• Berita
  • Buruh: Katanya mau Pemulihan Ekonomi, tapi UMP cuma Naik 30.000

Buruh: Katanya mau Pemulihan Ekonomi, tapi UMP cuma Naik 30.000

Buruh menuntut 10 persen kenaikan upah setelah hampir dua tahun terdampak pagebluk.

Unjuk rasa buruh menuntut kenaikan upah 10 persen dan pembatalan UU Cipta Kerja (omnibus law) di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja atau omnibus law inkonstitusional bersyarat. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki26 November 2021


BandungBergerak.idBagi para buruh, kenaikan upah adalah harapan yang sangat dinanti. Selama hampir dua tahun kemarin mereka merasakan pukulan berat pagebluk, pemotongan upah, dirumahkan, bahkan di-PHK. Tetapi harapan itu tak sesuai yang diinginkan ketika UMP 2022 Jawa Barat hanya diketuk kurang dari 2 persen, di saat pemerintah menyatakan kenaikan pertumbuhan ekonomi.

Seorang buruh pabrik minuman segar dari Baleendah, Wida (37) mengaku sempat menganggur sekitar 5 bulan semasa diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku pertengahan 2020 atau awal-awal pagebluk.

Tahun berikutnya, penghasilan Wida kembali melorot karena berlakunya PPKM Level 3 dan 4. Perusahaan tempatnya bekerja kehabisan modal produksi, sehingga terpaksa merumahkan sebagian karyawannya tanpa tunjangan.

Demi menuntut haknya, Wida ikut turun ke jalan dalam aksi buruh di sekitar Gedung Sate, Bandung, Kamis (25/11/21). Aksi ini menuntut kenaikan upah minimal 10 persen, serta menyerukan pencabutan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Wida menilai UU Cipta Kerja menyengsarakan buruh.

“Semua ngerti keadaan lagi sulit. Ya, bukannya bikin kebijakan tuh (seharusnya) yang melindungi hak-hak kami. Kita mungkin gak bisa juga nyalahin perusahaan kalau secara aturan (omnibus law) disahkan, untuk perusahaan yang beneran terdampak misalnya,” ujarnya saat ditemui di Gedung Sate.

Kata Wida, perusahaan tempat bekerja tidak terbuka soal informasi terkait kondisi perusahaan kepada pekerjanya. Kehabisan modal sering dijadikan alasan pemecatan tanpa kejelasan yang pasti. Wida dan tiga rekan kerjanya, Hadi, Yuli, dan Aula yang juga hadir di lokasi aksi merasa cukup beruntung tidak sampai terkena PHK di masa pagebluk.

Yuli yang ketika itu ikut dirumahkan sementara terpaksa pulang ke Garut karena belum cukup menabung setelah tinggal di Bandung selama 13 bulan sejak tahun 2019 ketika itu. Di sisi lain, belum ada bantuan pemerintah yang pernah ia rasakan selama pagebluk.

Padahal alasannya hijrah ke Bandung untuk mencari nafkah yang lebih besar ketimbang di kampung halamannya. Maka dari itu, ia menuntut relaksasi kebijakan untuk kesejahteraan buruh salah satu lewat mendorong penetapan kenaikan UMP 2022 minimal 10 persen dari sebelumnya.

“Belum juga sempat nabung di Bandung, kerjaan gak ada. Katanya mau pemulihan ekonomi, UMP naik 1 persen itu cuma 30.000 mungkin. Udah cukup kemarin kita susah,” ujar Yuli.

UMP Jabar 2022 telah ditetapkan Rp 1.841.487,31 atau naik Rp 31.135,95 (1,72 persen) dari UMP 2021. Penetapan upah ini berdasarakan berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 561 Tahun 2021 yang diteken Gubernur Ridwan Kamil 21 November 2021. Gelombang demonstrasi buruh ditujukan untuk penetapan upah minimum kabupaten kota (UMK) yang akan ditetapkan 30 November nanti.   

Baca Juga: UMP Jabar 2022 Rp 1.841.487, Buruh akan Kembali Turun ke Jalan
Buruh akan Terus Mendesak Ridwan Kamil demi Kenaikan UMP 10 Persen
Buruh Jabar Menuntut Kenaikan Upah Minimum 10 Persen dan Serukan Mogok Nasional

Batalkan UU Cipta Kerja

Wida dan Yuli merupakan perwakilan dalam gelombang demonstrasi selama dua pekan terakhir sebagai respons terhadap rencana kenaikan UMP yang 2 persen.

Mayoritas buruh dalam aksi ini mengenakan seragam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan masih banyak buruh lainnya. Suasana semakin ramai dengan sumbangan massa dari beberapa kota di luar Bandung Raya, di antaranya Karawang, Bekasi, Sumedang, Tasikmalaya, dana beberapa daerah lainnya.

Sekretaris Forum Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) Jawa Barat, Agus Harudin mengatakan, unjuk rasa akan terus dilakukan hingga UMP 2022 ditetapkan pada 30 November mendatang dan setelahnya jika tuntutan tidak dipenuhi.

Ia tegas menolak penghitungan upah dengan formulasi Peraturang Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan turunan UU Cipta Kerja.

“Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa surat edaran lewat menteri-menterinya yang intinya akan memberikan saksi bagi perangkat daerah, Gubernur, dan siapa pun yang tidak menetapakan UMP sesuai PP 36 (2021). Dikhawatirkan mereka takut, makanya kami melakukan aksi supaya pejabat wilayah menetapkan UMP di luar ketentuan itu,” papar Agus Harudin, kepada Bandungbergerak.id, usai berorasi di lokasi.

Agus juga mendesak pembatalan UU Ciptaker atau Ombibus Law yang dianggap sebagai induk kebijakan menentukan kenaikan UMP. UU tersebut dianggap menambah beban perburuhan semakin prihatin selama pagebluk Covid-19. Dampak yang paling dirasakan antara lain pemutusan hubungan kerja sepihak, pemotongan upah serta tunjangan, hingga dirumahkan sementara tanpa jaminan.

Kendati demikian, rangkaian aksi yang diperkirakan bakal menempuh proses panjang ini akan tetapi mengikuti protokol kesehatan (prokes) seketat mungkin. Upaya ini diterapkan demi melancarkan perjuangan tersebut.

“Selama pandemi banyak buruh yang terkena dampak Covid-19. Ditambah, diterapkannya Omnibus Law. Kami khawatir kawan-kawan kami akan terus tergerus, kami menolak lupa,” ungkap Agus.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//