• Kolom
  • Jejak Raden Saleh di Bandung: Lukisan Perburuan Rusa dari Baleendah

Jejak Raden Saleh di Bandung: Lukisan Perburuan Rusa dari Baleendah

Raden Saleh berhasil mengabadikan bukan hanya adegan perburuan, tetapi juga jiwa dari sebuah lanskap. Baleendah, Bandung, bukan sekadar tempat singgah.

Malik Ar Rahiem

Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung

Lukisan Perburuan Rusa di Baleendah karya Raden Saleh. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Raden_Saleh_-_Six_Horsemen_Chasing_Deer,_1860.jpg)

13 September 2025


BandungBergerak - Kalau kita bicara tentang maestro seni rupa Indonesia abad ke-19, nama Raden Saleh tak mungkin terlewat. Ia sering disebut sebagai pelukis modern pertama Nusantara, yang karyanya menembus panggung Eropa dan menjadi kebanggaan sampai sekarang. Bahkan pada tahun 2022 terdapat film berjudul Mencuri Raden Saleh yang berkisah tentang upaya pencurian karya sang pelukis, membuktikan betapa penting kontribusinya dalam jagat seni di Indonesia.

Salah satu lukisan penting Raden Saleh adalah Enam Penunggang Kuda Berburu Rusa (1860), sebuah karya dramatis yang menggambarkan adegan manusia dan binatang dalam pertarungan hidup dan mati. Yang menarik, lukisan ini tidak lahir di Eropa, melainkan di tanah Priangan. Tepatnya, di sebuah kawasan di selatan Bandung, di tempat yang begitu banyak orang akan familiar dengan namanya, yaitu di Baleendah.

Manusia, Binatang, dan Alam Liar

Raden Saleh Sjarif Boestaman lahir di Semarang pada tahun 1807. Marie-Odette Scalliet dalam Raden Saleh et les Hollandais : artiste protégé ou otage politique? (2005) menyebut bahwa setidaknya mulai tahun 1820 Raden Saleh dititipkan kepada Antoine Payen, pelukis asal Belgia, yang kala itu bertugas di Hindia. Pada tahun 1822, Raden Saleh pindah ke Bandung, ke kediaman Antoine Payen. Mereka tinggal di sana hingga tahun 1826. Pada 23 Maret 1829, Raden Saleh berangkat ke Eropa dan pertama menjejakkan kaki di sana pada 20 Juli 1829. Raden Saleh menimba ilmu seni di sana, dan sempat berkelana ke Jerman serta Prancis. Dari Eropa ia belajar gaya romantisisme, khususnya seni lukis yang penuh dengan ekspresi, drama, dan simbolisme.

Ketika kembali ke Hindia Belanda pada 1850-an, Raden Saleh sudah menjadi sosok terkemuka. Ia bukan sekadar “pelukis Jawa”, melainkan seorang bangsawan intelektual yang bergaul dengan pejabat kolonial, bangsawan lokal, dan kalangan elite. Ia membawa pulang gaya Eropa, tetapi memadukannya dengan alam, satwa, dan lanskap Nusantara.

Salah satu tema yang menjadi ciri khas Raden Saleh adalah tema alam, terutama hewan-hewan, termasuk di antaranya mengenai perburuan. Perburuan Singa, Perburuan Banteng, dan Perburuan Rusa adalah karya-karya monumental yang menunjukkan ketertarikannya pada dinamika antara manusia, binatang, dan alam liar.

Kembali lagi ke lukisan yang akan kita bahas, yaitu Enam Penunggang Kuda Berburu Rusa. Lukisan ini menggambarkan enam orang pribumi yang menunggang kuda untuk berburu rusa. Latarnya adalah sebuah hamparan padang ilalang dengan latar belakang pegunungan. Gerakan kuda, lompatan rusa, parang yang diangkat, dan ekspresi pemburu serta ketakutan rusa, memberi kesan yang menegangkan.

Raden Saleh punya kemampuan luar biasa dalam menangkap gerakan. Kita bisa merasakan gelagah yang tersibak, dengus kuda, hingga tatapan mata rusa yang seolah sadar akan ajalnya. Tidak hanya sebuah pemandangan perburuan, lukisan ini adalah drama hidup dan mati di atas kanvas.

Bagaimana kita bisa tahu bahwa lukisan ini digambar di Bandung?

Penulis mendapatkan informasi ini ketika membaca buku Narrative of the Circumnavigation of the Globe by the Austrian Frigate Novara (Commodore B. von Wullerstorf-Urbair) Undertaken by Order of the Imperial Government, in the years 1857, 1858, 1859. Volume II. Buku ini berisikan catatan perjalanan kru kapal Novara yang melakukan ekspedisi keliling dunia, termasuk berkunjung ke Jawa pada tahun 1858. Di bagian akhir bab mengenai Jawa, penulis laporan menyebut bahwa mereka bertemu dengan Raden Saleh di Batavia, 

“Pada masa kunjungan kami, sang seniman sedang sibuk mengerjakan sebuah lukisan cat minyak berukuran besar untuk Raja Belanda, yang menggambarkan perburuan rusa di dataran Mundschul, di wilayah Keresidenan Priangan, di kaki Pegunungan Malabar.” 

Mundschul mungkin merujuk kepada Pasir Munjul, yang lokasinya berada di sekitar Baleendah, Bandung Selatan. Jika kita cocokkan latar gunung bisa jadi merupakan Gunung Malabar, sementara dataran rawa gelagah bisa merujuk pada Dataran Ciparay, yang sekarang kebanyakan berupa persawahan.

Tentang perburuan rusa di Jawa, kita bisa melihat bagaimana aktivitas ini dideskripsikan dengan sangat menarik oleh Fedor Jagor, seorang Jerman lain yang datang ke Priangan pada tahun 1858. Dia menuliskannya dalam buku Singapore, Malacca, Java. Dalam buku ini Jagor mengisahkan bahwa perburuan biasanya dilakukan pada akhir musim kemarau, setelah padang rumput yang tinggi ditumbuhi alang-alang dibakar. Area ini, terutama di selatan Keresidenan Priangan, menjadi padang rumput yang terbuka dan menjadi tempat tinggal rusa, babi hutan, dan harimau.

Perburuan ini melibatkan para pangeran pribumi beserta rombongan besar mereka. Rusa diburu menggunakan kuda-kuda cepat yang disebut "kuda-burong", dilatih khusus untuk tujuan ini, dan biasanya tanpa pelana. Penunggang kuda mengenakan topi, pisau berburu pendek, dan celana pendek, sehingga mereka duduk telanjang di atas kuda yang telanjang.

Teknik perburuan dilakukan dengan mengejar rusa hingga kuda melompat ke sisi hewan tersebut, memungkinkan penunggang untuk membunuhnya dengan satu ayunan pisau yang memotong rusuknya.

Jagor mencatat bahwa perburuan ini juga diabadikan dalam seni, misalnya melalui lukisan minyak besar karya Raden Saleh di Batavia, yang menggambarkan adegan perburuan serupa. Kesaksian lain menunjukkan bahwa seorang bupati pernah membunuh 127 ekor rusa dengan teknik ini, sementara cerita dari pemburu harimau terkenal, Tuan L.B. di Salatiga, menyebutkan pembunuhan hingga 148 ekor harimau, menunjukkan tradisi berburu yang ekstensif dan berani.

Baca Juga: Cerita dari Sukajadi Bandung
https://bandungbergerak.id/article/detail/1598915/cerita-dari-sukajadi-bandung

Dari Padang Ilalang ke Perumahan

Bagaimana keadaan Bandung dan Baleendah pada waktu itu?

Pada pertengahan abad ke-19, Bandung bukanlah kota besar seperti sekarang. Ibukota Keresidenan Priangan masih di Cianjur, dan baru pindah ke Bandung pada tahun 1864. Cekungan Bandung berupa daerah pegunungan yang sejuk, dikelilingi hutan, sawah, dan perkebunan. Sudah ada beberapa gagasan untuk mengkolonisasi kawasan ini dan memindahkan orang-orang Eropa ke Bandung, mengingat iklimnya yang sangat bersahabat bagi orang Eropa.

Tokoh paling ternama yang tinggal di Bandung adalah Franz Junghuhn, yang tinggal di Lembang. Banyak tamu-tamu penting datang ke Bandung, khusus untuk berkunjung ke rumah Junghuhn, termasuk di antaranya rombongan ekspedisi Novara dan juga Fedor Jagor, yang kedua laporannya menjadi sumber pengetahuan kita tentang lukisan Raden Saleh di Bandung.

Baleendah, jika kita melihat gambar Raden Saleh, merupakan wilayah kaki pegunungan yang berupa padang ilalang. Hal ini serupa dengan pengamatan Junghuhn ketika pertama melewati Bandung pada tahun 1837. Menurut Junghuhn, meskipun dataran di tengah-tengah Cekungan Bandung ini sudah banyak dibudidayakan dan sudah banyak ditempati oleh sawah-sawah yang subur, namun semakin ke tengah, wilayah ini semakin sepi, dan hanya menjadi tempat merumput bagi para kerbau. Penyebab sepinya penduduk adalah banjir yang setiap kali datang akan menggenangi daerah ini, bahkan bisa mengubah wilayah ini menjadi danau musiman.

Hari ini Baleendah sudah jauh berbeda. Rawa-rawa di era Junghuhn yang kemudian berganti menjadi sawah, kini berganti jadi perumahan. Orang-orang tercerabut dari kisah-kisah masa lampau. Rusa sama sekali tak pernah ditemukan lagi, satwa liar semakin jarang terlihat. Namun melalui Perburuan Rusa, kita masih bisa membayangkan seperti apa kehidupan alam di Priangan pada masa silam.

Raden Saleh berhasil mengabadikan bukan hanya adegan perburuan, tetapi juga jiwa dari sebuah lanskap. Baleendah, Bandung, bukan sekadar tempat singgah, melainkan tanah yang memberi inspirasi pada seorang maestro seni rupa dunia.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//