• Berita
  • Mengapa Institusi TNI Tak Bisa Laporkan Ferry Irwandi atas Ucapannya di Jagat Maya

Mengapa Institusi TNI Tak Bisa Laporkan Ferry Irwandi atas Ucapannya di Jagat Maya

Koalisi Masyarakat Sipil ingatkan tugas pokok TNI menjaga pertahanan negara dengan memerangi musuh, bukan memerangi warga yang menyampaikan kritik di ruang publik.

Peraturan yang dirumuskan secara ugal-ugalan oleh penguasa membuka pintu lebar bagi aparat untuk bertindak sewenang-wenang. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam16 September 2025


BandungBergerak.id – Pada Senin, 8 September 2025, Komandan Satuan Siber TNI Brigadir Jenderal Juinta Omboh Sembiring, Danpuspom Mayjen TNI Yusri Nuryanto, Kapuspen TNI Brigjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah, serta Kababinkum TNI Laksda Farid Ma'aruf berkonsultasi dengan Polda Metro Jaya atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Ferry Irwandi. Dalam pernyataannya pada wartawan, Juinta mengatakan ada indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh CEO Malaka Project itu. Dugaan tindak pidana yang diadukan oleh jendral tersebut karena adanya indikasi terhadap ancaman siber yang dideteksi oleh TNI. Diketahui, Ferry kerap bersuara kritis atas situasi nasional yang sedang terjadi belakangan ini. Pihak TNI juga tidak menyebutkan secara rinci ihwal dugaan tindak pidana tersebut.

Mengutip dari laman kompas.id, Ferry diduga dilaporkan pasca dirinya tampil di acara salah satu stasiun televisi yang menyatakan adanya keterlibatan militer dalam kerusuhan saat demonstrasi sejak 25 Agustus silam. Pernyataan itulah yang menjadi indikasi dugaan tindak pidana pencemaran nama baik.

Dalam video di kanal Instagramnya, Ferry sendiri tak mengetahui tindak pidana yang dilakukannya. “Saya belum tahu apa-apa karena lagi main Fifa,” tuturnya.

Yang menjadi pertanyaan, apakah institusi TNI memiliki kedudukan hukum sebagai pelapor dalam kasus pencemaran nama baik?

Baca Juga: Gema di Taman Film, Aksi Damai Menyuarakan Tuntutan 17+8
LBH Bandung dan KontraS Merilis Data Pengaduan Orang Hilang Selama Rangkaian Demonstrasi
Membaca Sejarah Bibliosida dari Penyitaan Buku di Rumah Delpedro Marhaen

Putusan Mahkamah Konstitusi

Institusi TNI tak bisa melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan Ferry atas dugaan pencemaran nama baik karena bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024 mengatur terkait instansi pemerintahan, ataupun lembaga negara dan pejabat dilarang membuat laporan dugaan tindak pidana pencemaran nama pada polisi.

Hal itu dibenarkan oleh pihak kepolisian yang menyatakan TNI tak bisa melaporkan Ferry karena bertentangan dengan putusan MK. “Harus pribadi kalau pencemaran nama baik,” ujar Wakil Direktur Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, AKBP Fian Yunus dikutip dari Antara. Putusan MK dalam pasal 27A menafsirkan frasa “orang lain” hanya berlaku bagi individu perseorangan yang merasa dirugikan.

Institute For Criminal Justive Reform (ICJR) menilai tindakan kepolisian sudah tepat karena tidak melanjuti laporan TNI. ICJR menilai tindakan TNI telah melampaui kewenangannya dalam konstitusi dan undang-undang. Seharusnya TNI berperan dalam konteks siber untuk menanggulangi ancaman perlindungan di sektor pertahanan dan bukan mencari tindak pidana yang merupakan ranah perdata. TNI hanya bisa bekerja jika diminta oleh Polri atau penyidik. Bahkan kewenangan TNI dalam serangan siber hanya berlaku jika ada ancaman dari pihak negara lain sebagai pengacau keamanan, bukan mengawasi masyarakat sipil.

“Berbagai ekspresi atau kritik yang dilontarkan warga harusnya dimaknai sebagai bentuk ekspresi yang dilindungi oleh konstitusi dan peraturan-undangan,” dikutip BandungBergerak dari keterangan ICJR.

Merujuk pada Pedoman Pertahanan Siber yang diterbitkan oleh Kementerian Pertahanan tahun 2014 menyebut bentuk ancaman siber berupa: serangan Advanced Persistent Threats (APT), Denial of Service (DoS) dan Distributed Denial of Service (DDoS), serangan defacement, serangan phising, serangan, malware, penyusupan siber, spam, serta penyalahgunaan protokol komunikasi. Tidak disebutkan adanya serangan berupa ancaman nama baik atau perbuatan yang melanggar UU ITE.

Disebutkan dalam siklus pertahanan siber, peraturan itu menyebutkan sebatas serangan, pertahanan, analisis, pemantauan, pencegahan, dan peningkatan. Tidak ada siklus pelaporan yang tertuang dalam laporan tersebut.

Dalam UU teranyar TNI Nomor 3 Tahun 2025 dalam Pasal 7 Ayat 2 Huruf memang memberikan kewenangan kepada TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang berkaitan dengan siber. Namun penjelasan itu hanya sebatas pada sektor pertahanan yang bukan berkaitan dengan penegakan hukum.

Ditentang Koalisi Masyarakat Sipil

Adanya keterlibatan TNI dalam upaya melaporkan pemengaruh itu ditentang oleh Koalisi Masyarakat Sipul untuk Reformasi Sektor Keamanan. Mereka mengecam adanya intimidasi dan ancaman kriminalisasi oleh TNI terhadap Ferry Irwandi.

Menurut koalisi, hal yang dialami Ferry adalah ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi, begitu juga bagi pembela HAM di Indonesia yang kian dikekang ruang bersuara kritis terhadap pemerintah dan kekuasaan. Mereka memandang langkah petinggi TNI mendatangi Markas Polda Metro Jaya merupakan ancaman kriminalisasi dan bentuk intimidasi.

Kehadiran para jendral itu, menimbulkan kesan bahwa institusi militer sedang berupaya menggunakan kekuatan negara menekan kebebasan sipil dalam konteks penegakan hukum. “Ancaman kriminalisasi TNI kepada Ferry ini berpotensi mengaburkan batas antara tugas militer dengan ranah sipil,” dikutip BandungBergerak dari siaran pers koalisi.

Bagi mereka tugas pokok TNI adalah menjaga pertahanan negara dengan memerangi musuh, bukan memerangi warga yang menyampaikan kritik atau analisis di ruang publik. Keterlibatan TNI dalam pertahanan siber tak pernah dimaksudkan untuk urusan politik dalam negeri, apalagi memata-matai warga negaranya.

“Keterlibatan TNI dalam urusan internal dalam negeri hingga memata-matai warga negaranya adalah bentuk nyata pengaburan batas antara urusan dalam negeri dan urusan pertahanan yang mana mengancam demokrasi,” tegas koalisi.

Justru, menurut koalisi, adanya pelaporan TNI ini mengindikasikan adanya paya untuk menutupi fakta kejadian dan menghalang-halangi penegakan hukum yang adil dan fair. Dalam hal ini, panglima TNI seharusnya mengambil langkah tegas untuk melakukan investigasi secara internal terkait dugaan keterlibatan intelijen TNI dalam peristiwa kerusuhan sepanjang demonstrasi berlangsung.

Mereka menuntut agar kepolisian tidak menindak lanjuti kunjungan para petinggi TNI yang akan mengkriminalisai Ferry Irwandi; menuntut agar Panglima TNI, Menteri Pertahanan, hingga Komisi 1 DPR RI untuk menegur dan mengevaluasi serta mengoreksi langkah perwira TNI; Polda Metro Jaya harus segera mengusut tuntas perusakan mobil milik Direktur Imparsial, Ardi Manto, karena merupakan bentuk teror terhadap warga negara.

Selanjutnya, menuntut kepolisian membebaskan semua Pembela HAM yang ditangkap dan ditahan dengan pasal-pasal karena penghasutan dan UU ITE; dan mendesak kepada Pemerintah, DPR dan Komnas HAM untuk mengusut tuntas adanya dugaan keterlibatan TNI dalam kerusuhan sepanjang unjuk rasa berlangsung.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//