Dibutuhkan Keseriusan Pemerintah dalam Penanganan Limbah Medis Pandemi Covid-19
Limbah medis Covid-19 yang tidak dibuang dengan benar bisa menularkan berbagai macam penyakit. Limbah medis termasuk limbah B3 (bahan beracun berbahaya).
Syalita Lutfia Inas Taufik
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)
21 Desember 2021
BandungBergerak.id - Menurunnya jumlah kasus Covid-19 di Indonesia bukan berarti berarti bahwa penyakit yang disebabkan virus corona tersebut telah menghilang sepenuhnya (Data Statistika Covid-19, 2021). Begitu pula dengan limbah medis Covid-19. Sudah menjadi rahasia umum bahwa limbah medis di masa pandemi begitu membeludak, bahkan menjadi jenis limbah baru yang volumenya terus meningkat.
Limbah tersebut pastinya dihasilkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, tempat isolasi, lab-lab yang menyediakan tes Covid-19, dan juga tempat vaksin yang berada di 34 provinsi di Indonesia. Lantas apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengurangi limbah medis yang membeludak ini?
Data telah menunjukkan bahwa limbah medis di Indonesia mencapai 18.460 ton atau naik sekitar 30 persen sampai 50 persen dari biasanya, yang terdiri dari masker, jarum suntik, alat tes Covid-19, APD, obat-obatan, sarung tangan medis, dan lain sebagainya (Kominfo.go.id, diakses 23 November 2021). Pada dasarnya limbah medis termasuk ke dalam limbah berbahaya dan bercun, sehingga cara pembuangan yang tepat itu adalah dibakar dengan alat khusus (insinerator) agar tidak menularkan penyakit atau virus-virus yang ada dalam limbah tersebut.
Limbah medis yang tidak dibuang dengan benar bisa menularkan berbagai macam penyakit, karena di dalam limbah medis yang termasuk ke dalam limbah B3 (bahan beracun berbahaya) terdapat kandungan senyawa merkuri, lindane, parathion, dan berbagai jenis CFC lainnya.
Berdasarkan dari banyaknya fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di Indonesia hanya sedikit yang menjalankan insinerator sendiri untuk memusnahkan limbah medisnya, karena untuk dapat menjalankan insinerator harus memenuhi segala macam persyaratan dan harus mendapatkan izin dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga tidak bisa sembarangan menjalankan insinerator sendiri.
Selebihnya, fasilitas pelayanan kesehatan yang lainnya bergantung pada perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki izin untuk mengoprasikan pemusnahan limbah medis. Tetapi perusahaan swasta yang dapat mengoperasikan pemusnahan limbah medis dan memiliki izin tidaklah banyak, hanya sekitar 17 perusahaan di Indonesia yang sebagian besar beroprasi di pulau Jawa, dan total gabungan dari perusahaan ini hanya dapat memusnahkan 252 ton limbah per harinya (Kominfo.go.id, diakses 23 November 2021).
Dampak Buruk Limbah Medis
WHO menyampaikan bahwa limbah medis yang tidak ditangani dengan benar dapat memberikan dampak buruk seperti infeksi, cedera akibat benda tajam, terpapar bahan beracun dan menular, keracunan zat kimia, dan terjadinya polusi udara yang menghasilakan residu (Who.int, diakses 23 November 2021). Fakta lain, limbah medis dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan mementingkan keuntungannya sendiri dengan mendaur ulang limbah tersebut. Contohnya, yang telah kita ketahui bersama lewat media masa bahwa ada sampah alat tes Covid-19 atau yang biasa disebut sebagai tes PCR dan juga tes antigen yang digunakan kembali. Sudah terjadi 2 kasus yang tertangkap basah tentang pendaurulangan tes Covid-19 ini, yang pertama kali terjadi di bandara Kualanamu, dan kasus kedua terjadi di Medan di mana seorang pria tertangkap membawa alat tes PCR bekas yang akan didaur ulang.
WHO sendiri telah mengusulkan bagaimana pembungan sampah atau limbah medis, yaitu dengan autoclave, pengelohanan uap yang terintegrasi dengan pencampuran internal, pengolahan kimia daripada menggunakan alat pembakaran (Who.int, diakses 23 November 2021). Di Indonesai, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyatakan penanganan limbah medis menggunakan insinerator dan autoclave. Tujuannya agar dapat melindungi orang-orang saat mengumpulkan, mengelola, dan menangani limbah tersebut.
Selain itu, WHO juga sudah membuat dokumen panduan untuk limbah layanan kesehatan termasuk alat pemantauan, penilaian biaya, kebijakan, pedoman penyusun rencana nasional, pengolahan limbah injeksi, pengolahan limbah puskesmas, pengolahan limbah kegiataan imunasisasi, serta pengolahan limbah dalam keadaan darurat (Who.int, diakses 23 November 2021). Masyarakat juga dapat turut serta dalam pengolahan ini dengan cara memisahkan limbah B3 atau sampah beracun dan berbahaya, dengan sampah rumah tangga yang lainnya. Contoh dari limbah B3 di dalam rumah tangga yaitu, sampah obat-obatan dan sampah masker sekali pakai.
Sehubungan dengan hal ini, pemerintah Indonesia juga akan memberikan sebuah dukungan fasilitas dan anggaran yang berasal dari Satgas Covid-19. Dana tersebut akan dikirimkan ke setiap daerah dan perusahaan swasta karena diperlukan secepatnya penyiapan sarana. Selain itu untuk kondisi darurat seperti ini pemerintah akan melakukan kerja sama dengan beberapa pabrik semen yang berada di seluruh wilayah untuk memusnahkan limbah B3 karena tungku pembakaran semen ini bisa mencapai di atas 1.200 derajat celcius.
Juga akan adanya pengelompokan mengenai data limbah B3 (limbah medis) dan jumlah limbah yang belum diolah untuk memantau dan memastikan kinerja incinerator, agar fasilitas ini berjalan secara efektif dan tepat sasaran. Lembaga KLHK juga memberikan dukungan kelonggaran kebijakan mengenai fasilitas layanan kesehatan yang belum memiliki izin insinarator, namun dengan syarat insinarator tersebut bersuhu 800 derajat celcius, tetapi tidak dibebaskan begitu saja namun harus dengan supervisi celcius (Ppid.menlhk.go.id, diakses 24 November 2021).
Pemerintah provinsi dan kota/kabupaten diimbau untuk dapat mengembangkan pengelolaan limbah medis sesuai kemampuan dan kondisi di daerahnya dengan peraturan masing-masing agar penanganan limbah medis lebih efisien dan dapat melindungi masyarakat setempat, serta pemerintah terus memberikan sosialisasi dan juga edukasi kepada fasilitas layanan kesehatan setempat. Tidak hanya prosedur dan fasilitas saja yang perlu ditingkatkan, sumber daya manusia pun harus turut serta dioptimalkan agar perencanaan tersebut bisa berjalan dengan optimal.
Karena itu, Kementerian Kesehatan telah membuat keputusan mengenai Pedoman Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Rujukan, Rumah Sakit Darurat dan Puskesmas bagi yang menangani pasien Covid-19. Isi dari keputusan itu berisikan tentang bagaimana langkah-langkah pengelolaan air limbah, limbah padat domestik, dan limbah B3 medis padat. Kementerian Kesehatan juga telah memberikan beberapa langlah untuk pengelolaan masker bekas untuk masyarakat di antaranya, masyarakat wajib mengetahui siapa pengguna masker tersebut apakah pengguna masker tersebut merupakan orang yang terpapar virus atau orang tidak (orang sehat), limbah masker orang yang terpapar virus harus disimpan tersendiri ke dalam wadah atau plastik dan tidak disatukan ke dalam sampah rumah tangga lainnya, kemudian dibuang ke tempat khusus masker yang disediakan di ruang publik yang ada.
Selain itu, masker yang digunakan oleh orang sehat bisa dilakukan desinfeksi terlebih dahulu, digunting agar tidak tertukar dengan masker baru, bungkus dengan plastic, dan buang ke tempat sampah domestic. Namun Kemenkes menyarankan agar orang yang sehat bisa menggunakan masker kain yang dapat dipakai berulang kali untuk mengurangi timbunan sampah, kemudian orang yang melalukan langkah-langkah itu harus mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sampai bersih (Infeksiemerging.kemkes.go.id, diakses 24 November 2021).
Upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah agar limbah medis tidak lagi menumpuk adalah dengan meningkatkan fasilitas di berbagai wilayah dan meningkatkan sumber daya manusia yang ada saat ini. Pemerintah juga menghimbau kepada masyarakat supaya membantu mengurangi jumlah limbah medis (masker) dengan menggunakan masker yang bisa dipakai berkali-kali yang sesuai dengan peraturan Kementerian Kesehatan.