Eksekusi Lahan di Jalan Jawa oleh PN Bandung, Warga Merasa Teraniaya
Kuasa hukum dan warga menilai eksekusi lahan di Jalan Jawa cacat prosedur. Hingga kini mereka mempertanyakan bukti kepemilikan lahan oleh PT. KAI.
Penulis Emi La Palau7 Desember 2021
BandungBergerak.id - Pengadilan Negeri Khusus Kelas 1A Bandung atau PN Bandung melakukan eksekusi pengosongan bangunan yang terletak di Jalan Jawa, Kota Bandung, Selasa (7/12/2021). Total bangunan yang dieksekusi sebanyak sebelas rumah. Proses eksekusi rumah yang diklaim milik PT. KAI itu dinilai cacat prosedur. Warga yang dieksekusi merasa teraniaya.
Berdasarkan pantauan Bandungbergerak.id, pihak pengadilan datang bersama rombongan juru sita ke lokasi pukul 09.46 WIB. Rombongan terdiri dari 400 personel eksekutor yang dilengkapi sekitar 20 mobil truk yang disiapkan untuk mengangkut barang-barang penghuni bangunan. Perwakilan dari mereka lalu membacakan amar putusan Pengadilan Negeri Kota Bandung Nomor: 348/PDT.G/2015/PN.BDG; jo Nomor : 127/PDT/2017/PT.BDG; jo Nomor: 751 PK/PDT/2018:
“Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kami Ketua Pengadilan Negeri Bandung kelas 1A Khusus, setelah membaca dan seterusnya, menimbang dan seterusnya, memperhatikan pasal-pasal dari peraturan hukum dan perundang-undangan bersangkutan, menetapkan mengabulkan permohonan pemohon eksekusi tersebut,” ungkap salah satu perwakilan PN Bandung.
Bangunan-banguaan peninggalan Belanda yang masuk kategori heritage itu pun mulai dikosongkan. Total ada 11 rumah yang masih ditempati warga, di antaranya bangunan nomor 30, 32, 38, 40, 42, 44, 46, 48, 52 dan 54.
Dalam prosesnya, sempat ada pertanyaan dari warga terkait eksekusi pengosongan bangunan karena saat ini status rumah sedang dalam perkara di pengadilan. Warga meminta pihak pengadilan mempertimbangkan proses hukum.
“Yang akan kita sampaikan bahwa kita juga berdasarkan surat dari pengadilan tinggi bahwa sedang dalam perkara,” ungkap salah satu warga penghuni, Aland.
Juru sita PN Bandung mengatakan bahwa pihaknya hanya menajalan perintah dari Ketua PN Bandung. Terkait warga yang masih ingin melakukan negosiasai bisa melayangkan surat ke pengadilan. Eksekusi pun terus berlangsung oleh ratusan personel yang mengenakan kaos berwarna hijau, mereka masuk ke bangunan-bangunan untuk mengeluarkan barang-barang milik warga.
Perabot rumah tangga, berkas-berkas, dan alat lainnya dikeluarkan. Kondisi sempat memanas ketika beberapa personel memaksa melakukan pengosongan di bangunan yang menjadi sekretariat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Tampak dari personel memaksa dengan sedikit emosi karena dihalangi. Namun situasi memanas ini tidak berlangsung lama.
Salah seorang penghuni, Nani (77), mengaku telah menempati bangunan yang dieksekusi sejak tahun 1954. Ia memiliki VB (Verhuis Vergunning) yang merupakan surat izin menghuni atau menggunakan bangunan yang dikeluarkan oleh jawatan Perumaha Kota Bandung. Saat itu, izin diberikan kepada orang tua Nani.
Nani dan penghuni lainnya sempat membawa perkara status tinggal mereka ke meja hijau pada 2000. Perkara ini melibatkan warga melawan PT. KAI yang mengklaim memiliki lahan yang ditempati warga. Dalam perkara ini warga mempertanyakan klaim PT. KAI tersebut. Namun, kata Nani, PT. KAI tak kunjung membuktikan. Menurutnya, PT KAI justru bersikap arogan.
“Tapi karena PT. KAI itu dia gajah, ya mana kita gak punya duit, sebenarnya tidak ada bukti bahwa ini punya kereta api karena kita tanya ke BPN itu masih kosong. Jadi begitulah saya merasa teraniaya sebagai warga,” ungkap Nani.
Eksekusi Dinilai Catat Prosedur
Proses eksekusi bangunan yang dilakukan oleh PN Bandung dinilai melanggar beberapa prosedur. Kuasa hukum warga, Teddy SJ Angga Kusuma mengatakan bahwa sejak awal pemberitahuan eksekusi seharusnya sesuai dengan putusan pengadilan. Namun, eksekusi yang dilakukan tidak sesuai.
Teddy menjelaskan beberapa pelanggaran yang dimaksud, antara lain soal tidak adanya luas tanah yang disebut dalam putusan pengadilan. Karena itu, tanah-tanah tersebut tidak memenuhi kriteria untuk dieksekusi.
Selain itu, amar putusan Perkara No. 348/Pdt.G/2015/PN.Bdg. Jo 127/Pdt/2017/PT.Bdg. Jo No 751 PK/Pdt/2018 tidak menyinggung soal kepemilikan. Sehingga tanah yang diperkarakan dinilai memenuhi kriteria Noneksekutabel sesuai Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia, di mana eksekusi harus memerhatikan batas-batas tanah yang jelas.
Namun, kata Teddy, untuk kasus ini batas tanah itu tidak jelas. Lalu, barang yang akan dieksekusi juga tidak sesuai dengan yang disebut dalam amar putusan. Hal inilah yang dipertanyakan oleh warga. “Tidak sesuai. Dengan putusan. Penetapan pelaksanaan tidak sesuai dengan putusan. Itu saja,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id, di lokasi.
Terkait putusan pengadilan, Teddy membenarkan memang warga penghuni diputuskan harus mengosongkan bangunan. Artinya, warga sebagai tergugat rekonvensi dikalahkan. Namun, amar putusan juga tidak menyebutkan bahwa tanah dan bangunan milik penggugat rekonvensi atau milik PT KAI. “Tidak ada isyarat itu, kepemilikannya (PT KAI) tidak ada di situ,” ungkapnya.
Teddy juga mempertanyakan pihak mana yang nantinya akan mendapat penyerahan bangunan pascaeksekusi. Karena dalam putusan tidak ada isyarat yang menetapkan bahwa objek perkara adalah milik PT KAI. Jika kemudian tanah dan bangunan tersebut dipaksakan diserahkan ke PT. KAI, maka ia menilai ada indikasi pidana.
“Harus mengosongkan dan menyerahkan. Itu tegas kok bahanya, mengosongkan dan meyerahkan. Akan tetapi mengosongkan dan menyerahkannya ke siapa?” ungkapnya.
Ke depan, pihaknya masih akan menempuh jalur hukum. Teddy mengatakan akan meluruskan bantahan dan akan melakukan proses perdata maupun pidana. “Karena ini indikasi tipikornya ada, mafia hukumnya ada, seperti itulah,” ucapnya.
Baca Juga: Setelah Puluhan Tahun Tinggal, Warga Anyer Dalam Terancam Digusur PT KAI
Warga Jalan Anyer Dalam Memperpanjang Harapan di Pengadilan
Warga Pertanyakan Surat Eksekusi
Berbagai pertanyaan tak hanya dilontarkan oleh kuasa hukum saja. Warga penghuni bangunan yang tergabung dalam Forum Penghuni Rumah Negara (FPRN) pun mempertanyakan surat eksekusi bangunan. Menurut Aam, Sekretaris FPRN, dalam proses eksekusi itu pihaknya tak menerima surat resmi yang ditandatangani Ketua PN Bandung.
Menurutnya, seharusnya ada surat-surat yang terdiri dari Surat tugas Sita Eksekusi, Rakor Eksekusi, Penetapan Eksekusi, Bahkan Surat Eksekusi untuk tanggal 7 Desember 2021 yang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri. Surat tersebut justru atas nama Ketua pengadilan Negeri yang ditanda tangani oleh Panitera.
Hal itu dinilai bertentangan dengan Rakernas MA 2011. Warga juga menilai ada indikasi pemaksaan kehendak pada PN Bandung. “Sangat disesali dialog dengan PN gagal dan eksekusi tanpa surat tugas, kita sudah tanya surat tugas jawabannya ada di kantor silahkan ambil kata PN, pak Deni sebagai panitera atau juru sita,” ungkap Aam.
Klaim PT. KAI
Humas PT KAI Daop 2 Bandung, Kuswardoyo mengklaim bahwa tanah dan bangunan di Jalan Jawa tersebut merupakan milik PT. KAI. Ia mengungkapkan bahwa kepemilikan tersebut sesuai dengan putusan PN Bandung, bahwa para penghuni harus mengosongkan bangunan.
Ketika ditanya mengenai PT. KAI belum bisa menunjukkan bukti kepemilikan lahan kepada warga, Kuswardoyo mengelak. Ia mengatakan bahwa tidak mungkin pengadilan memutuskan warga untuk mengosongkan bangunan jika lahan itu bukan milik PT. KAI.
“Makanya kenapa pengadilan negeri mengeluarkan perintah eksekusi. Berarti secara hukum sudah jelas itu lahan aset milik KAI,” ungkapnya, saat ditemui di Jalan Sumatera, Kota Bandung.
Dalam kesempatan tersebut, Kuswardoyo tidak menunjukkan surat-surat atau dokumen sejenisnya terkait kepemilikan lahan, walaupun ia mengklaim memiliki bukti-bukti tersebut. Karena jika pihaknya tak memiliki bukti aset, kemungkinan besar warga yang akan menang di pengadilan.
“Pasti (ada surat aset). Peradilan kalau tidak ada bukti mereka kan tidak mungkin bisa memenangkan itu (pengadilan). Dan jika seandainya mereka (warga) memiliki bukti kepemilikan tentunya akan lebih mudah untuk melakukan klaim,” ungkapnya.
Ia juga tidak mengetahui riwayat tanah dan bangunan yang sudah ditempati warga selama berpuluh-puluh tahun, juga mengenai status mereka selama tinggal, apakah membayar sewa, meminjam, atau lainnya.
“Sejarahnya, saya tidak tahu mereka itu keturunan ke berapa saya tidak tahu. Bahwa yang jelas aset yang ada saat ini adalah aset PT. KAI. Sudah dibuktikan di pengadilan sehingga eksekusi dilakukan hari ini,” ungkapnya.
Ketika ditanya urgensi pengamanan aset di Jalan Jawa, ia mengatakan hal itu merupakan kebijakan perusahaan. Ke depannya, bangunan yang telah dikosongkan itu akan dijadikan kantor oleh PT. KAI.