Bisnis Kekhawatiran di Era Digital dan Ironinya
Kenyataan digital menghadirkan ironi tingkat lanjut sebagai efek dari kapitalisme. Kekhawatiran di dunia digital menghasilkan tindakan impulsif dalam konsumsi.

Naufalul Ihya' Ulumuddin
Mahasiswa magister sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM)
10 September 2025
BandungBergerak.id – “Kamu AgusKampung, ya?”
“Ah, iyaaa. Aku AgusKampung kalau di Instagram, kalau di X aku AgusKocak, dan kalau di Shopee AgusMulyono. Tapi, aku bukan Fufufafa, lho, ya”
Dialog di atas menggambarkan kenyataan digital yang mengubah individu menjadi dividu: seseorang yang direduksi menjadi data dalam bentuk akun-akun dan dapat diakses dalam waktu bersamaan.
Munculnya internet menyeret perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat fisik yang nyata diduplikasi dalam bentuk maya dan kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat digital. Namun, duplikasi ini tidak hanya memindah yang nyata menjadi maya, tetapi menghadirkan konsekuensi dan ironi-ironi baru yang perlu diratapi bersama.
Ironi yang paling mencolok adalah munculnya saluran bisnis baru, yaitu bisnis kekhawatiran: sebuah lini bisnis yang memanfaatkan kekhawatiran masyarakat untuk menjadi impulsif dalam membeli sesuatu. Pada kelas kuliah Humaniora Digital, Prof. Heru Nugroho, menjelaskan tentang adaptasi kapitalisme yang luar biasa di era digital, sehingga memungkinkan munculnya bisnis kekhawatiran. Bisnis ini hadir sebagai konsekuensi dari bergesernya realitas fisik yang nyata, ke realitas digital yang maya. Realitas yang mendisiplinkan tubuh fisik ke realitas yang mengontrol tubuh non-fisik dalam bentuk data.
Baca Juga: Perilaku Doom Spending, Antara Gaya Hidup Konsumtif dan Kesehatan Finansial
Eksternal Day Mahasiswa Unpad, Mengkritik Budaya Patriarki Digital dan Ketimpangan Gender
Ilusi Produktivitas di Era Platform Digital, antara Value Creation dan Value Extraction
Dari Tubuh ke Data, Dari Disiplin ke Kontrol
Dalam kajian sosiologi dan humaniora digital, terdapat penjelasan benang merah hadirnya bisnis kekhawatiran. Ada pergeseran situasi masyarakat digital, yaitu pergeseran dari tubuh-fisik ke akun-data. Foucault (2016) melandaskan teori disiplinnya pada kenyataan tubuh-fisik individu yang dikuasai oleh pengetahuan dominan sehingga tunduk dan patuh. Tubuh-fisik adalah individu yang satu dan tunggal.
Namun, di era digital, kondisi yang digambarkan oleh Foucault tidak lagi sepenuhnya berlaku. Individu dalam arti tubuh-fisik yang tunggal telah berubah menjadi dividu: individu yang terberai menjadi banyak data. Dengan kata lain, di dunia digital, individu tidak lagi satu, melainkan banyak. Bentuknya adalah data yang menjelma akun-data: akun M-Banking, Instagram, Tik-tok, Shopee, Tokopedia, Telegram, Whatsapp, X, dan sebagainya.
Maka, menjadi lumrah misalnya ketika ada seseorang yang dapat mengobrol di Whatsapp, Instagram, dan checkout belanja di Tokopedia dalam waktu yang bersamaan sekali duduk. Hal ini menggambarkan seakan ada beberapa individu, padahal hanya satu dengan data dan akun yang berbeda. Inilah yang kemudian oleh Delueze (2010) sebut sebagai titik eksisnya masyarakat kontrol: kondisi masyarakat yang dengan sendirinya dikontrol oleh sistem digital tanpa paksaan.
Singkatnya, era digital menggiring perubahan kondisi masyarakat, dari tubuh-fisik ke akun-data, dari individu menjadi dividu, dan dari disiplin tubuh menjadi kontrol akun. Kondisi kontrol akun ini kemudian menghasilkan lini bisnis kekhawatiran.
Khawatir Kehilangan Diskon
Kenyataan digital menghadirkan ironi tingkat lanjut sebagai efek dari kapitalisme. Pada titik ini, kapitalisme sebagai mode produksi nyaris tak terbendung. Kekhawatiran para dividu di dunia digital menghasilkan tindakan impulsif dalam konsumsi.
Bentuk konkretnya adalah khawatir kehilangan diskon. Market place digital tidak hanya berbisnis platform digital yang berisi barang dan jasa, tetapi juga menghadirkan bisnis kekhawatiran dengan diskon angka kembarnya. Diskon angka kembar menjadi bentuk kontrol baru dalam menundukkan masyarakat tanpa paksaan. Masyarakat digital menjadi khawatir kehabisan barang incarannya. Mereka khawatir kehilangan momentum yang terjadi hanya sebulan sekali. Ingat, hanya sebulan sekali!
Lebih-lebih, kekhawatiran itu tidak hanya menjelma tindakan konsumtif berbasis kebutuhan, tetapi bersifat impulsif. Dengan ilusi yang diciptakan sendiri bahwa diskon angka kembar tidak datang setiap hari, maka barang-barang yang tidak dibutuhkan pun ikut dibeli dan diborong. Meminjam kelakar Budiman (2021) pada judul bukunya “Aku Klik, Maka Aku ada”. Pada konteks ini menjadi “Aku Checkout, Maka Aku ada”. Hal ini berujung pada tindakan konsumtif tanpa kontrol rasional yang memperkeruh kondisi ekonomi di dunia nyata. Kontrol justru ada pada sistem digital. Inilah ironi masyarakat kontrol (Haryatmoko, 2016).
Khawatir Tidak Kalcer
Tidak berhenti di situ, bisnis kekhawatiran menjamah aspek yang lebih jauh. Realitas digital juga mengusik kenyataan masyarakat di dunia nyata. Apa yang terjadi di dunia digital menyebar dengan cepat dan diikuti banyak orang. Lalu kemudian, kenyataan digital menjadi tren dan diadopsi dalam dunia nyata.
Tren terbaru menghadirkan kesehatan sebagai tema utama, yaitu olahraga lari. Sebelum era digital hadir, lari adalah olahraga fisik yang menyehatkan. Itu saja. Namun, era digital membentuk wacana “Pelari Kalcer”. Wacana ini merujuk pada pelari yang stylis. Pelari yang menggunakan sepatu teknologi tinggi agar menopang performa lari.
Tidak hanya sepatu, tapi pelari kalcer juga dilengkapi dengan smartwatch untuk mengihitung secara statistik kecepatan lari, jarak tempuh lari, dan jumlah kalori yang terbakar. Belum lagi dengan satu set kaos dan celana lari yang modis. Deskripsi lengkap pelari kalcer ini digambarkan secara satire dalam lagu terbarunya Sastra Silalahi yang berjudul “Pelari Kalcer”.
Dengan kata lain, aktivitas lari di era digital tidak lagi murah. Tren pelari kalcer menggiring masyarakat yang hendak berolahraga lari harus melalui proses khawatir tidak terlihat kalcer. Maka, untuk menghilangkan kekhawatiran itu, dibelilah sepatu teknologi tinggi, smartwatch canggih, dan ber set-set pakaian lari terkini. Inilah bisnis kekhawatiran.
Khawatir Tidak Update
Selain khawatir tidak kalcer, masyarakat digital juga khawatir tidak update. Jika ditinjau dari sudut pandang masyarakat kontrol, maraknya masyarakat berbondong-bondong membeli sepeda listrik, pertimbangan utamanya bukanlah menjaga lingkungan. Melainkan, khawatir dinilai ketinggalan zaman. Sepeda listrik menjadi tren baru di dunia digital, sehingga masyarakat menjadi khawatir dinilai kuno. Padahal, di rumahnya juga masih ada dan dipakai sepeda motor konvensional. Artinya, masyarakat dikontrol oleh kekhawatirannya sendiri melalui data dirinya di dunia digital.
Ironisnya, bisnis kekhawatiran ini tidak melulu menguntungkan masyarakat. Keuntungan hanya mengarah pada pebisnis. Masyarakat justru tidak sedikit yang terjebak dalam lingkaran korban bisnis kekhawatiran ini dengan terlilit pinjol, karena harus update dengan tren terbaru dan khawatir dianggap kuno. Maka, fenomena maraknya pinjaman online dan judi online boleh jadi merupakan konsekuensi dari munculnya bisnis kekhawatiran di era digital.
Sebut saja tren update gawai setiap tahun. Samsung 16 dalam promosinya mengklaim mampu bertahan paling tidak 6 tahun. Artinya, jika orientasinya adalah fungsi, maka ganti atau update gawai bisa dilakukan 5-6 tahun sekali. Namun ironisnya, kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Survei Populix mengungkap bahwa masyarakat Indonesia cenderung mengganti gawainya tak sampai tiga tahun sekali. Maka dari itu, menjadi tidak mengherankan jika setiap tahun selalu ada model gawai terbaru. Selain menyesuaikan permintaan pasar (ekonomi), tetapi juga mengeksploitasi kekhawatiran masyarakat di era digital sebagai ladang bisnis (sosial).
Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kekhawatiran adalah sisi dividu yang seksi untuk dieksploitasi. Tren-tren baru membangun kekhawatiran baru yang berujung pada konsumsi-konsumsi baru. Inilah kapitalisme digital yang terus menggerus dompet dividu yang gagal memahaminya dengan kritis.
Begitulah ironinya dan selamat meratapinya.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB