Menggunjingkan Kekerasan Aparat dalam Diskusi Kamisan Jatinangor
Diskusi film dokumenter Mantra Berbenah membicarakan tentang aksi kekerasan yang kerap dilakukan polisi saat mengamankan unjuk rasa.
Penulis Yopi Muharam15 September 2025
BandungBergerak.id – Pagi itu Cho Yong Gi datang bersama kawan-kawannya ke kawasan Gedung Senayan di Jakarta Pusat untuk ikut serta dalam perayaan Hari Buruh, 1 Mei 2025. Mahasiswa Filsafat itu mencari tempat aman untuk posko medis, beberapa ratus meter dari titik aksi.
Cho memilih ambil bagian menjadi paramedis untuk mengantisipasi jika ada korban yang membutuhkan pertolongan pertama. Awalnya perayaan Hari Buruh itu berjalan lancar. Para buruh meluapkan orasinya di atas mobil yang disulap jadi mimbar secara bergantian.
Menuju siang hari, The Brandals tampil di atas mobil bak yang menjadi panggung mereka. Peserta aksi bernyanyi bersama melantunkan lagu Awas Polizei. Namun saat The Jansen naik panggung, gesekan antara polisi dan massa mulai terjadi.
Menjelang sore, di tengah The Jansen memainkan musiknya, kericuhan terjadi. Polisi menembakkan gas air mata dan semburan water canon ke arah massa. Setelah aparat memukul mundur massa, mereka tunggang langgang melindungi diri.
Banyak yang berjatuhan, dipukul, dan ditangkap. Salah satu peserta aksi yang terluka, berlari ke arah Cho untuk meminta pertolongan. Mereka menganggap posko medis menjadi tempat aman dari kejaran aparat. Namun mereka keliru.
Posko medis yang berada di bawah flyover itu malah digasak aparat. Cho yang sedang mengobati turut menjadi sasaran. Paramedis segera dikepung polisi tak berseragam. Mereka mendapat tindak represif saat siang hari. Saat jalur lalu lintas padat merayap.
Cho turut jadi korban tindak kekerasan yang dilakukan polisi di tengah dirinya mengobati massa aksi. Tubuh gempal itu menjadi bulan-bulanan aparat. Padahal dirinya mengatakan medis dan sudah memakai atribut lengkap yang disertai bendera lambang Palang Merah dan logo menempel di helm, bahkan tas.
Polisi tak peduli. Cho tergeletak setelah mendapat tarikan paksa. Lehernya diinjak lars polisi, dadanya dihimpit dengkul aparat, Cho tak bisa bernafas. Cho akhirnya dipaksa berdiri dan ditangkap paksa oleh aparat karena dianggap melawan polisi.
Kisah Cho itu menjadi babak pembuka Film berjudul Mantra Berbenah. Film kolaborasi antara Watchdoc dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi (Koalisi RFP) ini memotret berbagai problematika sekaligus merangkum usulan perbaikan dan harapan masyarakat bagi Korps Bhayangkara.
Film ini menunjukkan sejumlah pelanggaran polisi yang dialami masyarakat, mulai dari kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang; penghalangan bantuan hukum; mandeknya laporan warga tentang penipuan mobil; salah tangkap yang dialami J. J. Rizal seorang sejarawan, serta pengamen, hingga guru ngaji karena dianggap begal; manipulasi penyebab kematian Afif Maulana dan Gamma Rizkynata; bahkan tindak represif kepada masyarakat adat Rempang atas proyek strategis nasional.
Dokumenter berdurasi 59 menit tersebut menjadi pembuka diskusi yang diselenggarakan oleh Kamisan Unpad, di Selasar Fikom, Jatinangor, Kamis, 11 September 2025. Diskusi ini menghadirkan Akademisi Unpad Nanang Suryana dan perwakilan Aksi Kamisan Jatinangor Noki Dwi Nugroho sebagai pemantik diskusi.
Setelah film ditayangkan, pembawa acara menegaskan polisi tak sadar bahwa mereka melakukan pelanggaran HAM tiap melakukan pengamanan aksi. “Tapi mereka terus melakukan hal serupa di tiap aksi,” ujarnya membuka acara
Di sisi lain, Noki mengatakan, setelah menonton film ini masyarakat bisa mengerti bahwa polisi tidak benar-benar mengayomi masyarakat. Sementara Nanang mengungkapkan polisi yang baik hanya patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng, menyitir ucapan Gusdur.
Baca Juga: Nongkrong Champion Bareng Lingkar Sastra Utara di Perpustakaan Bunga di Tembok: Membicarakan Puisi dan Penggusuran
Gema di Taman Film, Aksi Damai Menyuarakan Tuntutan 17+8
LBH Bandung dan KontraS Merilis Data Pengaduan Orang Hilang Selama Rangkaian Demonstrasi
Reformasi yang Gagal
Nanang menjelaskan, di zaman Orde Baru, institusi polisi menjadi bagian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, kini TNI). Namun, setelah reformasi bergulir, institusi polisi dipisahkan dari ABRI dengan harapan agar polisi menjadi institusi sipil yang dekat dengan masyarakat. Tentu prosesnya tidak mudah begitu polisi melepaskan diri dari militer. Ada faktor antara relasi sipil dan militer yang turut mempengaruhi kepolisian Indonesia.
Polisi masih berada dalam bayang-bayang sistem militer. “Mereka masih memainkan cara-cara yang represif dalam melihat rakyat, yang harusnya dilindungi malah melihat rakyat itu sebagai ancaman,” ujar Nanang.
Alasan kultural yang sudah melekat selama puluhan tahun juga menjadi faktor utama polisi bersikap represif terhadap masyarakat. “Faktor yang saya pikir penting untuk dicatat adalah faktor kulturalnya,” tutur Nanang.
Kendati demikian, sebetulnya polisi memiliki pengawasan yang cukup ketat, mulai dari; Propam, Kompolnas, Ombudsman, hingga Komisi III DPR RI. Tapi pengawasan tersebut masih belum optimal karena pelanggaran polisi terus terjadi.
Di sisi lain, Noki mengatakan peran pengawas polisi itu dinilai belum tegas. Dia memberi contoh, ketika Propam ikut serta dalam pengamanan demonstrasi, divisi profesi dan pengamanan di internal Polri itu masih abai ketika banyak aparat melakukan pelanggaran.
“Walau lihat massa dipukulin, (Propam) itu enggak ada tindakan tegas,” tuturnya. Dia menegaskan, jika ingin mereformasi tubuh polisi seharusnya tidak hanya berkutat pada satu institusi saja. Perlu adanya reformasi dari sisi politik, hukum, dan ekonomi ujarnya.
“Kalau misalnya hanya mereformasi sektor polisinya doang, saya rasa enggak ada artinya gitu, enggak akan ke mana-mana,” tandasnya.
Kekerasan dan Penangkapan Terus Berlanjut
Tidak berhenti di tayangan film, kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan kepolisian terus berlanjut. Belakangan aparat melakukan kekerasan dan serangkaian penangkapan terhadap massa aksi di berbagai titik di Indonesia yang terlibat dalam unjuk rasa sejak 25 Agustus2025 hingga 2 September 2025.
KontraS mencatat lebih dari 3.000 kasus kekerasan dilakukan polisi dalam 5 tahun terakhir. Tahun 2021 ada 641 peristiwa kekerasan, 2022 sekitar 677 kekerasan, tahun 2023 sedikitnya 622 kasus, tahun 2024 ada 645 kasus, dan di bulan Juni 2025 ada 602 kasus.
Di sisi lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatatkan sebanyak 3.337 orang ditangkap, 1.042 orang mengalami luka-luka, dan 10 orang meninggal akibat kekerasan aparat kepolisian dan kerusuhan demonstrasi pada Agustus-September 2025.
Salah satu peserta diskusi, Syamil mengatakan ada alasan peran polisi di masyarakat bersikap represif. Dia menegaskan bahwa aparat berseragam cokelat itu tidak bisa netral. Polisi lebih layak disebut sebagai agen penertiban sosial, ketimbang pengayom masyarakat. Sebab ada kepentingan yang tumbuh di institusi tersebut. “Mereka tidak bisa netral karena harus melindungi kelas dominan,” ujarnya.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB