• Berita
  • Doa untuk Bangsa dari Pangeling-ngeling Mama Mei Kartawinata

Doa untuk Bangsa dari Pangeling-ngeling Mama Mei Kartawinata

Mama Mei Kartawinata merupakan tokoh penghayat sekaligus pejuang kemerdekaan. Perjalanan hidupnya penuh inspirasi.

Penghayat Kepercayaan Budi Daya memperingati Pangeling-ngeling ke-98 Pamendak Mama Mei Kartawinata di Pasewakan Warugajati, Cicalung Lembang, Kabupaten Bandung, Selasa, 16 September 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam18 September 2025


BandungBergerakPenghayat Kepercayaan Budi Daya memperingati Pangeling-ngeling ke-98 Pamendak Mama Mei Kartawinata di Pasewakan Warugajati, Cicalung Lembang, Kabupaten Bandung, Selasa, 16 September 2025. Acara ini rutin digelar untuk menyambut tanggal 17 September, hari sakral bagi para penghayat kepercayaan di mana Mama Mei Kartawinata mendapatkan wangsit di tanggal tersebut.

Para sepuh dan anak-anak penghayat mengikuti acara dengan menggunakan pakaian adat Sunda. Lima ibu menampilkan tarian menggunakan lesung dan alu, tempat penumbuk padi, diiringi gamelan dan lagu bertajuk ‘Orai-oraian’.

Tarian berikutnya berupa tari badaya untuk menyambut para tamu yang dibawakan anak-anak. Empat menggunakan warna selempang yang berbeda. Tiap warnanya memiliki arti yang menyimbolkan kehidupan. Warna merah berarti hati, hitam lambang bumi, kuning artinya angin, dan putih melambangkan air. Warna tersebut menyimpulkan raga setiap manusia memiliki empat elemen tersebut.

Pangeling-ngeling ini diwarnai kirab sasajen yang menampilkan pelbagai olahan hasil bumi berupa makanan olahan, buah-buahan, dan kembang tujuh rupa. Kirab ini merupakan bentuk rasa syukur dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta penghormatan kepada para leluhur dan alam semesta.

Semerbak kemenyan dan dupa menyeruak ke segala penjuru pasewakan saat prosesi kirab dilakukan. Wanginya membuat tenang saat dihirup. Satu persatu hasil bumi itu diterima oleh seorang ibu sepuh yang kemudian meletakkan ke atas meja. Di sana terdapat foto Mama Mei dan logo garuda.

Sesekali ada yang mengeluarkan gawainya untuk mengabadikan momen satu tahun sekali itu.

Acara ini semakin sakral ketika prosesi amitsun dan hening panggalih dimulai. Amitsun dalam bahasa Sunda berarti permintaan izin sebelum dimulainya acara. Para hadirin tertunduk saat hening panggalih atau berdoa terhadap Tuhan mulai dilantunkan dalam hati selama beberapa menit.

Di akhir prosesi adat, acara dimeriahkan penampilan wayang golek dengan dalang Sensen Wawan Dede Amung Sutarya dari Munggul Pawenang Putu. Sensen membawa lakon ‘Dawala Guru Dewa’, anak kedua Semar. Ki dalang menyelipkan bobodoran dan kritik sosial terkait kondisi bangsa.

Semar, dalam lakon tersebut, mengatakan seorang wakil rakyat tak layak mewakili rakyatnya sama sekali.

“Gegeden ngadon ngibing di handap kasangsaraan rakyat,” ucap Semar.

Pangeling-ngeling bukan sekadar acara kelompok penghayat. Masyarakat umum ikut menikmati setiap gelaran acara. Mereka hadir menonton maupun membuka lapak jualan berbagai barang mulai dari pakaian, aksesoris, hingga makanan.

Penghayat Kepercayaan Budi Daya memperingati Pangeling-ngeling ke-98 Pamendak Mama Mei Kartawinata di Pasewakan Warugajati, Cicalung Lembang, Kabupaten Bandung, Selasa, 16 September 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Penghayat Kepercayaan Budi Daya memperingati Pangeling-ngeling ke-98 Pamendak Mama Mei Kartawinata di Pasewakan Warugajati, Cicalung Lembang, Kabupaten Bandung, Selasa, 16 September 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Mendoakan Negara

Ida Rosida, Ketua Pelaksana, mengungkapkan pagelaran ini mengambil tema ‘Pancasila Diamalkan, Indonesia Dikuatkan’ yang merujuk pada kondisi negara saat ini. Perempuan penghayat itu menyadari sejak akhir bulan Agustus banyak demonstrasi berlangsung untuk mengkritik ketimpangan yang dialami masyarakat atas kehidupan foya-foya pejabat.

Beberapa minggu sebelum acara digelar, para pemuda penghayat Budi Daya menggelar rapat untuk menentukan tema yang akan diangkat dalam pangeling-ngeling. Melihat situasi sedang memanas mereka menyimpulkan untuk mengangkat tema Pancasila sebagai kekuatan agar Indonesia kembali normal dengan kesejahteraan masyarakatnya.

“Makanya kita mengambil inisiatif mengangkat tema Pancasila,” tutur Ida.

Diketahui ajaran Mama Mei menekankan akan pentingnya Pancasila bagi kehidupan bersosial. Menurut Ida, keluarga Penghayat percaya bahwa Pancasila bisa menjadi alat untuk mempersatukan Indonesia.

“Semoga negara ini bisa kembali runtut raut sauyunan,” harap perempuan berumur 20 tahun itu.

Ida juga menjelaskan bahwa acara ini sangat penting bagi penganut kepercayaan. Sosok Mama Mei menjadi tokoh bagi organisasi Budi Daya. Ajaran Mama Mei yang paling melekat adalah keterhubungan dengan alam terutama air yang merupakan sumber kehidupan di alam semesta.

“Air itu bisa memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup seperti tumbuhan, tanah, hingga manusia sendiri,” ujarnya. “Ibaranya air juga bisa membersihkan hal-hal kotor yang melekat dalam tubuh kita.”

Baca Juga: Terjal Jalan Murid-murid Penghayat Kepercayaan Menghadapi Perundungan
Warisan dari Penghayat Lembang: Menjaga Mata Air, Merawat Bawana

Penghayat Kepercayaan Budi Daya memperingati Pangeling-ngeling ke-98 Pamendak Mama Mei Kartawinata di Pasewakan Warugajati, Cicalung Lembang, Kabupaten Bandung, Selasa, 16 September 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Penghayat Kepercayaan Budi Daya memperingati Pangeling-ngeling ke-98 Pamendak Mama Mei Kartawinata di Pasewakan Warugajati, Cicalung Lembang, Kabupaten Bandung, Selasa, 16 September 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Gerakan Progresif dan Kebatinan Mama Mei

Di gerbang pasewakan, terdapat instalasi yang menggambarkan perjalanan hidup Mama Mei. Selain dikenal karena ajaran kebatinannya, Mama Mei juga merupakan pejuang kemerdekaan yang pro terhadap rakyat kecil, terutama buruh.

Mei Kartawinata adalah tokoh yang aktif mengajarkan ajaran leluhur dengan menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. Ia lahir 1 Mei 1897 dari pasangan RD. Kartowidjojo (Rembang) dan RD Mariah (Bogor). Beliau menerima wangsit pada 17 September 1927, saat berusia 30 tahun, dan wafat pada 1967 di usia 70 tahun. Angka 7 dianggap sebagai simbol arah hidup, dan dalam salah satu pupuhnya, Mama Mei menyebut angka ini sebagai penutup.

Dalam perjuangannya melawan penjajahan Belanda, Mama Mei terlibat berbagai gerakan. Pada 1914, ia mulai bekerja sebagai buruh percetakan di Bandung, kemudian pada 1922 bergabung dengan Indische Drukkerj Bond (IDB). Pada 1936, beliau membentuk Perhimpoenan Rakjat Indonesia Kemanoesaan, dan tujuh tahun kemudian mendirikan Badan Pembantoe Keamanan Oemoem.

Engkus Ruswana, ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), mengungkapkan bahwa Mama Mei berjuang dengan menghimpun perlawanan dari akar rumput. Perburuan oleh tentara kolonial membuat Mama Mei berpindah-pindah tempat. Di Bandung, ia bertemu Sukarno di rumah Inggit Ganarsih, yang memperkuat tekadnya untuk memerdekakan Indonesia.

Pada 1925, Mama Mei pindah ke Cirebon dan bekerja di percetakan. Di sana, ia bertemu tokoh pergerakan dan mengubah gerakan buruh menjadi gerakan kebangsaan. Namun, gerakannya mulai terendus pihak Belanda, dan ia ditangkap.

Walaupun ditangkap beberapa kali (1937, 1942, 1946, 1949) di berbagai penjara, seperti Cigereleng, Banceuy, Sukamiskin, Cirebon, Yogyakarta, dan Glodok, semangat perjuangan Mama Mei tak pernah padam. Ia menekankan pentingnya literasi dan pendidikan politik bagi rakyat.

"Maca pake kaca, bahasa nyaho sundana," demikian salah satu kalimat terkenal dari Mama Mei, yang berarti pentingnya membaca dan menguasai bahasa asing untuk membebaskan rakyat dari kebodohan.

Pada 1945, Mama Mei mendirikan Partai Permai (Persatuan Rakyat Marhaenis), yang meraih dua kursi di Konstituante. Istilah “Marhaenis” mengacu pada kelompok nasionalisme proletar.

Engkus menilai perjuangan Mama Mei sebagai pejuang demokrasi dan buruh sangat patut diteladani. Mama Mei juga menyadari pentingnya pendidikan bagi rakyat kecil.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//