• Opini
  • Taman Pramuka Kota Bandung dan Ruang Ketiga yang Tertutup

Taman Pramuka Kota Bandung dan Ruang Ketiga yang Tertutup

Ketegangan terkait penggunaan ruang Taman Pramuka memperlihatkan kompleksitas dalam perencanaan kota. Ruang publik menjadi titik tarik-menarik berbagai kepentingan.

Rahul Diva Laksana Putra

Mahasiswa pecinta kopi yang sedang berkuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang

Suasana Design Camp, bagian dari Bandung Design Biennale, di Taman Pramuka Kota Bandung, Sabtu, 7 Oktober 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

17 September 2025


BandungBergerak.id – Taman kota merupakan ruang di mana masyarakat bisa bertemu, berinteraksi dengan leluasa dan juga membuat beragam aktivitas positif baik yang berdampak maupun tidak. Tidak hanya itu, taman kota juga dapat dijadikan sebagai sebuah paru-paru kota di tengah mobilitas yang intens dengan beragam jenis kendaraan bermotornya yang memungkinkan merusak kualitas udara. Bandung menjadi salah satu kota di Indonesia dengan jumlah taman kota yang tersebar di beberapa wilayah dengan mempertahankan beragam jenis tumbuhan dan pepohonan yang sudah ada sejak dulu.

Salah satu proyek taman kota yang menonjol di kota Bandung yaitu revitalisasi Alun-alun Bandung oleh Wali Kota Ridwan Kamil pada 2014. Area seluas 1.200 meter persegi itu dilapisi rumput sintetis dan langsung menjadi magnet bagi warga serta wisatawan. Namun, tak lama kemudian, muncul kritik dari media seperti Tempo karena alun-alun dinilai mulai kotor dan berbau, terutama setelah hujan. Masalah utamanya adalah rendahnya kepedulian pengunjung terhadap kebersihan serta pemilihan material sintetis yang tidak cocok untuk ruang terbuka umum.

Selain Alun-alun, Bandung memiliki lebih dari 850 taman kota dengan total luas sekitar 2,4 juta meter persegi. Sayangnya, kuantitas tersebut belum selalu diiringi dengan kualitas. Contohnya adalah Taman Film yang dinilai tidak nyaman karena lokasinya berdekatan dengan tempat pembuangan sampah, seperti diulas oleh media Mojok.

Taman kota sejatinya adalah ruang interaksi sosial. Beberapa taman seperti Taman Pasupati (juga dikenal sebagai Taman Jomblo) dan Taman Monumen Perjuangan berhasil menciptakan atmosfer terbuka bagi publik. Taman Pasupati, yang berada di bawah Jembatan Pasupati, bahkan memiliki fasilitas skateboard yang dapat digunakan kapan saja. Di sini, anak muda bebas mengekspresikan diri, berolahraga, hingga berkumpul dengan komunitas, asalkan dilakukan secara bertanggung jawab.

Sementara itu, Taman Pramuka di Jalan L. L. R. E. Martadinata juga menonjol dengan hadirnya Youth Space, dengan skatepark seluas 2.000 meter persegi tanpa biaya atau gratis. Taman ini ramai dikunjungi oleh pemain skateboard, BMX, dan sepatu roda. Seiring waktu, area ini dikenal dengan nama Youth Space, hasil kolaborasi antara pemerintah dan Shift Media yang saat itu dijembatani oleh Ustaz Hanan Attaki.

Baca Juga: Vandalisme, Sampah, dan Pencurian di Taman-taman Kota Bandung
Taman-taman di Kota Bandung Memerlukan Perawatan secara Profesional
Ketika Taman Menjadi Rumah Kedua Warga Kota

Inklusivitas Taman Pramuka

Irisan antara skatepark dan keperluan administratif pemerintah menciptakan dikotomi antara budaya populer dan organisasi pendidikan nonformal. Walaupun skateboard identik dengan kebebasan, sedangkan Pramuka menekankan semangat kemandirian yang terstruktur, bukankah keduanya memiliki semangat yang sama? Bukankah keduanya mengusung etos “yang muda yang berkarya”? Bukankah keduanya menyimpan harapan terhadap anak muda? Bukankah bermain skateboard di skatepark lebih aman dan merupakan bentuk upaya meminimalkan aksi skateboarding yang berpotensi merusak fasilitas umum?

Pertanyaan terakhir menjadi penting ketika pada akhir Juli 2025, surat pemberitahuan turun ke tangan komunitas skateboard. Beberapa komunitas dan media yang mendukung skateboarding beramai-ramai menampilkan lembaran surat pernyataan penutupan skatepark Taman Pramuka di media sosial, salah satunya adalah akun Instagram milik Tampra Youth Space.

Dalam lembaran tersebut dituliskan: “Disampaikan dengan hormat, berkenaan dengan penyelenggaraan Kursus Pelatih Pembina Pramuka Tingkat Dasar (KPD) Tahun 2025 pada hari Sabtu s.d Jumat, tanggal 26 Juli s.d 1 Agustus 2025 di Taman Pramuka.” Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa akan ada aktivitas yang diperuntukkan bagi kepentingan organisasi Pramuka sampai tanggal 1 Agustus 2025.

Selanjutnya, satu kalimat ditulis dengan rata tengah dan huruf kapital dicetak tebal dengan kalimat “Aktivitas skate park dihentikan sementara”. Di bawah kalimat tersebut ditulis dengan huruf kecil yang menjadi lanjutan, tertulis “Sampai dengan pelaksanaan kegiatan Kursus Pelatih Pembina Pramuka Tingkat Dasar (KPD) Tahun 2025 selesai.” Pada bagian akhir surat, dengan rata tengah tertulis keterangan kalimat penutup seperti kalimat terima kasih atas perhatiannya, seperti surat peringatan lainnya, disertai stempel Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Kota Bandung dengan gambar tunas kelapa berwarna biru pudar menimpa tanda tangan ketua Kwarcab beserta nama panjang bergelar dan Nomor Tanda Anggota.

Surat ini menyimpan makna tersendiri. Tidak terbayang berapa banyak orang yang terlibat dalam kegiatan "kursus" tersebut hingga harus membatasi kegiatan skateboard yang hanya menempati sekitar sepuluh persen dari dua belas ribu meter persegi luas wilayah Taman Pramuka. Namun, pembatasan terhadap komunitas skateboard di taman ini bukanlah hal baru. Pada 9 April 2019, A. J. Gunawan membuat petisi yang ditandatangani oleh 7.500 orang di laman Change.org untuk menolak pembangunan skatepark di lahan yang memiliki sejarah panjang hingga menjadi Taman Pramuka seperti saat ini.

Skateboarding bukan sekadar aktivitas bermain atau olahraga, melainkan juga menjadi media edukasi nonformal (melalui tren) yang mudah diterima oleh anak muda, termasuk dalam penyebaran kegiatan berbasis keagamaan di luar kepramukaan (seperti diulas oleh Detik pada 2015). Ruang publik sangat berperan besar dalam kelangsungan aktivitas positif tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa ruang publik dapat menjadi wadah harmonis antara ekspresi budaya populer dan nilai-nilai keagamaan.

Sekitar sebelum tahun 2019, diketahui terdapat rencana untuk merelokasi bangunan Sekretariat Pramuka ke Gedebage yang diinisiasi oleh pemerintah kota. Namun, hingga hari ini, rencana tersebut belum terealisasi, sehingga ketegangan terkait penggunaan ruang di Taman Pramuka terus berlanjut. Kasus ini memperlihatkan kompleksitas dalam perencanaan kota, di mana ruang publik menjadi titik tarik-menarik antar berbagai kepentingan.

Ruang Ketiga Bandung

Permasalahan spasial atau keruangan merupakan imbas dari idealisme perancangnya. Dalam kasus Taman Pramuka, kompleksitasnya tidak hanya sebatas isu antara skateboard dan organisasi Pramuka, tetapi juga mencakup bagaimana pagar dan bangunan sekretariat menjadi simbol pembatasan ruang gerak publik.

Henri Lefebvre (1991), dalam buku "Thirdspace: Journeys to Los Angeles and Other Real-and-Imagined Places", menjelaskan bahwa ruang sosial adalah konstruksi yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga membawa dampak imateriel yang membentuk pola pikir masyarakat. Taman kota seperti Taman Pramuka merepresentasikan konsep ini –tempat di mana masyarakat berinteraksi, berekspresi, dan berbagi identitas, meskipun kadang harus bersaing dengan kepentingan institusional.

Sayangnya, sebagaimana dijelaskan oleh Damayani (2008), banyak perancang kota masih terpaku pada masterplan lama yang tidak mampu menjawab tantangan masyarakat modern yang kompleks dan heterogen. Kota seperti Bandung membutuhkan pendekatan lintas disiplin –menggabungkan aspek sosial, budaya, teknologi, hingga lingkungan– agar taman kota benar-benar inklusif dan berdaya guna.

Bandung memiliki potensi luar biasa dalam menciptakan ruang publik yang berfungsi layaknya jantung kota seperti Monas di Jakarta. Taman kota harus menjadi ruang yang terbuka bagi semua, bebas digunakan, namun tetap tertib dan nyaman. Fungsi ruang publik tidak seharusnya dibatasi oleh satu kelompok, melainkan menjadi ruang produktif bagi siapa pun. Hal ini hanya bisa tercapai jika masyarakat mau menjaga dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab, serta jika pemerintah mampu mengelola ruang publik secara adil dan transparan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//