Terap Festival #2: Pertemuan Seniman Taiwan di Pasar Simpang Dago
Chao Man Chun, seniman asal Taipei, Taiwan menggelar pertunjukan teater di pasar tradisional Pasar Simpang Dago, Bandung. Bercengkrama dengan para pedagang.
Penulis Salma Nur Fauziyah10 September 2025
BandungBergerak.id - Chao Man Chun, seniman asal Taipei, Taiwan berdiri di mulut gang Pasar Simpang Dago yang lengang, Sabtu siang, 30 Agustus 2025. Banyak los atau kios yang tutup. Hanya beberapa penjual yang masih berdagang. Mengenakan gaun putih berselendang bulu unggas, sang seniman menenteng tas anyaman yang biasa dipakai ibu-ibu saat belanja. Tangan satunya menarik sebuah mobil mainan. Ia siap berpetualang dalam pertunjukan performance art-nya.
Cuaca langit Dago cerah seolah menyambut Seniman akrab disapa Manman. Para pedagang kaki lima riuh di atas trotoar, perlu kejelian untuk melihat plang biru bertuliskan “Pasar Tradisional Swadaya Masyarakat Simpang Dago”. Suasana ini kontras dengan di belahan kota lain yang marah dan berduka akibat situasi ekonomi politik Indonesia yang tak menentu.
Di depan mulut pasar sebuah X-banner bertuliskan “Terap Festival Caang Mumbul Dina Batok” menyambut setiap orang ataupun penonton. Pasar ini menjadi salah satu ruang pertunjukan dalam rangkaian festival teater publik yang berfokus pada eksplorasi, pemaknaan, dan transformasi ruang publik melalui seni performatif.
Setiap penonton yang datang disuguhi minuman selamat datang berupa jamu.
“Mau yang pahit atau yang manis?” tanya Mbok Jamu ramah kepada setiap tamu.
Beberapa orang tampak sibuk melipat kertas, membentuk pesawat kecil yang ikut memberi nuansa hangat pada awal pertunjukan.
Manman meminta para penonton Terap Festival mengambil pesawat kertas sebelum berjalan ke lorong pasar. Langkah kakinya diiringi lemparan pesawat kertas dari penonton dan bunyi lonceng.
Manman menyusuri tiap sudut pasar yang sempit dan lembab tanpa alas kaki. Para penonton mengikuti pertunjukan teater terbuka ini. Pada titik tertentu, sang seniman berhenti di depan kantong kresek berisi air yang digantung dan sebuah ember di bawahnya. Ia menusuk kantong plastik itu dan air pun mengucur bebas ke dalam ember.
Ia mengeluarkan kertas berisi puisi dengan aksara Mandarin lalu membacanya. Puisi kemudian diterjemahkan Elizabeth Chitra ke dalam bahasa Indonesia.
“Sekarang, bibir yang kugunakan untuk mengutarakan pikiran, pahit. Bukan pahit yang mengernyitkan mata dan hidung. Dia meluncur melewati lidahku, membentur gigi-gigiku, melalui tenggorokanku. Kemudian, secercah rasa manis menyapa,”

Manman menikmati aroma khas pasar tradisional yang sering distigma kumuh dan becek. Ia berjalan sambil sesekali berhenti untuk membaca puisi. Bahkan di depan kios yang tutup ia sempat rebahan sambil meniup kincir angin. Panitia Terap Festival kemudian memutar video tentang bentang alam, menemani Manman dengan dunia kanak-kanak yang diciptakannya.
Manman melanjutkan perjalanan di lorong pasar. Ia melemparkan batu-batu, membidik sesuatu, sering kali bidikannya gagal mengenai sasaran.
Manman tidak asyik sendiri dengan pertunjukannya. Ia sempat bercengkerama dengan dua pedagang Pasar Simpang Dago. Tamiasih, pedagang pasar pertama yang ia temui, berasal dari Indramayu dan menetap di Bandung selama 40 tahun.
Sebelum berdagang, Tamiasih sempat menjadi TKI di Taiwan selama sembilan tahun. Di sana ia bekerja di Panti Jompo.
“Bantu anak untuk biaya sekolah,” ucap Tamiasih, kepada Manman.
Manman juga berbincang dengan Haji Ganda, pedagang yang dipandang sesepuh di Pasar Simpang Dago. Manman bertanya soal pengalamannya berjualan di pasar dan bagaimana kondisi pasar tradisional saat ini.
Pak Haji sudah berjualan selama 30 tahun di Pasar Simpang Dago. Menurutnya, daya tarik pasar tradisional tidak lagi semenarik dulu. Banyak alternatif belanja lain seperti marketplace. Ia hanya berharap bahwa pemerintah mau merenovasi pasar, karena kondisinya sudah tidak layak dan banyak dikeluhkan oleh pedagang lainnya.
Haji Ganda memiliki latar belakang pedagang. Sejak kecil ia sering membantu orang tuanya berjualan di Pasar Simpang Dago.
“Jadi kenangan-kenangan di sini, saya suka bermain sama rekan atau teman-teman yang seusia saya pada waktu itu. Ya, macam petak umpet atau main kelereng,” kenangnya.
Pertunjukan Manman ditutup dengan aksi rebahan Manman di lantai pasar disertai kucuran air di dalam kantong plastik.
Baca Juga: Caang Mumbul Dina Batok, Kritik Pembangunan Kota di Terap Festival #2 Bandung
Pembangunan Kota Bandung tanpa Melibatkan Warga Hanya Menghasilkan Penggusuran

Bukan Sekadar Tempat Berbelanja
Menikmati penampilan Chao Man Chun bagaikan menyelami dunia anak-anak. Lewat gerak-gerik tubuhnya ia mencoba menarik penonton untuk mengikuti petualangannya. Ia seperti seorang anak yang bermain di lorong-lorong pasar yang gelap.
Manman merupakan anggota dari P.M.S. serta OCAC (Open Contemporary Art Center) yang berkarya dalam seni performance dan bergerak secara individu dan kolektif. Lewat gestur tubuh yang ditampilkan, Manman menggemakan tema-tema seputar buruh dan gender.
Pasar Simpang Dago bukanlah tempat pertama yang ia tandai sebagai tempat pertunjukannya. Sebelumnya ia berkunjung ke Kampung Cika-Cika lebih dulu. Karena curah hujan dan jalanan yang curam, Manman tidak jadi memilih tempat itu. Terlalu riskan.
Namun, karya ini merupakan gabungan dari apa yang ia rasakan di dua tempat tersebut. Beberapa elemen telah menginspirasinya, di antaranya anak-anak yang berlarian sambil bermain layang-layang atau mobil-mobilan. Di salah satu adegan ia menampilkan video yang ia ambil di Kampung Cika-Cika.
Pengalamannya di Bandung ada kesamaan dengan di Taiwan. Turbin air di Kampung Cika-Cika mengingatkannya bagaimana Taiwan kini sedang menghadapi transformasi ke energi hijau. Maka, ia memainkan kincir angin saat pertunjukan.
“Saya merasa kedua tempat ini, semuanya menghadapi masalah tertentu misalnya pembangunan (alih fungsi lahan),” ungkapnya dalam bahasa Inggris, kepada BandungBergerak, selepas pertunjukan.
Pembangunan memiliki konsekuensi tersendiri bagi warga. Kampung Cika-cika, misalnya, beberapa warga di sana kesulitan mengakses air bersih.
Manman juga melihat fenomena pasar tradisional sebagai ruang pertemuan. Pertemuannya dengan Tamiasih yang pernah bekerja di Taiwan sangat mengesankan baginya.
"Jadi, orang-orang bisa merasakan. Di sini, bukan hanya tempat untuk membeli atau menjual barang. Ini juga tempat untuk mengenang," ujar Manman. "Tempat untuk sejarah, tempat untuk budaya, tempat kita bertemu dan membicarakan sesuatu bersama."
Festival Teater Ruang Publik (Terap Festival) #2 tahun ini mengusung tema Caang Mumbul Dina Batok (terang dari tempurung kelapa), sebagai kritik terhadap pembangunan kota yang tampak megah di permukaan, namun rapuh bagi warganya, terutama kelompok rentan.
“Pembangunan di sini selalu bercahaya, tapi rapuh. Ada warga yang merawat wilayahnya puluhan tahun, tapi tetap terancam penggusuran,” ujar kurator Ferial Afiff, menyinggung pada sengketa tanah di Kota Bandung, Sabtu, 22 Agustus 2025.
Tema dengan metafora dalam bahasa Sunda itu menjadi sorotan utama. Ferial menjelaskan, festival berpusat di Kecamatan Coblong dan Braga, dua kawasan yang menyimpan banyak kisah tentang ruang hidup warga kota.
Selama proses pengkaryaan, tim Terap Festival menggali beragam narasi dari warga di Coblong. Di sana, Pasar Simpang Dago masih bertahan berkat swadaya masyarakat, Babakan Siliwangi terus menghadapi upaya komersialisasi, sementara warga Lebak Siliwangi harus membayar sewa tanah kepada korporasi milik negara.
“Kami ingin seniman turun langsung, bukan sebagai guru, melainkan teman belajar. Pertunjukan hanyalah bonusnya,” kata Ferial.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB