• Berita
  • Caang Mumbul Dina Batok, Kritik Pembangunan Kota di Terap Festival #2 Bandung

Caang Mumbul Dina Batok, Kritik Pembangunan Kota di Terap Festival #2 Bandung

Tema Festival Teater Ruang Publik (Terap Festival) #2 menjadi kritik terhadap pembangunan kota yang tampak megah namun rapuh bagi kelompok rentan.

Peserta Festival Teater Ruang Publik (Terap Festival) #2 di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung. Terap Festival digelar 23–30 Agustus 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah27 Agustus 2025


BandungBergerak - Festival Teater Ruang Publik (Terap Festival) #2 kembali digelar pada 23–30 Agustus 2025 di kawasan Dago dan Braga, Kota Bandung. Mengusung tema Caang Mumbul Dina Batok (terang dari tempurung kelapa), festival ini menyuarakan kritik terhadap pembangunan kota yang dianggap megah, tapi rapuh bagi warga terutama kelompok rentan.

“Pembangunan di sini selalu bercahaya, tapi rapuh. Ada warga yang merawat wilayahnya puluhan tahun, tapi tetap terancam penggusuran,” kata kurator Ferial Afiff, mengacu pada sengketa tanah Dago Elos, Sabtu, 22 Agustus 2025.

Tema yang menggunakan metafor dalam bahasa Sunda itu menjadi sorotan utama Terap Festival tahun ini. Ferial menjelaskan, festival kali ini banyak berpusat di Kecamatan Coblong dan Kecamatan Braga, dua kawasan yang menyimpan berbagai cerita tentang ruang hidup warga kota.

Selama proses pengkaryaan, tim Terap Festival menemukan beragam narasi dari warga di Kecamatan Coblong, wilayah yang dikenal sebagai pusat keramaian kota. Di sana, terdapat Pasar Simpang Dago yang masih bertahan berkat swadaya masyarakat, Babakan Siliwangi yang terus mengalami upaya komersialisasi, hingga warga Lebak Siliwangi yang harus membayar sewa tanah ke badan korporasi milik negara.

Cerita-cerita publik itu menjadi misi dari Terap Festival tahun ini. Menurut Ferial, dari lima belas seniman yang mendaftar melalui jalur open call, hanya empat yang dipilih untuk berkarya bersama warga. Menurutnya, proses ini bukan semata membuat pertunjukan, melainkan menyelami kehidupan sehari-hari warga secara spesifik.

“Kami ingin seniman turun langsung, bukan sebagai guru tapi sebagai teman belajar. Pertunjukan hanya bonusnya,” ujarnya.

Ferial menambahkan, proses interaksi antara seniman dan warga berjalan beragam—ada yang cepat akrab, ada yang canggung, dan ada pula yang membutuhkan pendampingan. Tim kurator turut membantu agar fokus isu tetap terjaga dan tidak lepas dari konteks kampung kota.

Ia berharap pertunjukan-pertunjukan yang akan digelar di titik-titik Kecamatan Coblong dapat mendorong warga Bandung untuk melihat kampung kota dengan cara yang berbeda. Tidak sedikit warga yang tidak mengetahui Lebak Siliwangi, misalnya, padahal di sana terdapat sejarah perlawanan.

Baca Juga: Pembangunan Kota Bandung tanpa Melibatkan Warga Hanya Menghasilkan Penggusuran
Di Balik Berwisata Braga-Bragaan

Hak Mobilitas dan Hak atas Kota

Direktur Festival, Sahlan Mujtaba, mengatakan pemilihan Coblong sebagai lokasi Terap bukan semata pertimbangan teknis. Lokasi ini mencerminkan keberlanjutan ruang kota dan isu mobilitas yang masih menjadi persoalan di Bandung.

“Tidak langsung meninggalkan Braga itu penting, agar warga tidak dipandang sebagai komoditas semata. Seniman datang, lalu pergi begitu saja, itu yang ingin dihindari. Maka lokasinya dicari yang tidak terlalu jauh, tapi tetap membuka kemungkinan baru,” kata Sahlan.

Ia menjelaskan, tema tahun ini ditekankan pada hak atas mobilitas dan hak atas kota. Mobilitas dipahami bukan sekadar perpindahan fisik, tapi juga berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan relasi warga dengan ruang.

Dari sisi teknis, pemilihan Coblong juga bertujuan menjaga keterhubungan dengan lokasi festival sebelumnya, yakni Braga. Perpindahan lokasi ini diharapkan dapat membentuk kesinambungan dari penyelenggaraan sebelumnya.

Sahlan menyebut perbedaan utama antara festival tahun ini dan sebelumnya terletak pada seniman serta kurator yang berbeda, yang membuat metode penciptaan dan cakupan audiens turut bergeser.

“Kalau tahun lalu ada karya khusus untuk anak, remaja, atau dewasa, tahun ini karya bisa dinikmati semua kalangan,” jelas lelaki yang kerap disapa Bahuy ini.

Seniman dari Jepang dan Taiwan turut hadir dan tampil dalam festival ini. Total enam seniman dan kolektif menampilkan karya seni sebagai upaya membaca ulang kota Bandung melalui lensa mobilitas dan hak warga atas kota.

Panca Lintang Dyah Paramitha bersama komunitas ibu-ibu Sekeloa akan menghadirkan pertunjukan intim di rumah warga. Kolektif Bawah Meja menggandeng ekskul teater SMAN 1 Bandung, mengangkat soal disiplin sekolah melalui tubuh remaja dan institusi.

Teater Samana menampilkan karya tentang tubuh sebagai bagian dari ekologi di Babakan Siliwangi, bekerja sama dengan warga RW 08 Lebak Siliwangi. Seniman asal Taiwan, Chao Man Chun, menyusuri Pasar Simpang Dago dan menampilkan pasar sebagai ruang kolektif yang menolak direduksi menjadi semata komoditas.

Sementara itu, seniman Ganda Swarna menghadirkan karya tentang perawatan dan umur panjang sebagai pengetahuan kolektif bersama ibu-ibu Gang Affandi Braga. Port B, kelompok teater dari Jepang, akan menampilkan dua karya berjudul Travel Agency dan Board Game, memanfaatkan ruang kafe di Braga sebagai arena percakapan politik tentang kota dan mobilitas.

Terap Festival #2 juga menyelenggarakan diskusi yang membahas tubuh, mobilitas, ruang kota, serta perspektif perempuan dalam merebut hak atas kota. Diskusi ini akan berlangsung di Gedung Indonesia Menggugat.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//