfoni gagasan kebudayaan yang diorkestrasi oleh IKA Sadaya seolah sunyi di tengah-tengah kebisingan berita politik Indonesia akhir-akhir ini.

Saya mengenal Jakob Sumardjo ketika ayah menyebutkan namanya kepada saya yang bercita-cita tinggal di “kebun seni teater”. Sosok penting untuk dijadikan acuan agar saya bisa meneladani karya-karyanya dan gagasannya yang berkembang biak dalam pikiran para pembaca ataupun mahasiswanya. Semakin tidak menyangka jika salah satu sahabat saya, Gabriel Gunawan, sound engineering yang cukup eksentrik adalah keponakannya. Bapak dari Gabriel Gunawan adalah Tom Gunadi, salah satu penulis sejarah keuskupan Bandung. Mungkin karena dua orang tersebut, saya merasa memiliki kedekatan emosional secara nama dengan Jakob Sumardjo.

Salah satu buku yang membuat saya tergugah terhadap gagasan-gagasan pemikiran Jakob Sumardjo yaitu Mencari Sukma Indonesia, salah satu buku yang menjadi kumpulan esai beliau yang sangat kritis tentang Indonesia. Kekritisannya tidak hanya didorong oleh pikirannya yang kekar, tetapi juga sensor batin Jakob Sumardjo yang tajam terhadap perasaan Indonesia. Sampai-sampai pada pengantar buku tersebut seorang guru besar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) yang memberikan pengantar secara rendah hati menyampaikan bahwa dirinya tidak perlu lagi memberikan pengantar pada buku tersebut yang sudah sangat gamblang.

Mozaik pengalaman emosional saya tentang Jakob Sumardjo dan keindonesiaan, kemudian diracik menjadi hidangan kaki lima dalam bentuk pertanyaan, apakah ada keputusan kebijakan krusial dari negara ataupun masyarakat modern yang menggunakan pertimbangan kebudayaan sebagai fondasinya? Bukan keputusan yang memikirkan kebudayaan itu sendiri, tetapi keputusan yang dilandasi pola kebudayaan untuk kehidupan Indonesia. Sebuah keputusan kebudayaan yang membantu meredakan ketegangan antara negara dengan rakyat dan rakyat dengan sesamanya.

Terlepas dari keborokan negara, sekaligus rakyat pun menanggung lukanya, sejak pemerintahan Soekarno sampai dengan Prabowo Subianto, adu kuat antara negara dan rakyat masih terus berlangsung. Di satu pihak, negara mendapat mandat rakyat untuk mengambil keputusan dan dilain pihak rakyat atas dasar demokrasi menyatakan diri sebagai pihak yang paling berkuasa. Keduanya adalah paradoks, sehingga miris kala menyaksikan iklan-iklan yang melukiskan Indonesia adalah bangsa beramah-tamah, beragam keindahan, toleran. Itu terlihat fana. Dibaliknya semua menyimpan ketegangan yang terus bergejolak semakin besar dan mengancam. Apa kabar kebudayaan sesungguhnya?

Baca Juga: Sawala Pemajuan Kebudayaan, Mapag Dewan Kebudayaan Kota Bandung
Potret Robohnya Gedung Pusat Kebudayaan Kami
Jejak Jakob Sumardjo, dari Ruang Akademik hingga Panggung Pertunjukan

Ketegangan Persoalan Kebudayaan

Dalam salah satu kesempatan sesi diskusi saya bersama Iwan Gunawan perwakilan Kantor Dagang Indonesia yang dipandu oleh Topik Mulyana seorang dosen Fakultas Filsafat Unpar, ketegangan persoalan kebudayaan sangat terasa terjadi. Industri kreatif mengklaim telah berhasil membawa kebudayaan Indonesia diakui oleh berbagai negara dan bergerak dalam laku baik sebagian masyarakat (konsumen). Namun, dibantahkan oleh Ahda Imran, penyair. Ia menyatakan persoalan kebudayaan bukan persoalan materialistik. Problem ide kebudayaan lebih krusial untuk diatasi dan menjadi luka yang diabaikan. Permasalahan kontemporer tentang jalan pikir hak cipta dalam dunia musik, sastra, film mendesak diselesaikan. Bagaimana kaum subkultur yang mengglorifikasi perlawanan terhadap kapitalisme menambah ketegangan lain yang rumit. Saya memilih menanggapinya dengan posisi berada di tengah. Meskipun Hikmat Gumelar mengatakan saya sudah menghibur dengan menyampaikan gagasan yang disampaikan saya bagus, tetapi pernyataan dari Aep Sofyan Aminata alias Aep Star, mengatakan di akhir sesi diskusi bahwa saya bicara tidak tegas terhadap kebudayaan, telah mendorong saya untuk menulis refleksi ini.

Saya mengalami keterkejutan keadaan, sehingga saya kehilangan akal saat berada dalam sesi diskusi. Ternyata apa yang pernah saya pikirkan ataupun dengar dari beberapa buku dan diskusi-diskusi memang benar terjadi yaitu problem kebudayaan di Indonesia begitu sensitifnya didialogkan di ruang publik. Selama ini saya menyangkal bahwa realitas Indonesia tentang kebudayaan sedang tidak baik-baik saja. Sebab, kebudayaan dalam keyakinan saya tidak perlu diintervensi oleh kekuasaan (negara). Masyarakat dapat dengan sendirinya menyembuhkan luka kebudayaan dengan referensi realitas yang terus diperbarui di dalam dinamika kemasyarakatannya.

Bukankah referensi dinamika kebudayaan masyarakat tidak pernah stagnan? Referensinya terus diperbarui, sejalan dengan kebaruan dalam realitas interaksi masyarakat. Selalu ada hal baru di antara gerak hidup masyarakat. Setiap masyarakat memperbarui dirinya dengan pemahaman yang diadaptasi saat bertemu dengan realitas. Tujuannya agar tetap bisa bertahan hidup. Tanpa kemampuan beradaptasi masyarakat akan ketinggalan jaman. Pedagang kaki lima yang dulu kesulitan mencari uang kembali dari pembeli, kini semakin sedikit terjadi. Ada aplikasi QRIS yang memungkinkan pembeli membayar sesuai dengan harga, tanpa dibayang-bayangi permasalahan uang kembalian yang tidak tersedia oleh pedagang karena belum laku-laku dagangannya. Tidak uang di laci gerobaknya. Permasalahannya bergeser dari uang kembalian ke paket data atau wifi yang harus selalu tersedia.

Sementara negara masih kebingungan menyelesaikan problem pajak, masyarakat terus bergerak meninggalkan persoalan pajak dengan kenyataan-kenyataan baru yang dihasilkan dari kemampuan beradaptasi dalam dunia ekonomi. Negara kadang terlambat mengambil keputusan, oleh karena intensitas kebudayaan hilang arah di dalam negara. Kondisi ini diafirmasi oleh kenyataan paradoks bahwa pada hari terakhir rangkaian penyelenggaraan penghargaan kepada Jakob Sumardjo bersamaan dengan kematian seorang demonstran buruh di Jakarta.

Kebudayaan (culture) yang akar dalam bahasa latinnya colere berarti mengolah merawat, mengerjakan tanah, bertani tampaknya terabaikan oleh negara ini. Kesibukannya negara bisa jadi salah satu penyebabnya atau bisa jadi ada hal lainnya. Jika negara ini mengabaikan colere Indonesia, sehingga kebudayaan seakan-akan diselenggarakan secara auto pilot. Akibatnya, perdebatan terkait kebudayaan dirasa tidak perlu dibesar-besarkan karena akan kembali baik-baik saja keadaannya. Tidak heran jika resonansi acara Ika Sadaya Unpad yang bertajuk “Jejak Mesin Tik Maestro Jakob Utama” terdengar samar-samar.

Asumsi saya diperbarui setelah mengikuti proses tiga hari penghargaan untuk Jakob Sumardjo yang menurut saya sukses. Sangat sukses. Setidaknya ukurannya adalah memberikan kemungkinan cara pandang bahwa negara perlu hadir dalam kebudayaan dan rakyat membutuhkan negara untuk keberlangsungan kebudayaan. Potensi terjadinya auto pilot kebudayaan memicu kehilangan keseimbangan dan berpotensi menghasilkan ledakan besar, mirip dengan ketidakharmonisan rakyat dan penguasa.

Jejak Pemikiran Jakob Sumardjo

Dalam mempertimbangkan jejak pemikiran Jakob Sumardjo pada upaya untuk mengkritisi pikiran saya sendiri tentang auto pilot kebudayaan yang menjadi problem kebangsaan kontemporer, di mana selama auto pilot kebudayaan dapat terlaksana jika bukan berpusat pada kekuasaan (negara), melainkan menggantinya ke poros sukma Indonesia (rakyat), merupakan tindakan menentang pola dua yang saling bergantung. Kearifan pola dua yang ditemukan Sumardjo mencerminkan dualisme oposisi, seperti siang membutuhkan malam. Gelap membutuhkan terang. Rakyat membutuhkan negara dan sebaliknya.

Masyarakat adat Sunda dengan arif telah berupaya menjaga keseimbangan tersebut (yang terkesan sebagai gugusan paradoks) dengan cara menjadikan keduanya sebagai satu kesatuan poros. Di tengah kebisingan ideologi modern, demonstrasi, dan kesewenang-wenangan, masyarakat adat Sunda memberikan keteladanan bahwa segala persoalan memilukan yang terjadi di Indonesia ini bagian dari dinamika keseimbangan kosmologis. Di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara, pola dua adalah kebijaksanaan jalan tengah untuk menyadarkan bahwa negara dan rakyat adalah satu entitas. Negara butuh rakyat dan begitu pun sebaliknya. Negara dan masyarakat modern Indonesia perlu memulihkan kepercayaannya masing-masing.

Selanjutnya, pada pola tiga pemikiran Jakob Sumardjo menawarkan alternatif yang lebih menjanjikan untuk menjaga keseimbangan antara poros kekuasaan dan poros sukma Indonesia. Pola tiga yang berbasis pada masyarakat peladang seperti salah satunya masyarakat Sunda membagi tiga lapisan kosmos menjadi dunia bawah (profan, sebelum realitas manusia beserta alamnya), dunia tengah (ambivalen, realitas manusia beserta alamnya), dan dunia atas (sakral, setelah realitas manusia beserta alamnya). Dunia tengah menjadi poros penengah yang memberikan tawaran ruang dan waktu kepada manusia memahami makna keberadaannya dalam harmoni dengan alam, sekaligus melanjutkan siklus kehidupan pasca realitas duniawi. Negara dan rakyat ada di dunia tengah itu yang berfungsi sebagai penghubung antara kekuasaan profan dan sukma transenden.

Dengan demikian pola tiga dalam pemikiran Jakob Sumardjo bukan sekedar kerangka kosmologis, melainkan panduan praktis untuk merevitalitasi colere Indonesia di tengah pengabaian negara. Dengan menjadikan sukma Indonesia sebagai poros dunia tengah, negara dan rakyat dapat dipersatukan dalam harmoni ekologis yang melampaui dualisme kekuasaan. Masyarakat adat Sunda melalui praktik-praktik tata sosial di Kanekes ataupun penghayatan aliran Perjalanan di sebagian masyarakat Desa Arjasari, Kabupaten Bandung, telah memungkinkan bahwa poros dunia tengah masih memiliki harapan sebagai kekuatan menciptakan keharmonisan. Oleh karena itu acara “Jejak Mesik Tik Maestro Jakob Sumardjo 2025” adalah panggilan semesta yang menjadikan IKA Sadaya sebagai salah satu agen untuk mencegah ledakan besar yang diakibatkan oleh auto pilot kebudayaan. Jejak kearifan pola dua dan tiga yang ditemukan Jakob Sumardjo dapat menjadi keputusan politik berdasarkan kebudayaan, bahwa merawat kebudayaan adalah amanat kosmos, bukan sebagai beban politik (kekusaan), demi masa depan Indonesia yang diprediksi berada di fase keemasan pada 2045.  

Mrican, Yogyakarta, 29 Agustus 2025

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//