• Opini
  • Ketika Taman Menjadi Rumah Kedua Warga Kota

Ketika Taman Menjadi Rumah Kedua Warga Kota

Kebijakan Jakarta membuka taman sebagai ruang publik selama 24 jam sehari jangan berhenti pada simbol. Ia harus terus berlanjut menjadi transformasi budaya kota.

TH Hari Sucahyo

Pegiat pada Laboratorium Kajian Sosial Lingkungan (LKSL) “NODES”

Monumen Nasional (Monas) menjadi ikon Jakarta, ibu kota Indonesia. (Foto: Ahmad Fikri/BandungBergerak.id)

17 Juni 2025


BandungBergerak.id – Jakarta kini semakin hidup, bukan hanya di pusat perbelanjaan, kafe, atau jalanan yang padat, tapi juga di ruang-ruang terbuka hijau yang selama ini tidur lebih cepat dari denyut kota. Kebijakan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang mengaktifkan lima taman kota: Taman Lapangan Banteng, Taman Menteng, Taman Literasi Christina Martha Tiahahu, Taman Ayodya, dan Taman Langsat sebagai taman 24 jam adalah langkah simbolik sekaligus strategis.

Ia bukan hanya soal memperpanjang jam buka fasilitas publik, tetapi soal membalik cara pandang kita tentang kota: dari ruang yang kaku dan fungsional menjadi ruang hidup yang lentur, inklusif, dan merawat. Taman kota, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar “pelengkap” estetika urban atau tempat joging pagi para pensiunan. Ia bertransformasi menjadi ruang pertemuan lintas usia, lintas kelas, dan lintas minat.

Di tengah ritme hidup Jakarta yang cepat, bising, dan terkadang terlalu menuntut, taman menjadi jeda. Ia seperti titik koma dalam kalimat panjang keseharian yang melelahkan. Ketika anak-anak muda bisa bermain basket di Taman Menteng sampai tengah malam, atau sekadar berbincang santai di Taman Literasi tanpa harus tergesa pulang karena jam tutup, maka kota telah memberi ruang aman dan sehat bagi ekspresi, interaksi, bahkan kontemplasi.

Baca Juga: Vandalisme, Sampah, dan Pencurian di Taman-taman Kota Bandung
Taman Vertikal Solusi Rumah Minim Lahan dan Ramah Lingkungan
Taman-taman di Kota Bandung Memerlukan Perawatan secara Profesional

Membuka Taman Publik 24 Jam

Kesehatan mental dan fisik bukan lagi urusan personal semata. Ia adalah isu publik yang harus dijawab oleh kebijakan publik. Kota yang menyediakan ruang terbuka hijau, terlebih yang bisa diakses 24 jam, secara tidak langsung tengah mengakui bahwa warganya butuh ruang untuk sembuh, untuk merasa cukup, dan untuk merasa dimiliki oleh kota yang mereka tinggali.

Keberadaan taman sebagai tempat pelepasan stres, ruang bermain anak, tempat olahraga, atau sekadar lokasi melamun sambil mendengar musik di bangku taman –semua adalah bagian dari ekosistem kesehatan kolektif. Namun taman kota juga adalah panggung politik. Ia adalah pernyataan tentang siapa yang berhak atas ruang kota. Terlalu lama ruang-ruang publik kita dikaveling oleh kapital, ditentukan oleh sewa tempat, harga minuman, dan aturan berpakaian.

Di taman, semua orang bisa duduk berdampingan. Tidak ada pintu, tidak ada tiket masuk, tidak ada kasir. Dan ketika ia dibuka selama 24 jam, pesan yang mengendap adalah: Jakarta ini milik semua orang, kapan saja. Langkah ini juga menjadi sinyal kuat bahwa Jakarta mulai menyadari pentingnya penilaian global terhadap kualitas kota. Taman adalah salah satu komponen dalam Indeks Kota Global, sebuah indikator yang mengukur sejauh mana kota-kota di dunia mampu memenuhi hak dasar warganya atas udara bersih, ruang hidup sehat, dan interaksi sosial yang produktif.

Dengan mengaktifkan taman-taman sebagai ruang publik selama 24 jam, Jakarta secara tidak langsung menyodorkan dirinya sebagai kota yang ingin lebih dari sekadar layak huni. Ia ingin dicintai, dirayakan, dan dirawat. Di sisi lain, perlu diakui bahwa kebijakan semacam ini tidak akan berarti tanpa infrastruktur pendukung dan pengawasan yang tepat. Taman 24 jam membutuhkan pencahayaan yang memadai, sistem keamanan yang humanis, kebersihan yang terus terjaga, dan tentu saja program yang menghidupkan ruang tersebut secara kultural.

Tanpa itu semua, taman bisa menjadi ruang kosong yang rawan, bukannya nyaman. Apalagi, tak semua orang memiliki privilese untuk merasakan manfaat ruang terbuka. Meskipun taman dibuka sepanjang waktu, masih ada warga yang terlalu lelah untuk datang, terlalu jauh untuk menjangkaunya, atau terlalu sibuk mengejar upah harian. Maka, tantangan ke depan adalah memperbanyak taman dengan akses setara di seluruh wilayah Jakarta, bukan hanya di pusat kota atau kawasan elite.

Membuka Kemungkinan Baru Merancang Kota

Selain itu, membuka taman 24 jam juga berarti membuka kemungkinan-kemungkinan baru tentang bagaimana kota dirancang. Apakah kita siap dengan kota yang hidup sepanjang waktu? Bagaimana dengan transportasi malam, penerangan jalan, serta integrasi antarwilayah agar warga dari pinggiran bisa ikut menikmati fasilitas ini? Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar kebijakan taman 24 jam tidak berhenti pada simbol, tetapi berlanjut menjadi transformasi budaya perkotaan.

Yang menarik, anak muda menjadi aktor utama dari kehidupan taman malam hari. Di tengah budaya nongkrong yang semakin beragam, taman memberi alternatif yang sehat dan murah. Mereka bisa berdiskusi, membuat konten, bermain musik, atau hanya duduk menatap langit Jakarta yang meskipun redup tetap menyimpan harapan. Taman menjadi semacam rumah kedua, di mana batas antara privat dan publik melebur menjadi ruang bersama yang egaliter.

Ada harapan bahwa taman-taman 24 jam ini juga akan menjadi panggung seni, pustaka jalanan, dan laboratorium komunitas. Bayangkan pemutaran film di Taman Literasi, kelas yoga di Taman Ayodya pada dini hari, atau diskusi buku di Taman Langsat menjelang subuh. Kota yang membiarkan kreativitas hidup tanpa batas waktu adalah kota yang sedang merawat akal sehat warganya.

Jakarta selama ini dikenal sebagai kota yang melelahkan, kota yang seolah hanya menyisakan ruang untuk para pekerja, pebisnis, dan kendaraan. Tapi melalui kebijakan taman 24 jam, kita melihat benih harapan tumbuh. Mungkin Jakarta tidak sepenuhnya berubah, tapi ia sedang membuka pintu. Pintu untuk pulih, untuk tumbuh bersama, dan untuk tidak merasa asing di tengah beton dan aspal.

Di taman, kita belajar bahwa kebersamaan tidak butuh banyak biaya. Cukup sepetak rumput, bangku panjang, pohon rindang, dan lampu yang tak padam. Dari situ, Jakarta bisa mulai menulis ulang narasi tentang dirinya bahwa kota ini bukan hanya tentang gedung tinggi dan kemacetan, tapi tentang ruang-ruang kecil yang penuh arti.

Taman memang tidak menyelesaikan semua persoalan kota. Tapi ia bisa menjadi titik awal, sebuah pernyataan bahwa kota ini punya hati. Dan selama hati itu terus berdenyut lewat kebijakan yang berpihak pada ruang publik, Jakarta akan terus hidup tidak hanya sebagai kota megapolitan, tetapi sebagai rumah bagi setiap warganya, siang dan malam.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//