BUKU BANDUNG (23): Habis Gelap Terbitlah Puisi, Katarsis Penyair Muda Bandung melalui Kata
Buku antologi puisi Habis Malam Terbitlah Puisi menandai debut penyair muda Bandung, Eggy Resa, mengarungi dunia sastra. Lahir sebagai tanggapan atas keresahan.
Penulis Bani Hakiki21 November 2021
BandungBergerak.id - Kota Kembang tak pernah kehabisan generasi seniman dan sastrawan muda yang terus melahirkan karya-karya berkualitas. Pada penghujung tahun 2021 ini, seorang penayir muda Eggy Resa baru saja menerbitkan buku debutnya. Sebuah antologi sajak dan puisi berjudul Habis Malam Terbitlah Puisi jadi tiket Eggy untuk mulai mengarungi dunia sastra Indonesia.
Pria nyunda kelahiran Bandung, 8 Oktober 1995, dengan nama lengkap Eggy Saeful Akhmad ini sudah cukup lama terpikat keindahan permainan kata-kata. Memasuki kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2013, dia mulai tertarik lebih serius dengan bentuk-bentuk penyairan kata-kata. Eggy mulai intens mengonsumsi berbagai macam sajak dan puisi pop modern sejak medio 2014.
Seiring waktu, bait-bait syair eksistensialis yang dia tulis kental dengan gaya romansa penyair generasi 1940-an, terutama Chairil dan Rendra. Eggy juga mulai melirik lebih banyak puisi post modern 1970-an hingga era 2000-an seperti milik Sapardi, Joko Pinurbo, Sinta Ridwan, dan penyair beken lainnya. Dan kini, penyair muda itu menjelma sebagai koki syair melankolis dengan cinta dan romantisasi diksi sebagai bumbu andalan untuk setiap sajian
sajaknya.
Antologi puisi yang dikemas dalam buku bersampul gambar ilustrasi karya Aditya Dwi Putra ini menawarkan empat babak naskah. Kita diajak langsung menyaksikan perkembangan pola artistik dari pujangga muda ini sesuai tahun lahirnya karya, yang disisipkan di sudut kiri atau kanan halaman.
Eggy menyusupi setiap kata dan kalimat yang dia lahirkan dengan menghamba kepada kejenakaan ironis, cinta, dan kegelisahan. Setiap rangkaian puisinya memiliki penghayatan empiris dan intuitif. Di situlah pembaca bakal diberi kesempatan menarik benang merah dari sekumpulan sajak dan puisi ini.
Habis Malam Terbitlah Puisi dirilis secara mandiri oleh sang penyair bersama penerbit independen Rumus Press yang bermarkas di Kota Bandung. Diketahui, buku ini juga jadi terbitan perdana penerbit lokal tersebut. Untuk memperluas jaringan pada debutnya, Eggy berkolaborasi dengan salah satu penerbit asal Yogyakarta, Writing Revolution.
Buku perdana Eggy Resa disambut dengan hangat oleh sederet penyair dan seniman. Salah satu apresiasi datang dari seorang sutradara teater Iman Soleh yang mengaku terbawa suasana gelisah setelah membaca serangkaian bait yang Eggy tulis. Sajak dan puisi Eggy dianggap sebagai bentuk kemarahan yang dicatat dengan ejaan tidak sederhana dan rasa kecewa yang diuraikan dengan tidak putus asa.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (22): Basar Idjonati, Pelukis Mooi Indie yang Terlupakan
BUKU BANDUNG (21): Jurnalis Juga Manusia
BUKU BANDUNG (20): Pengalaman 25 Alumni Jurnalistik Fikom Unpad Menggeluti Dunia Pers
Teka-teki Melankolis
Gaya kepenyairan Eggy tidak bisa lepas dari dua sosok legendaris, Rendra atau Chairil. Sang penyair tidak segan membanjiri buku debutnya ini dengan sisi melankolis yang merefleksikan kisah-kisah romantis bersifat pribadi dan umum.
Dalam sebuah bab yang bertajuk "Di Depan Rumah", terdapat lima rangkai puisi. Diawali dengan sebuah intro yang cukup kuat sebelum memasuki petualangan kata di bab lainnya, Eggy memaparkan sebuah bentuk kerinduan yang dia siasati ke dalam doa seperti yang coba dia isyaratkan dalam setiap baitnya. Babak pertama ini dia persembahkan untuk para laskar cinta yang sedang dirundung kalut bagai jiwa muda yang meletup-letup di sebuah sabana.
Sebagai kitab perkenalannya di pasaran, dengan cerdik Eggy merangkum intisari setiap bab dengan kutipan-kutipan pendek. Walaupun kutipan-kutipan itu bukan bagian dari bait puisi yang terdaftar. Akan tetapi, langkah itu cukup berhasil untuk menggiring isu dan latar belakang suasana yang sifatnya tersirat secara implisit dalam bab.
“Mencintai adalah proses menjatuhkan diri berulang kali, untuk kebahagiaan yang mungkin hanya barangkali.”
Syair di atas menjadi kutipan kalimat sastrawi yang jadi pembuka di bab "Lilin Kecil". Pada babak ini, Eggy memang menceritakan proses jatuh cinta dari perspektif dan pengalamannya. Kejadian-kejadian proses mencinta yang dia temukan di lingkungan sekitarnya. Tapi, gaya seperti itulah yang mendominasi karya tulis pujangga muda ini di naskah-naskah lainnya.
Pada bab itu, penyair menutup dengan sebuah puisi dengan judul yang sama. Sajak yang muncul dari pengalaman pribadi, personafikasi, dan interpretasi tentang tahap mencintai seseorang yang dia analogikan dalam bentuk sebuah lilin. “Proses menjatuhkan diri” yang dimaksud yaitu reduksi cahaya minimalis pada redup dan tersulutnya sebuah lilin. Penyair tetap menjaga isu yang sama meski dengan varian perumpamaan yang beragam.
“Tidak denganku. Aku merasa cukup untuk menjadi lilin kecil yang kau nyalakan saat kau butuhkan. Walaupun dengan cahaya yang sedikit namun setidaknya dapat menerangi dan menghangatkanmu saat kegelapan menjadi suatu yang sangat kau takutkan. Meski kau akan mematikannya saat tak lagi, membutuhkannya.”
Bait puisi tersebut adalah salah satu karya yang menjadi asa bagi Eggy untuk tetap menulis. Sebuah katarsis penting, titik di mana penyair mulai yakin dengan kemahirannya menangkap dan menyulap realitas jadi permainan kata. Dia menemukan puisi ini dalam keadaan risau sekaligus jenaka, mengingatkan kita kepada bait-bait sajak Rendra dalam antologi Sepasang Sepatu. Masa ketika Rendra mencoba jujur dengan perasaan cinta bersamaan dengan saat dia ‘menemukan’ Tuhan dan berlabuh kepada satu yang jadi hati.
Secara kesuluruhan di bab pertama dan kedua, sedikit-banyak dipertunjukkan gaya-gaya puisi kuno Inggris. Aliran puisi komedi yang sarat akan keluh dan cinta. Menyimpan teka-teki yang masih bisa dijawab dengan pengalaman sehari-hari, sekalipun stimulan pengalaman pribadi.
Intuisi Katarsis Dan Eskapisme
Semakin jauh, dinamika penggunaan diksi dan struktur puisi yang digunakan penyair Eggy semakin liar dan intuitif. Bab keempat diisi oleh rangkaian puisi yang muncul sepenuhnya dari pengamatan dan intuisi hati. "Dinding Kamar" ibarat sebuah bridge dalam struktur lagu yang hadir mengisi ancang-ancang menuju reff atau chorus.
Eggy menutup pertunjukan syairnya dalam bab akhir yang berjudul sama dengan buku. Ia terlihat ingin menyimpan yang terbaik di akhir cerita. Babak akhir ini mengandung jawaban dan teka-teki baru dari perjalanan hidup seorang pujangga muda itu. Struktur syairnya semakin kokoh dan menampilkan ciri khas penyairannya.
“Aku bercinta dengan sepi malam ini hingga sebelum pagi, kulahirkan bait-bait puisi.”
Dua bait puisi dari Habis Malam Terbitlah Puisi di atas menggambarkan ada babak baru dari petualangan cintanya. Begitu juga dengan pengetahuan sajaknya. Penyair semakin cerdik menyimpan kalimat-kalimat efektif, tanpa basa-basi. Mungkin babak akhir antologi ini juga jadi titik pendewasaan baru bagi penyair.
Di sisi lain, sekumpulan sajak dan puisi ini tetap menyimpan teka-teki yang mungkin takkan pernah sampai kepada pembacanya. Seperti seharusnya syair yang sakral pada bait-bait kitab, seindah dan seburuk apa pun diksi yang ditulis. Namun, Habis Malam Terbitlah Puisi bukan sekadar kumpulan kalimat estetis. Bisa dibilang, buku ini merupakan respons keresahan yang entah benar-benar menjadi bentuk katarsis atau pun eskapisme.
Bagaimana pun juga umpan balik dari sebuah karya hanya bisa ditentukan oleh pembaca itu sendiri. Penggiringan isu bisa saja berhasil juga pembacanya menyetujui atau sekadar mencoba memahaminya. Tanggung jawab Eggy sebagai penyair mungkin selesai di sini atau berlanjut ke babak baru lainnya di kemudian hari nanti. Selamat menikmati dan berkontemplasi!
Informasi Buku
Penulis : Eggy Resa
Penerbit : Writing Revolution, Rumus Press
Cetakan : I, Oktober 2021
Dimensi : 14 cm x 21 cm
Halaman : 70 hlm
ISBN : 978-623-6343-24-1