• Berita
  • Kampus Diminta segera Implementasikan Permendikbudristek PPKS

Kampus Diminta segera Implementasikan Permendikbudristek PPKS

Sebuah penelitian mengungkap, kekerasan seksual banyak terjadi diberbagai kampus di Indonesia, baik perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi agama.

Elemen masyarakat sudah lama menuntut disahkannya RUU PKS. Hadirnya Permendikbud PPKS sedikit memberi angin segar dalam pencegahan dan perlindungan korban kekerasan seksual. (Foto: Komnas Perempuan)

Penulis Tim Redaksi13 November 2021


BandungBergerak.idPermendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi membawa angin segar bagi mahasiswa. Mereka termasuk kalangan rentan menjadi korban penyalahgunaan kuasa dari pihak kampus.

Sebuah penelitian mengungkap, kekerasan seksual banyak terjadi diberbagai kampus di Indonesia, baik perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi agama. Pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi dapat dilakukan oleh civitas academika, baik dosen, tenaga kependidikan, karyawan, dan mahasiswa sendiri.

Ketua Dewan Eksektif Mahasiswa Universitas (Dema-U) UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Malik Fajar Ramadhan, menyambut baik lahirnya Permendikbudristek PPKS. Ia bersyukur dengan adanya regulasi tersebut dan sudah sepatutnya Permendikbud mendapat dukungan dari universitas. 

“Jadi poin pertama kita bersyukur karena regulasi yang memberikan aturan atau landasan bagi perlindungan korban kekerasan dan pelecehan seksual,” ungkap Malik Fajar Ramadhan saat ditemui di Kantin Student Center, UIN SGD Bandung, Jumat (12/11/2021). 

Ia berharap dengan adanya regulasi ini, implementasinya dapat berjalan dengan baik dan membuat perguruan tinggi sebagai ruang aman bagi mahasiswa. Dema-U siap mengawal agar Permendikbudristek PPKS bisa diimplementasikan di kampusnya.

“Secara sikap Dema-U bersyukur dan siap mengawal tindak lanjut dari Permendikbud itu untuk kemudian di implementasikan secara konkret di kampus UIN Bandung,” jelasnya. 

Dalam waktu dekat, Dema-U melalui Kementrian Kajian Isu Strategis akan membuat diskusi dan kampanye yang bertujuan untuk mengedukasi Permendikbudristek PPKS. Sebab, hadirnya regulasi ini ditujukan untuk membuat ruang aman dan hadir sebagai regulasi untuk perlindungan korban. 

Malik mengaku, kasus-kasus pelecehan seksual memang berpotensi terjadi di setiap kampus. Adanya regulasi membuat kasus yang sudah terjadi bisa ditindaklanjuti, sehingga pelakunya bisa  disanksi. 

Malik juga mendorong agar UIN SGD Bandung segera membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Selain itu, pihak kampus agar dapat benar-benar menindaklanjuti secara konkret poin-poin yang ada dari Permendikbudristek.

Menurut Malik, salah satu yang dapat dilakukan kampus adalah menjabarkan lebih rinci lagi poin-poin di Permendikbudristek ke dalam SK Rektor. Sehingga ada sabuk pengaman khusus bagi seluruh civitas akademika agar aman dari pelecehan dan kekeresan seksual.

Pelaku Dikenal Baik oleh Korban

Dalam jurnal ilmiah Qawwam: Journal For Gender Mainstreaming, “Demi Nama Baik Kampus VS Perlindungan Korban: Kasus Kekerasan Seksual di Kampus”, yang ditulis Nikmatullah dari UIN Mataram (2020), pelaku kekerasan seksual di kampus biasanya dilakukan oleh orang yang punya kuasa terhadap korban. Selain itu, pelaku biasanya dikenal oleh korbannya. 

“Umumnya, pelaku dikenal dengan baik oleh korban, sehingga korban tidak mencurigai pelaku. Pelaku cenderung melakukan kekerasan seksual berulang kali terhadap orang yang berbeda,” ungkap Nikmatullah.

Dilihat dari karaktersitik pelaku, Nikmatullah memaparkan kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa pun, termasuk orang yang terlihat agamis, sopan, dan cerdas, dosen senior, pejabat di kampus, dan dosen public figure yang aktif dalam organisasi sosial keagamaan maupun mahasiswa senior dan seangkatan.

“Oleh karena itu, kekerasan seksual di kampus ibarat gunung es yang baru terungkap jika ada mahasiswi yang berani melaporkan atau menceritakan kasus yang dialaminya. Satu orang yang berani bersuara, maka keberanian akan muncul dari korban lain,” ungkapnya.

Baca Juga: Kampus di Bandung Suarakan Dukungan pada Permendikbudristek PPKS
Gejala Kekerasan Seksual Digital masa Pandemi Covid-19 di Bandung dan Nasional
Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan

Relasi Kuasa

Ada relasi kuasa yang membuat kekerasan seksual di kampus terjadi. Hal ini didukung oleh relasi gender dan rape culture. Ketimpangan relasi kuasa terkait dengan pihak yang memiliki kewenangan dipandang memiliki peluang untuk menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kekerasan seksual terhadap orang yang dipandang lemah atau di bawah pengawasannya.

“Dalam konteks perguruan tinggi, dosen mempunyai kekuasaan terhadap mahasiswa di antaranya dalam bentuk pembimbingan, penugasan, dan evaluasi,” kata Nikmatullah.

Oknum dosen, lanjut Nikmatullah, dapat memanfaatkan kewenangannya untuk melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswanya. Sedangkan ketimpangan relasi gender terjadi karena konstruksi gender yang patriarkis dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang superior, dominan, dan agresif, sedangkan perempuan sebagai orang yang inferior, submisif, dan pasif. Akibatnya, perempuan dirugikan dan rentan mengalami kekerasan seksual.

Selain itu, kekerasan seksesual juga terjadi karena rape culture di mana tubuh perempuan dijadikan sebagai objek dan layak dilecehkan, misoginis, serta tidak memberikan hak dan perlindungan kepada perempuan dan hal tersebut diterima, dijustifikasi, blaming victim, membuat joke yang seksis, dan toleran terhadap pelecehan seksual. Dalam lingkungan yang seksis dan tidak ramah gender, memungkinkan terjadinya kekerasan seksual berlipat ganda.

Aturan tak seperti Sulap

Keluarnya Permendikbudristek PPKS tidak akan secara otomatis menghilangkan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Tapi setidaknya dengan adanya aturan, peluang korban atau penyintas untuk mendapatkan keadilan bisa terbuka lebar.

“Karena memang aturan ini bukan seperti apa istilahnya sulap yang bisa langsung ‘creng’ gitu berhenti kekerasan seksualnya,” kata Direktur Women's Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang Ira Imelda, kepada BandungBergerak.id.

Menurutnya, Permendikbudristek PPKS merupakan alat alat yang bisa dipakai oleh penyintas dan pendampingnya untuk mendapatkan keadilan yang selama ini sangat sulit didapat.

Di sisi lain, Ira menyebut Permendikbudrisek PPKS sebagai terobosan yang sudah lama dinantikan oleh korban dan pendamping korban. Terlebih Indonesia belum memiliki undang-undang yang khusus tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Sementara RUU PKS yang saat ini digodok oleh pemerintah dan DPR terus-terusan molor.

Persoalan berikutnya, kata Ira, kampus harus segera mengimplementasikan Permendikbudristek PPKS, mulai pembentukan Satgas PPKS, saksinya, pencegahannya, dan peraturan-peraturan turunan turunan Permendikbud lainnya.

“Secara umum setiap kampus ini kan perlu mewujudkan good governencenya yang kemudian diberi payung oleh Permendikbud ini. Nah Permendikbud ini mestinya dilihat sebagai sesuatu yang sangat menolong yang sangat memberikan perhatian khusus pada korban.

*Liputan ini hasil kerja Tim Redaksi BandungBergerak.id yang terdiri dari: Putra Wahyu Purnomo dan Awla Rajul

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//